Minggu, 04 Desember 2011

Romansa Zahro

Malam semakin sejuk. Dalam kegelapan hanya ada cahaya sorotan lampu dipinggir jalan. Angin berhembus pelan menyusup kedalam pori-pori seorang wanita yang sedang duduk diatas bangku dekat bundaran Zahro. Matanya sembab ulah anak sungai yang mengalir membasahi pipi. Suara derum kendaraan yang semakin sepi ditutup malam yang kian beranjak. Ia masih begitu tertegun diatas bangku  marmer panjang. Kedua tangannya ia satukan menutup perutnya yang mulai kedinginan. Jeritan Anjing yang menggonggong, ikut menemani keresahan hati wanita itu.

Seminggu yang lau. Ia masih bisa tertawa gembira. Menikmati malam dengan ribuan senyum. Tak jarang  ia hamburkan uang  bersama  kekasihnya. Sampai tiba waktu kesadaran tinggal dinegri orang. Mesir, tempatnya bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita ( TKW), membawanya kepada lorong-lorong cinta yang semu. Bahkan ia baru sadar, kalau kekasihnya itu adalah mahasiswa yang sudah 10 tahun tidak menamatkan studinya. 

Awal perjumpaan diatas jembatan Nil, menumbuhkan benih-benih cinta. Lewat himpitan  imarah yang ada disudut kota, menjadikan malam-malam Ratih penuh warna. Namun yang membuat Ratih heran, kejadian itu berlalu begitu singkat. Ratih baru sadar kalau keberadaan dirinya hanya sebagai  hiburan pria kesepian, tidak lebih. Hiburan untuk seorang mahasiswa nakal yang prustasi mungkin karena sudah  10 tahun belum juga kelar studinya.

Ratih masih menatap rembulan dan bintang. Berharap keajaiban datang merubah nasibnya. Namun waktu tak pernah berhenti berputar apalagi harus diulang. Harapannya hancur lebur, saat  kekasih meninggalkannya tanpa sebab yang jelas. Ia tahu persis, kalau kekasihnya itu hanya memanfaatkan harta yang ia peroleh sebagai pembantu rumah tangga. Ia pun menangis, menjerit, hatinya bagai disayat hancur berkeping-keping. Di Bundaran Zahro, tempatnya menumpahkan segala kesedihan. Tak akan merubah waktu yang terlanjur lewat, ia menangis dalam kesepian.

Zahro memang indah, hawa sejuk selalu ada disetiap detiknya. Ratih bangun dari tempat duduk beranjak pulang. Dengan langkahnya yang gontai, Ratih berjalan mencari taksi yang akan mengantarnya ke rumah. Namun saat ratih mulai mendekati tempat dimana taksi sering magang, ia diikuti dua orang  pemuda mesir dari arah yang berbeda. Ratih masih meneruskan langkahnya, tiba-tiba dua pemuda itu menyekap ratih dari belakang dan hendak membawanya  ketempat yang lebih sepi. Ratih membrontak, namun teriakannya tak sampai terdengar. Dua pemuda itu sudah membuatnya tak berdaya. Ratih meronta saat hendak dimasukkan kedalam mobil sedan, sepatunya pun lepas. Tiba-tiba saja dari belakang seorang pemuda memukul dua pemuda mesir dengan kayu, seketika penjahat itu pingsan tak sadarkan diri. Pemuda itu memukulnya beberapa kali tepat dikepala bagian belakang. Darah bercucuran dari dua kepala itu. Polisi datang ketempat lokasi, setelah pemuda itu memberi tahu lewat ponselnya. Malam itu ada pemuda bagai malaikat untuk Ratih.

Tak tau harus bagaimana Ratih berterima kasih kepada pemuda itu. Namanya Hasan, orangnya tampan dan ramah. Membuat dada Ratih sesak saat Hasan membalutkan jaket pada tubuhnya. Ratih  yang hanya berpakaian jeans ketat dan kaos oblong memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah. Sedang Hasan hanya ingin membantu menutup aurat dengan jaket levisnya. Ratih menceritakan pengalaman pahitnya dengan seorang mahasiswa kepada Hasan. Hasan hanya tersenyum kecil mendengar kisahnya. Dia mencoba menasihati Ratih, kalau mahasiswa seperti itu perbandingannya satu banding sembilan puluh sembilan persen.

Ditengah temaram malam. Ratih melamun, mengingat kejadian kemarin. Dia heran, sambil menatap malam Ratih terus mengingat-ingat kejadian itu. Malam yang akan membawanya kedalam jurang nista, tiba-tiba malaikat berbentuk manusia datang menolongnya. Kejadian seperti itu baru dialami Ratih selama tinggal di Cairo.  Bayangan wajah Hasan masih membekas dalam ingatan. Ratih mencoba mengingat kembali wajahnya yang tampan.  Ingin rasanya Ratih menjadi seorang mahasiswi, menjadi pelajar bukan pekerja dan mungkin akan lebih percaya diri dihadapan Hasan.

Tiba-tiba suara datang membangunkan Ratih dari lamunan. Ratih bergegas mendekati sumber suara, suara itu datang dari seorang wanita paruh baya  yang tak lain adalah majikan Ratih. Majikannya adalah korban keegoisan rumah tangga. Pernikahan mereka hanya sebagai formalitas, sebab Ibu majikan sibuk sebagai dokter disebuah rumah sakit sedang Majikan sibuk diurusan kantornya. Perceraianlah  yang akhirnya menjadi solusi terbaik menurut mereka. Fenomena seperti itu membuat Ratih semakin sadar, kalau membina rumah tangga tak segampang yang ia bayangkan. Andai saja  ia benar-benar mau diajak kawin oleh kekasihnya itu, mungkin dia akan lebih sengsara dari sang majikan.

Keputusan  Ibu majikan membawa Ratih pindah ke Alexanderia, membuatnya bingung.  Besok, Ratih harus meninggalkan Zahro, satu-satunya tempat  mengadu segala kesedihan dan keresahan malam. Sekaligus tempat pertemuannya dengan Hasan.

Mediterania memang menakjubkan, terlebih saat malam datang. Di depannya gedung bermegah-megahan mengitari arus pantai. Hotel-hotel itu disewakan dengan harga yang sangat mahal. Sekarang Ratih berada di Alexanderia, salah satu kota tertua yang ada di mesir. Ratih masih menikmati  malam lewat jendela kaca, memandang laut yang sepertinya tak ada batas. Udaranya pun lebih sejuk  dibanding Cairo.  Angin berhembus sepoi, menyusup kesekujur tubuh Ratih hingga kedalam.

Hari pertama Ratih pindah ke Alexanderia, belum bekerja seperti biasa. Ratih masih sibuk diajak jalan-jalan oleh Ibu majikan. Nampaknya sang ibu masih stress pasca perceraian dengan suaminya itu. Hari ini Ratih diajak ke Benteng Quetbey, tempat bersejarah yang dibangun sekitar abad 18 M. Disana Ratih hanya berdua dengan ibu majikan, menikmati indahnya pantai Mediterania dari pinggiran benteng yang luas. Ratih menatap pantai lepas, duduk diatas pagar yang berada ditepi benteng. Rambutnya yang lurus panjang, terurai angin pantai. Dihadapan Ratih, ombak saling beradu menyemburkan sisa-sisa air laut. Entah kenapa dalam pikirannya, ada sosok Hasan singgah, tanpa malu Ratih tersenyum simpul dihadapan Mediterania.

“Ratih ??” Tiba-tiba suara itu mengagetkan Ratih, suara seorang laki-laki. “Hasan !!” Ratih kaget, seakan tak percaya dengan pemuda yang ada didepannya. “Iya aku Hasan, ko kamu ada disini?”  “Emmm…Ibu majikan pindah rumah, sekarang dia beli rumah disini dekat pantai itu tu.”  Sambil menunjuk kearah dimana ia tinggal bersama ibu majikan. Sebenarnya Ratih masih belum percaya Hasan ada disampingnya sekarang. Kata-kata yang keluar pun masih terbata-bata. “Terus kamu sendiri ngapain disini ?, bukannya kamu kuliah di al-Azhar, di Cairo ?”. “Awalnya aku ditawari kerjaan sama teman, eh sampai disini calon majikan gak setuju,kalau saya pulang pergi dia mau saya tinggal ‘alattuul .” “Terus ?” “Saya nggak bisa, saya mau ambil empat hari saja, sisanya saya kuliah.” 

Sementara senja perlahan pulang keperaduan. Langit  akan menjadi hitam dengan taburan bintang-bintang dan rembulannya yang telanjang.
 Percakapan itu pun ditutup dengan kumandang Adzan maghrib yang menggema diseantero Alexanderia.

Hamparan  Alexanderia ditepi pantai terlihat begitu mempesona. Jalanan seakan sengaja diukir Tuhan untuk mempercantik kota itu. Tempat itu tak pernah sepi dari  segerombolan orang, penjual makanan ringan, dan sepasang pemuda pemudi yang duduk dipesisiran pantai. Sungguh indah pemandangan Mediterania malam itu. Semua keindahan itu menggambarkan jiwa Ratih yang sedang berbunga-bunga. Sore tadi selepas percakapannya dengan Hasan, ibu majikan bersedia Hasan kerja dirumahnya yang baru. saat Ratih  menjelaskan sosok Hasan dihadapan Ibu majikan  terlihat begitu semangat. Suaranya lantang, tidak seperti biasannya. 

Detik telah menjadi menit, keduanya diseret menjadi hari-hari Ratih yang menyenangkan. Walau hanya empat hari bertemu Hasan, itu sudah cukup mengusir segala kesedihan. Malam itu selepas kerja, Hasan mengajak Ratih ketepi pantai. Berjalan diatas pasir-pasir lembut menikmati ombak malam yang sendu. Ratih menatap Hasan, ingin rasanya ia sandarkan segala keletihan yang  selama ini menjadi beban. Keduanya berjalan seakan tak ada tempat yang cocok untuk berhenti. Sesekali mereka saling tatap saat menemukan sepasang insan berpelukan. Ratih mengangkat alis, Hasan hanya tertawa terbahak-bahak. Dengan rasa malu, Ratih mempercepat langkahnya meninggalkan orang yang  sedang tenggelam dalam nikmatnya cinta. Ratih tak menyangka, ternyata Hasan bukan orang pendiam yang selama ini ia kira. Ia benar-benar nyaman berada dekat Hasan. Senyaman Cleopatra  dalam pelukan Julius Caesar.

“Mas, serius mau balik ke Cairo ?”. Sambil membelai lembut pundaknya yang rata. “Iya cin,…kita honeymoon disana,  aku gak mau nyia-nyiain kesempatan, kamu juga bisa sambil kuliah kan disana.” “Emmms… ya udah, tapi aku punya satu  permintaan.”  “Apa sayanggggg ?”. Sambil memeluk Ratih dari belakang.  “Aku mau kita tinggal di Zahro, itu kan tempat pertama kita ketemu.” Hasan hanya menggerutkan kening. Senyumnya yang nakal, membuat kekasihnya itu mencubitnya beberapa kali. Tampaknya dua pasang pengantin ‘anyar’ itu sudah mengerti tugasnya masing-masing saat malam mulai sepi. Rembulan dibuatnya iri mengintip dari balik surau yang wangi. Bintang gemintang hanya berani menyoroti teras rumah tanpa mengusik ketenangan dikamar itu. Keduanya akan meneruskan malam-malam indah lainnya di Zahro, bumi tempat mereka bersua diawal jumpa.


Dimuat dibuletin PRESTASI,  ( Salah satu Buletin kekeluargaan di Mesir )