Minggu, 03 November 2013

Kedai Mimpi


Saya baru pulang dari sebuah perkumpulan sastra. Salah satu agendanya adalah mencari nama untuk komunitas yang masih baru itu. Setiap orang mengusulkan nama yang memantik perdebatan cukup panjang. Saat itu dengan polos saya mengusulkan nama: Kopi Tumpah.“Itu sudah pasaran” begitu ungkap salah satu anggota yang kebetulan perempuan. Saya bisu dibuatnya.

Karena perdebatan telah panjang namun belum menemukan nama yang cocok maka pertemuan disudahkan dan dilanjutkan minggu depan. Saya tidak langsung pulang sore itu, tapi memanjakan kaki menyusuri Toolo Bay di sepanjang jalan menuju Helsinki. Objek wisata ini memang disediakan pemerintah Finlandia untuk para pejalan kaki. Jadi semacam komplek bebas kendaraan, hanya berjejer di pinggirnya pohon-pohon cemara yang kurus dan beberapa Kedai.
 
Namun di ujung nanti akan bertemu sebuah danau kecil dengan ilalang yang berwarna-warni. Ditaburi guguran daun mapel yang jatuh tersenggol angin. Suasana pra senja yang menggiurkan. Sambil mendengar lagu-lagu Metal dengan hedset, aku berjalan ke arah barat seolah sedang mengejar senja yang hampir tenggelam. Di sana berdiri sebuah Kedai yang membuat mataku tercengang sejenak, bukan karena pengunjungnya yang rata-rata berpasangan, tapi karena nama kedai itu yang cukup aneh di telinga: Kedai Mimpi. Aha, Kedai Mimpi!

Sore itu saya kembali ke kos-an dengan pertanyaan yang tidak penting. Apakah Kedai itu seperti yang diceritakan pengunjung tadi? bahwa setiap orang yang datang boleh memanjatkan mimpi dan berhak terkabul jika dia berjanji akan mengunjunginya kembali saat mimpinya terwujud? Ah, konyol sekali memang. Dia bercerita sambil tertawa. Itu tandanya dia berbohong. Saya memang agak iseng bertanya nama itu. Zaman sekarang masih percaya mitos? begitu pungkas perempuan yang tak lain adalah pasangannya. Tapi bagaimanapun nama Kedai itu tetaplah unik. Paling tidak bagus untuk judul cerita, atau minimal catatan pendek. Dan jujur saya sangat penasaran dengan filosofinya.

***

Keesokan hari, sepulang dari kampus saya segera meluncur ke Kedai Mimpi. Saya bertemu beberapa teman kampus yang kebetulan bertujuan sama. Tapi karena mereka berpasangan saya hanya sempat bertanya sekilas saja –bukans soal nama kedai itu-, “Kualitas kopi, harga terjangkau dan suasana yang nyaman” begitu rata-rata jawaban yang muncul. Memang Kedai itu berhadapan persis dengan danau, tak salah mereka merekomendasikannya untuk diskusi atau bincang santai soal apapun, termasuk sastra. Tapi karena saya datang sendiri (artinya tidak berpasangan) kunjungan ini lebih ditekankan kepada pertemuan dengan Barista yang biasanya menjadi pemilik sebuah Cafe atau Kedai.

Kini saya sudah duduk di atas kursi kayu dengan sebuah meja bundar berwarna cokelat tua. Saya tinggal menunggu kode dari pelayan untuk kesediaan Barista menerima kunjungan konyol ini. Baik, beberapa menit kemudian saya telah dipersilahkan masuk ke ruangan pribadinya. 
 
“Kamu wartawan?”

“Oh bukan.” Seperti seorang Barista pada umumnya. Kepalanya terikat slayer, memakai kalung berlonceng kayu, gelang tali dan jeans ketat yang robek di bagian lutut.
“Saya cuma penasaran dengan namanya saja. Kalau boleh tahu apa yah filosofinya?”
“Ohhh ….”

“Mungkin akan menarik dibuat cerita.”

“Jadi kamu penulis?”

Kali ini saya tidak menjawab. Walau bukan penulis betulan. Tapi menulis cerita tentang kisah seseorang adalah pekerjaan yang menyenangkan.

“Kalau kamu mau nulis cerita dan judulnya: Kedai Mimpi, silahkan saja. Saya tidak keberatan. Gratis kok”

“Hem… sebetulnya saya penasaran dengan filosofinya. Itu kalau Miss berkenan menceritakan”
“Baik tunggu sebentar yah.”

Perempuan setengah baya itu berlalu menuju dapur. Terlihat ia sedang memberi instruksi kepada para pelayan. Wajahnya manis. Usianya kira-kira 30-an. Kaos ketat yang dipakainya bergambar personil Nightwish. Sungguh penampilan yang lain.

“Jadi kamu ingin tahu filosofi Kedai Mimpi?”

“Iya Miss.”

“Kamu akan mendengarkan cerita yang sangat panjang. Tapi mungkin akan saya ringkas”
“Waktu itu tahun 2013 saya masih di Kairo . . . . . “ (dan cerita pun berlanjut selama dua jam lebih. Saya tak mungkin menuliskannya semua)

“Oh jadi waktu itu Miss sudah jadi penulis?”

“Begitulah …”

“Lalu bagaimana dengan dia?”

“Mungkin sudah menikah dengan perempuan yang baik”

“Sayang sekali Miss kalau berhenti menulis gara-gara cowok.”

“Itulah kenapa saya menjadi Barista”

“Tapi tentu Miss tidak berhenti total”

“Iya. Kadang saya masih suka nulis tentang kopi”

“Terima kasih banyak Miss. Kalau begitu saya pamit”

“Sama-sama. Kamu nggak usah bayar minuman ini”

Tack Miss..”

Saya tersenyum sambil berlalu keluar. Ada perasan aneh yang bergemuruh dalam dada. Perjalanan hidupnya membuat saya agak merinding. Sangat penuh dengan kesenduan, persis yang terjadi pada kisah-kisa roman era 70-an. Tampak wajahnya lebih banyak ekspresi murung daripada ceria. Walau begitu di akhir cerita dia tersenyum sambil menyembur nafas yang begitu lega. “Tapi itu sudah masa lalu ...” dan aku menimpalinya “dan orang tidak mungkin lepas dengan masa lalu” ia mengangguk.

Dalam perjalanan pulang, kegelisahan masih menghantui pikiran saya. Kegelisahan bukan tentang masa depan –sebagaiaman yang lazim terjadi- tapi kegelisahan pada masa lalu  yang absurd. Seandainya waktu bisa diputar mungkin saat ini dia sudah tinggal di Indonesia bersama anak-anaknya yang lucu. Tapi itu omong kosong belaka, sebab sampai sekarangpun dia masih sendiri. Sepertinya dia prustasi dengan laki-laki. Sekarang penasaran saya beralih ke pemuda yang pernah menjadi kekasihnya. Suatu saat saya harus ke Indonesia  -entah negeri di belahan bumi mana- yang jelas saya perlu pertanggung jawabannya, kenapa perempuan sebaik Miss, ditinggalkan begitu saja.

Ternyata filosofi Kedai Mimpi itu sangat sederhana. Tak sedalam yang kukira. Awalnya hanya sebuah nama komunitas sastra. Tahun 2013 –berarti dua puluh tahun yang lalu- dia bersama rekan-rekannya mendirikan komunitas tersebut untuk menghidupkan dinamika sastra yang saat itu sedang loyo. Begitu juga awal kisahnya bertemu dengan dia, pemuda yang pada akhirnya hanya mengendapkan luka dalam dadanya. Hingga kini, luka itu masih abadi.

Tiba-tiba saya teringat pertemuan dengan teman-teman minggu depan. Saya mulai berfikir dan sedikit tersenyum. (**)