Jumat, 09 Desember 2011

Tentang Jodoh dari Mediterania



Sore itu senja masih ranum. Aku belum mau beranjak dari tempat duduk diatas pasir pantai. Mataku jauh memandang ujung ombak yang meriak-riak seperti suara lagu. Didepan orang-orang sedang asyik tenggelam bersama air laut yang asin. Mereka masih menunggu sunset yang belum juga muncul. Sederetan pesisir hanya dipadati anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, sedikit sekali kembang desa yang terlihat. Kedua tangan, saya sandarkan pada kaki yang  bertengkuk mirip segitiga tanpa siku. Sengatan senja menghangatkan sekujur tubuh.  Aku malah lebih suka senja berjalan lahan, tidak seperti orang-orang itu, mereka ingin senja cepat pulang. Aku tak peduli apa yang mereka ingin, aku hanya menikmati secangkir sore dengan guratan cahaya menambah manis rasa.

Aku berada diatas bumi Mediterania. Menikmati eksoteriknya yang mempesona, terlebih saat sore seperti ini. Aku duduk berlama-lama seakan hidup tak ada beban. Padahal pagi tadi, hampir saja air mata ini tumpah. “Cinta bukan untuk dipaksa, cinta tulus datang dari ketukan hati.  Aku tidak semena-mena menolak, tapi waktu belum bisa menjawab. Kamu ngerti kan maksudku ?”. “Kau masih meragukkan ku Lin ? Sudah setahun kita bersama, apakah itu belum cukup untuk sekedar mengetuk hatimu, atau ada sebab lain, atau malah…..”. Belum sempat aku meneruskan kalimat terakhir. “Sudah ! cukup, berapa kali aku harus mengulang, kalau aku masih sendiri dan sampai saat ini pun sendiri, aku cuma belum bisa menerima. Hati kecilku masih berat menyambut cahaya cinta darimu, kita berteman saja, seperti kemarin dan setahun yang lau.”. “Waktu yang sia-sia” . Ujarku sewot.  “Sudah terserah kau sajah, tanpa kau pun aku masih bisa hidup, masih bisa menikmati Mediterania diluar sana”. Sambil wajahnya ia palingkan keluar jendela, terlihat hamparan laut yang indah. 

Dia beranjak dari tempat duduk ,  dengan terus menyeka air mata dia berjalan  keluar membanting pintu. Kami memang sering berdiam kata, saat seperti ini. Biar waktu yang mencairkannya kembali.  Keputusanku sudah bulat, ingin segera menikahinya, sudah hampir enam bulan kita tinggal satu flat , sebagai teman seprofesi waktu itu, dan dengan banyak kesamaan yang kita miliki, aku dan dia menetapkan tinggal satu rumah, walau semua itu penuh dilema. Tapi setiap rasa itu saya ungkap, hati kecilnya tak terusik sedikitpun. Dia seperti egois dan keras kepala, dia lebih asyik dengan pendiriannya. Betapa seluruh persendian ini menyebut-nyebut namanya sepanjang hari. Menahan segala rasa yang seharusnya tumpah ruah membanjiri ruangan ini.  Satu atap, satu air, satu kehidupan.  Itu semua nihil!!. Sudah, aku putuskan kita berpisah. 

Setelah kejadian itu, aku berkemas dengan barang-barang seadanya dan secepatnya. Aku pergi meninggalkannya tanpa izin. Siapa orangnya yang kuat tinggal dengan keadaan seperti itu, bunga yang indah hanya bisa dinikmati dengan mata, tanpa bisa disentuh sedikitpun.  Suara itu, suara itu membangunkan ku. Oh…ternyata aku sedang melamun, mengingat kejadian pagi tadi. Aku pilih tombol reject, suara itu pun diam. Bukan hanya itu, Hp langsung aku non-aktifkan. Aku tahu, itu dari Linda. Biasanya sore-sore seperti ini dia mengajak masak bersama, tapi kali ini aku yakin tidak. Dia kehilanganku mungkin.

Sementara senja sudah dari tadi lenyap. Orang-orang pun mulai berkurang.  Suasana maghrib disisi kanan Mediterania ternyata sama indahnya dengan sisi tengah tepatnya  didepan  flat .  Aku bergegas pulang, menunaikan ibadah mengadu kepada Tuhan. Liburan kali ini aku ingin berlama-lama agar tidak cepat bertemu Linda.  Aku ingin saat bertemu nanti keadaan sudah berubah, aku anggap kita biasa saja, seperti tak pernah berteman, seperti tak pernah tinggal satu rumah, seperti tak ada kehidupan. Hampa.

Langit kamar tampak berbeda, ia seperti menyuguhkan rasa iba kepada jiwa yang terlanjur lena. Tempat baru yang sepi dari senyum, canda, tawa, ngambek, dan tangisan seorang wanita, membuat mata ini susah dibawa kealam mimpi. Ombak diluar sana saling berebut menghisap kaki-kaki ditepi darat. Suaranya menghasilkan dentuman air yang khas.  Semakin  mempersulit malam. Dengan rasa sungkan aku mengambil handphone yang tergeletak diatas meja.  Sudah satu hari benda itu tidak bicara.  Setelah aktif kembali, ternyata cuma ada 7 pesan. Pesan yang sama dari orang yang sama, Linda.

            Sebelum lebih jauh, kembalilah kesini, rumahmu rumahku, rumah kita. Tak ada yang bisa menggantikan posisi kau  sekarang sebagai teman, sahabat, dan keluarga. Jangan kau katakana lagi tentang hal itu, percayalah kalau  jodoh tentu tidak kemana, semoga saja suatu saat saya bisa menyambut hangat cinta mu. Tapi untuk sekarang cobalah berfikir dewasa, kalau cinta memang bukan tempatnya orang yang terpaksa. Cinta lahir dan tumbuh bersemi pada jiwa  yang tulus. Andai waktu yang menentukan, kenapa tidak kita sandarkan semua ini pada-Nya. Seandainya kau tak juga kembali, aku akan kehilangan sahabat terbaik yang paling mengerti keadaanku saat susah maupaun senang. Aku harap kau tidak jadi pecundang, yang kalah sebelum perang. Linda.

Tak terasa air mata ini hampir saja meleleh, jiwa kelelakian saya tumbang begitu saja. Saat  saya benar-benar terpuruk dalam sekatan hidup, tiba-tiba saja Linda hadir dengan segala kharismanya. Dia telah merubah cara pandang hidup saya yang dianggapnya salah, dan dia berhasil membawa saya bersama langkah-langkah konkrit menuju kesuksesan. Kau sungguh wanita istimewa, Linda.

Tapi rasa nyeri ini belum mau pergi. Dan entah sampai kapan semua itu akan berakhir. Aku hanya akan kembali jika kau setuju dengan niatku. Niat menyatukan kita dibawah ikatan suci.  Sudahlah, aku akhiri saja perenungan malam ini. Kutarik selimut dan mulai terpejam tiba-tiba gelap tak ada suara.

Satu bulan kemudaian #

Linda dengan gaun hijaunya terlihat cantik. Dari kejauhan hanya bisa memandang tanpa berani menyapa. Hari itu Hotel mengadakan pesta pernikahan dan semua karyawan diminta hadir. Sepulang kerja saya kembali lagi ke Hotel dengan penampilan seadanya.  Acara pernikahan anak Manajer berlangsung meriah,  bahkan seisi hotel dijadikan tempat resepsi terindah yang pernah ada. 

Linda memandang wajah saya sinis, dia tau kalau saya telah jadi pecundang. Sejak pesannya tak pernah aku balas, dia meyakini kalau persahabatan kita harus pupus. Pupus karena salah satu ungkapan sederhana dengan seribu makna. Cinta.  

Saya duduk seperti biasa, dibangku panjang yang tak terlalu ramai orang.  Duduk sendiri menghadap langit hitam. Dengan segala rasa yang berkecamuk, saya ambil sebatang rokok dan menyulutkannya dengan emosional.  Saya kepulkan asap keatas, tanpa melihat rekan kerja yang datang menghampiri. Dia mengajakku ikut bermain gitar sebagai persembahan lagu dari para staff kepada pengantin. Sempat saya menolak,  dengan keadaan seperti ini saya sulit fokus dalam hal apapun. Namun akhirnya saya iyakan ajakannya itu.

Lagu pertama usai kami mainkan. Dust in The wind milik Scorpion, berhasil kami nyanyikan dengan sangat sederhana, sekedar menghibur. Ditengah kerumunan, Linda tampak terlihat gusar melihat saya berada diatas panggung.  Antara tidak suka dan muak melihat saya seperti musuh. Dia pun segera pergi meninggalkan ruangan . Selepas acara, saya mencari Linda diruangan belakang, sekedar memenuhi panggilan hati saat itu.  Linda sedang duduk dibangku bundar dekat kolam renang, dengan dua gelas orange diatas meja bulat.  Dari jauh sempat bertanya dengan siapa Linda saat itu. Tiba-tiba dari arah toilet, datang seorang  pria dengan jas hitam yang licin, terlihat senyumnya yang lebar. Dia bergegas duduk didepan Linda. 

Belum sempat menyapa, Linda sudah lebih dulu memperkenalkan laki-laki itu. “Ini Hendra, tunanganku. Insya Allah bulan depan kita nikah, datang yahh.” Kata-kata itu bagai petir disiang bolong menyambar merobek seluruh ulu hati, pecah berkeping-keping.  Tanpa jeda, saya langsung menarik tangan Linda dan membawanya menjauh dari pria itu. “Lind, maksud kamu apa ?. Kenapa semua jadi begini ?”. “Yah begituh, cintaku sudah berlabuh padanya, dan kau sama sekali tidak punya hak untuk melarang, karena kau bukan siapa-siapa lagi.” “Linda, apa karena kau sakit hati,  apa kau sengaja balas dendam ?”. “Balas dendam untuk apa ?, saya memang suka sama dia, dan dia juga demikian.” Dengan kencang melepas tangannya dari genggamanku pergi dengan pria itu. Sebenarnya, saya tidak akan menyentuh tangannya secara sengaja, karena memang bukan muhrim. Tapi itu semua, dikalahkan oleh emosi yang sedang meninggi.

Kini rintik hujan mulai membasahi bumi Alexanderia. Sebagai tanda awal musim dingin, sedingin otakku yang seperti membeku. Aku ingin lari mencari kehidupan baru, kehidupan yang suci dari dusta seorang wanita. Sungguh ingin sekali aku benamkan wajah ini kedasar laut, agar tak pernah lagi melihat sesuatu diatas bumi. Setelah malam yang hitam itu. Aku lebih sering berkawan dengan sepi, sunyi, gelap dan buram tanpa cahaya. Rasa sakit ini masih menyisakan perih yang semakin menusuk. Entah, hati kecil bermaksud memaafkannya, sebagai manusia yang memiliki Tuhan yang Maha pengampun, maka sepantasnya saya sudah memaafkan Linda yang seminggu lagi  akan melaksanakan resepsi pernikahannya. Kartu undangan berwarna ungu dengan gambar love yang ditengahnya sepasang merpati saling berpagut, tergeletak diatas meja. Namanya begitu jelas tertulis disudut sebelah kanan amplop, Linda dan Hendra. Entah siapa yang menaruhnya, tiba-tiba saja sudah ada dengan begitu rapihnya.  Aku membacanya dengan setengah memburu, nafasku berhembus tidak wajar. Ingin segera kurobek  foto yang terpampang disana, foto gadis cantik yang  hampir saja lupa. 

Belum sempat habis bara yang sedang meradangi jiwa, tiba-tiba dari ponsel datang sms  dari Linda, dia memintaku hadir  di acara perkawinannya itu. “Sungguh naïf !!, seandainya aku menuruti kemauannya. Lelaki macam apa aku ini, dipermainkan segitu gampangnya oleh wanita yang terang-terangan mengutukku menjadi pecundang. Dasar sampah !!”.Teriakku sambil membuang kartu itu ketong sampah dekat meja. 

Tepat malam sebelum acara pernikahan Linda, Hendra calon suaminya tewas akibat kecelakaan dalam perjalanan pulang. Akhirnya saya memang datang ke kediamannya, sesuai hari yang tertulis diatas kertas ungu itu, tapi bukan untuk menyaksikan kebahagiaan, hanya ada  ratapan kesedihan yang mendalam. Saya melihat Linda, tak henti-hentinya menangis. Saat itu juga keegoisan saya selama ini luluh lantak, saya datang menghampiri mencoba menenangkannya. Malam itu langit seperti berkabung menemani kesedihan dirumah itu.

“Jodoh memang tidak kemana, benar begitu katamu dulu. Sekarang kita sudah menikah, setelah puluhan purnama saya menunggu saat seperti ini, memandang dirimu utuh”. Sebulan setelah kepergian Hendra, Linda bergegas lari masuk begitu cepatnya kedalam lorong hati yang hampir saja tertutup. “Iya mass, jodoh, rezeki, anak,  itu sudah ada yang ngatur”. Sambil  berjalan menutup pintu kamar, saya mengikutinya dari belakang.