Aku menulis
surat ini di musim dingin. Ketika siang lebih cepat daripada malam. Saat
orang-orang lebih suka mendekam di rumah ketimbang keluar mencari senja. Saat
burung-burung gagak memilih senggama di pojok saka tanpa melihat kerimbunan
pohon yang sudah berembun. Kecuali anjing-anjing yang tetap mengaung seperti
saat musim panas yang panjang dan sibuk.
Aku menulis
surat ini dengan tangan sedikit gemetar. Jari-jari seperti membeku. Warnanya
pucat putih nyaris mirip orang mati. Satu persatu kata mulai terangkai
membentuk kalimat-kalimat aneh. Subuh, aku menulis surat di waktu itu. Saat
suasana seperti di lembah salju atau di pinggiran Himalaya. Tapi aku tetap
menulis surat ini dengan rasa membuncah.
Sebelumnya
akan kuceritakan kepada Dinda, ya surat ini untuk Dinda. Saat aku menulis surat
ini musim dingin barulah sejengkal. Sebelumnya ada hujan sebagai tanda
pertemuan musim dingin dan perpisahan musim panas. Hujan ini sangat dirindukan
tidak seperti di kampung Dinda yang dicemooh karena hampir setiap hari hujan.
Walau dirindukan, hujan di sini tidak lama hanya beberapa menit tidak sampai
satu jam. Guyuran air yang mengalir dari langit pun tidak begitu banyak cukup
membasahi dan mengawali kedatangan musim dingin.
Lalu tanah
sedikit lembab, selaksa kabut perlahan menggumpal. Musim dingin mulai datang.
Membawa ketenangan, kesejukan dan kesunyian. Seperti suasana kota dimana Dinda
angankan. Tapi musim dingin terlanjur menggigil. Aku hampir meler setiap hari,
tidak mandi berminggu-minggu tetapi rajin menulis surat ini. Dinda tahu, aku
menulisnya di taman saat angin musim menusuk-nusuk. Tapi tak usah risau tentang
kesehatan aku jamin dengan dua lapis jaket semua aman.
Dinda tahu,
musim dingin aku tidak bisa bersantai-santai di Khan Khalili. Menghabiskan
senja sekaligus mencari setangkai dua tangkai inspirasi. Apalagi jika galau itu
datang aku harus segera mencari tempat sendiri untuk menuntaskannya. Biasanya
di Babul Futuh di sana ada masjid tua tempat orang-orang Syiah menjalankan
ritualnya. Sedang di teras masjid akan ada tempat duduk jika malam tiba;
menyediakan aneka kopi, teh dan syisa. Pekerjaan itu mampu mengusir galau dan
menumbuhkan banyak ide.
Tapi semua
itu tidak bisa dikerjakan di musim dingin. Atau bisa tapi Dinda pasti akan
melarang karena sangat tidak baik untuk kesehatan. Untuk hal ini aku tidak bisa
kompormi dengan kamu, Dinda. Oleh karena
musim dingin itu aku lebih suka merengkuh selimut lalu bergumul dengannya.
Sesekali berhangat-hangat dengan kopi dan sebatang rokok. Sehingga ide untuk
menulis surat ini hanya datang dari ruangan kosong dan lagu-lagu kenangan yang
semu.
Sementara
daun-daun menyiur pelan. Langit masih gelap. Sorotan lampu taman masih
menjelaskan pemandangan sekitar. Taman ini kosong. Hanya beberapa pohon pendek
namun rimbun yang mengitarinya. Pagar pembatas yang mengelilingi gedung ini
memanjang tidak menjelaskan apa apa. Aku duduk menghadap barat melihat Jupiter
yang masih ranum. Dinda, inilah saat-saat paling menenangkan. Suasana subuh
yang sepi, udara sejuk dan surat untuk Dinda yang belum usai.
Seperti
setiap kali kita pulang sekolah. Dinda akan rajin menuliskan surat untukku.
Surat yang terbungkus amplop biru muda denga sisa parfum yang masih melekat. Wanginya
menidurkan bunga-bunga di samping rumahku. Begitupun aku akan membalas surat
itu dengan amplop yang sama namun tulisan sedikit berantakan. Perempuan memang mahluk
halus sampai pada lentik-jarinya. Tapi tentang isi surat itu tentu tidak akan
kuceritakan di sini, karena akan membangunkan kesedihan lama yang sudah
mengendap oleh kekuatan kata. Sepanjang angin musim berhembus, setahun dua
tahun sampai beberapa tahun kita berpisah. Hanya satu yang masih kita kerjakan
bersama yaitu menulis surat ini.
Dinda, aku
menulis surat ini dengan cambuk rindu yang terus memecut. Entah sampai kapan
kebiasaan ini akan berakhir: kebiasaan bodoh menulis surat. Bukankah zaman
sekarang sudah ada facebook atau email yang memudahkan komunikasi. Tidak perlu repot
dengan pulpen ataupun kertas. Tapi segala kenangan bemula dari sana. Saat
senyummu masih begitu biru dan kaku. Apakah kita akan meninggalkan sumber dari
sebuah cerita. Cerita tentang kita. Tentang rindu, cinta dan luka.
Din, apakah
sekarang kau sedang menulis surat, seperti aku menuliskannya dalam keadaan
mabuk?
Sebelum aku
lanjutkan menulis, Dinda perlu tahu bahwa di sini di tempat aku tinggal, banyak
orang-orang memilih menikah lebih dulu ketimbang merampungkan studi. Mereka
seperti percaya diri bahwa menikah di umuran 22/23 (laki-laki) dan 18/19
(perempuan) mampu menghasilkan keluarga yang sukses dan mandiri. Satu lagi yang
aku tidak habis pikir, biaya rumah tangga mereka lebih banyak ditanggung orang
tua. Bukankah ini aib?. Menikah adalah menciptakan keluarga baru, bukan
sepenuhnya menyandarkan hidup ke pada keluarga lain. Entahlah Dinda, aku
mungkin egois. Egois dalam berfikir. Sebab ini juga yang membuat Dinda resah
kepalang resah: dipaksa menikah di usia seperti itu.
Din,
walaupun kita berjarak benua aku tidak takut selama kita masih menulis surat.
Kamu ingat saat Bapak menolak kunjunganku ke rumah lantaran aku bukan pemuda
yang diidamkannya. Lalu mengusirku pelan-pelan. Tapi ada yang paling menyakitkan
waktu itu, dia membakar semua suratku. Dan itu menjadi renungan paling menyayat
sepanjang perjalanan kita.
“Kamu jangan
jadi laki-laki egois yang menyerah begitusaja. Bukankah laki-laki adalah mahluk
paling kuat di dunia?”
Ini adalah
ungkapan beberapa tahun silam. Saat aku berhenti menulis surat karena sakit
hati. Kau meremehkan kejantananku sebagai lelaki. Baru kemudian aku sadar bahwa
menulis surat adalah kebahagiaan tersendiri. Seperti kebutuhan di saat
keadaan-keadaan tertentu. Seperti di musim dingin ini aku akan rajin menulis
surat. Musim dingin memang gandrung dengan kata-kata. Apalagi di kota ini,
tempat yang banyak melahirkan inspirasi.Tentu akan banyak eksplorasi di suratku
nanti.
Din, aku masih
menulis surat ini di taman kosong. Keadaan yang tak berubah. Hanya tangan sudah
tak begitu gemetar. Tak ada kopi. Suatu
saat aku ingin menulis surat di taman yang ada bangku panjang. Di sana kau
duduk manis menatap langit dan sesekali menjatuhkan senyum. Sehingga sumber
inspirasi nyata di depan mata bukan lagi mengandalkan benak yang kadang
lupa.Tapi kapan saat indah seperti itu? saat angin bermanja-manja dengan gerai
rambutmu. Lalu aku membetulkan sedikit saja garis-garis hitam yang nakal itu.
Dinda,
sebelum aku rampungkan surat ini. Aku ingin kita berjanji agar tetap menulis.
Di zaman edan ini menulis sudah menjadi asing sekali. Banyak para pelajar yang
alergi dengan pekerjaan mulia ini. Padahal menulis adalah sumbangan terbesar
untuk sebuah peradaban. Din, aku mau kita bukan mereka. Apalagi kita sering
menulis surat, mungkin kecintaan kita pada tulisan melebihi segalanya. Bahkan
Pram sudah mewanti-wanti dengan ungkapan masyhur itu. Tapi akh, zaman sekarang
mana tahu siapa itu Pram, pemuda-pemudi kini lebih sibuk lagu-lagu korea,
diskusi soal gadget terbaru, jangan-jangan Pram, HB Yassin, bagi mereka adalah
semacam makanan atau merek handphone. Entahlah Dinda, yang penting kita bukan
mereka.
Aku ingin
Dinda selalu akrab dengan Para Pelancong Kesedihan-nya Agus Noor atau Atas
Nama Malam-nya Seno Gumira Ajidarma. Kelak dari sana akan lahir sebuah
kisah; Surat untuk Dinda. Kalau aku ibaratkan Dinda adalah puisi yang
sarat makna dan gandrung misteri sedang aku ialah sajak yang mudah ditebak dan simpel.
Surat ini
sudah hampir selesai. Tapi masih ada satu kejanggalan yang menyumbat pikiran. Sehingga
menghalangi penuntasan surat ini. Satu hal yang masih menjadi problem kehidupan:
ternyata aku masih menyimpan ragu. Ragu untuk menjadi lelaki berani seperti
yang Dinda minta. Lelaki berani adalah merelakan Dinda dipinang orang lain, ini
yang Dinda maksud sebagai lelaki pemberani. Dan sampai detik ini aku masih ragu
untuk jadi pemberani. Entah sampai kapan.
Dinda, kau
memang perempuan pandai meramu teori. Sehingga makna berani menjadi luas
–bahkan melewati batas kewajaran.
Aku khawatir
saat kita bertemu nanti. Senyum itu bukanlah milikku satu-satunya. Ia telah
punya pendamping yang selalu mengawasi dengan ketat. Jangan-jangan aku tidak
bisa lagi melihat gerai rambutmu.
Semerbak parfum itu mungkin sudah diganti dengan yang lebih mahal namun asing.
Maka kekosongan taman itu lebih baik ketimbang kau datang membawa duri. Mungkin
aku terlahir dari rahim kesepian. Atau lebih tepatnya hadir untuk menemani sang
sepi.
Akhirnya
surat ini rampung dengan kepasrahan pena. Aku percaya rindu tidak bisa sembunyi
di balik musim dingin yang sepi. Ia bergelombang-gelombang bagai debur di sore
hari. Aku ingin Dinda menerima surat ini dalam keadaan lengkap. Tidak sekedar
kata-kata, karena surat ini membawa duka dan setitik rasa bangga. Bukankah bidadari
berdarah yahudi, Hannah Arendt pernah mengutip kata-kata ini:
…Derita
menjadi tertangguhkan ketika menjelma menjadi sebuah cerita…
Kairo, 26
November 2012.