Senin, 29 April 2013

Surat untuk Dinda



Aku menulis surat ini di musim dingin. Ketika siang lebih cepat daripada malam. Saat orang-orang lebih suka mendekam di rumah ketimbang keluar mencari senja. Saat burung-burung gagak memilih senggama di pojok saka tanpa melihat kerimbunan pohon yang sudah berembun. Kecuali anjing-anjing yang tetap mengaung seperti saat musim panas yang panjang dan sibuk. 

Aku menulis surat ini dengan tangan sedikit gemetar. Jari-jari seperti membeku. Warnanya pucat putih nyaris mirip orang mati. Satu persatu kata mulai terangkai membentuk kalimat-kalimat aneh. Subuh, aku menulis surat di waktu itu. Saat suasana seperti di lembah salju atau di pinggiran Himalaya. Tapi aku tetap menulis surat ini dengan rasa membuncah.

Sebelumnya akan kuceritakan kepada Dinda, ya surat ini untuk Dinda. Saat aku menulis surat ini musim dingin barulah sejengkal. Sebelumnya ada hujan sebagai tanda pertemuan musim dingin dan perpisahan musim panas. Hujan ini sangat dirindukan tidak seperti di kampung Dinda yang dicemooh karena hampir setiap hari hujan. Walau dirindukan, hujan di sini tidak lama hanya beberapa menit tidak sampai satu jam. Guyuran air yang mengalir dari langit pun tidak begitu banyak cukup membasahi dan mengawali kedatangan musim dingin.

Lalu tanah sedikit lembab, selaksa kabut perlahan menggumpal. Musim dingin mulai datang. Membawa ketenangan, kesejukan dan kesunyian. Seperti suasana kota dimana Dinda angankan. Tapi musim dingin terlanjur menggigil. Aku hampir meler setiap hari, tidak mandi berminggu-minggu tetapi rajin menulis surat ini. Dinda tahu, aku menulisnya di taman saat angin musim menusuk-nusuk. Tapi tak usah risau tentang kesehatan aku jamin dengan dua lapis jaket semua aman.

Dinda tahu, musim dingin aku tidak bisa bersantai-santai di Khan Khalili. Menghabiskan senja sekaligus mencari setangkai dua tangkai inspirasi. Apalagi jika galau itu datang aku harus segera mencari tempat sendiri untuk menuntaskannya. Biasanya di Babul Futuh di sana ada masjid tua tempat orang-orang Syiah menjalankan ritualnya. Sedang di teras masjid akan ada tempat duduk jika malam tiba; menyediakan aneka kopi, teh dan syisa. Pekerjaan itu mampu mengusir galau dan menumbuhkan banyak ide.

Tapi semua itu tidak bisa dikerjakan di musim dingin. Atau bisa tapi Dinda pasti akan melarang karena sangat tidak baik untuk kesehatan. Untuk hal ini aku tidak bisa kompormi dengan kamu, Dinda.  Oleh karena musim dingin itu aku lebih suka merengkuh selimut lalu bergumul dengannya. Sesekali berhangat-hangat dengan kopi dan sebatang rokok. Sehingga ide untuk menulis surat ini hanya datang dari ruangan kosong dan lagu-lagu kenangan yang semu.
Sementara daun-daun menyiur pelan. Langit masih gelap. Sorotan lampu taman masih menjelaskan pemandangan sekitar. Taman ini kosong. Hanya beberapa pohon pendek namun rimbun yang mengitarinya. Pagar pembatas yang mengelilingi gedung ini memanjang tidak menjelaskan apa apa. Aku duduk menghadap barat melihat Jupiter yang masih ranum. Dinda, inilah saat-saat paling menenangkan. Suasana subuh yang sepi, udara sejuk dan surat untuk Dinda yang belum usai.

Seperti setiap kali kita pulang sekolah. Dinda akan rajin menuliskan surat untukku. Surat yang terbungkus amplop biru muda denga sisa parfum yang masih melekat. Wanginya menidurkan bunga-bunga di samping rumahku. Begitupun aku akan membalas surat itu dengan amplop yang sama namun tulisan sedikit berantakan. Perempuan memang mahluk halus sampai pada lentik-jarinya. Tapi tentang isi surat itu tentu tidak akan kuceritakan di sini, karena akan membangunkan kesedihan lama yang sudah mengendap oleh kekuatan kata. Sepanjang angin musim berhembus, setahun dua tahun sampai beberapa tahun kita berpisah. Hanya satu yang masih kita kerjakan bersama yaitu menulis surat ini.

Dinda, aku menulis surat ini dengan cambuk rindu yang terus memecut. Entah sampai kapan kebiasaan ini akan berakhir: kebiasaan bodoh menulis surat. Bukankah zaman sekarang sudah ada facebook atau email yang memudahkan komunikasi. Tidak perlu repot dengan pulpen ataupun kertas. Tapi segala kenangan bemula dari sana. Saat senyummu masih begitu biru dan kaku. Apakah kita akan meninggalkan sumber dari sebuah cerita. Cerita tentang kita. Tentang rindu, cinta dan luka.

Din, apakah sekarang kau sedang menulis surat, seperti aku menuliskannya dalam keadaan mabuk?

Sebelum aku lanjutkan menulis, Dinda perlu tahu bahwa di sini di tempat aku tinggal, banyak orang-orang memilih menikah lebih dulu ketimbang merampungkan studi. Mereka seperti percaya diri bahwa menikah di umuran 22/23 (laki-laki) dan 18/19 (perempuan) mampu menghasilkan keluarga yang sukses dan mandiri. Satu lagi yang aku tidak habis pikir, biaya rumah tangga mereka lebih banyak ditanggung orang tua. Bukankah ini aib?. Menikah adalah menciptakan keluarga baru, bukan sepenuhnya menyandarkan hidup ke pada keluarga lain. Entahlah Dinda, aku mungkin egois. Egois dalam berfikir. Sebab ini juga yang membuat Dinda resah kepalang resah: dipaksa menikah di usia seperti itu.

Din, walaupun kita berjarak benua aku tidak takut selama kita masih menulis surat. Kamu ingat saat Bapak menolak kunjunganku ke rumah lantaran aku bukan pemuda yang diidamkannya. Lalu mengusirku pelan-pelan. Tapi ada yang paling menyakitkan waktu itu, dia membakar semua suratku. Dan itu menjadi renungan paling menyayat sepanjang perjalanan kita.
“Kamu jangan jadi laki-laki egois yang menyerah begitusaja. Bukankah laki-laki adalah mahluk paling kuat di dunia?”

Ini adalah ungkapan beberapa tahun silam. Saat aku berhenti menulis surat karena sakit hati. Kau meremehkan kejantananku sebagai lelaki. Baru kemudian aku sadar bahwa menulis surat adalah kebahagiaan tersendiri. Seperti kebutuhan di saat keadaan-keadaan tertentu. Seperti di musim dingin ini aku akan rajin menulis surat. Musim dingin memang gandrung dengan kata-kata. Apalagi di kota ini, tempat yang banyak melahirkan inspirasi.Tentu akan banyak eksplorasi di suratku nanti.

Din, aku masih menulis surat ini di taman kosong. Keadaan yang tak berubah. Hanya tangan sudah tak begitu gemetar.  Tak ada kopi. Suatu saat aku ingin menulis surat di taman yang ada bangku panjang. Di sana kau duduk manis menatap langit dan sesekali menjatuhkan senyum. Sehingga sumber inspirasi nyata di depan mata bukan lagi mengandalkan benak yang kadang lupa.Tapi kapan saat indah seperti itu? saat angin bermanja-manja dengan gerai rambutmu. Lalu aku membetulkan sedikit saja garis-garis hitam yang nakal itu.

Dinda, sebelum aku rampungkan surat ini. Aku ingin kita berjanji agar tetap menulis. Di zaman edan ini menulis sudah menjadi asing sekali. Banyak para pelajar yang alergi dengan pekerjaan mulia ini. Padahal menulis adalah sumbangan terbesar untuk sebuah peradaban. Din, aku mau kita bukan mereka. Apalagi kita sering menulis surat, mungkin kecintaan kita pada tulisan melebihi segalanya. Bahkan Pram sudah mewanti-wanti dengan ungkapan masyhur itu. Tapi akh, zaman sekarang mana tahu siapa itu Pram, pemuda-pemudi kini lebih sibuk lagu-lagu korea, diskusi soal gadget terbaru, jangan-jangan Pram, HB Yassin, bagi mereka adalah semacam makanan atau merek handphone. Entahlah Dinda, yang penting kita bukan mereka.

Aku ingin Dinda selalu akrab dengan Para Pelancong Kesedihan-nya Agus Noor atau Atas Nama Malam-nya Seno Gumira Ajidarma. Kelak dari sana akan lahir sebuah kisah; Surat untuk Dinda. Kalau aku ibaratkan Dinda adalah puisi yang sarat makna dan gandrung misteri sedang aku ialah sajak yang mudah ditebak dan simpel.

Surat ini sudah hampir selesai. Tapi masih ada satu kejanggalan yang menyumbat pikiran. Sehingga menghalangi penuntasan surat ini. Satu hal yang masih menjadi problem kehidupan: ternyata aku masih menyimpan ragu. Ragu untuk menjadi lelaki berani seperti yang Dinda minta. Lelaki berani adalah merelakan Dinda dipinang orang lain, ini yang Dinda maksud sebagai lelaki pemberani. Dan sampai detik ini aku masih ragu untuk jadi pemberani. Entah sampai kapan. 

Dinda, kau memang perempuan pandai meramu teori. Sehingga makna berani menjadi luas –bahkan melewati batas kewajaran.


Aku khawatir saat kita bertemu nanti. Senyum itu bukanlah milikku satu-satunya. Ia telah punya pendamping yang selalu mengawasi dengan ketat. Jangan-jangan aku tidak bisa lagi melihat gerai  rambutmu. Semerbak parfum itu mungkin sudah diganti dengan yang lebih mahal namun asing. Maka kekosongan taman itu lebih baik ketimbang kau datang membawa duri. Mungkin aku terlahir dari rahim kesepian. Atau lebih tepatnya hadir untuk menemani sang sepi.

Akhirnya surat ini rampung dengan kepasrahan pena. Aku percaya rindu tidak bisa sembunyi di balik musim dingin yang sepi. Ia bergelombang-gelombang bagai debur di sore hari. Aku ingin Dinda menerima surat ini dalam keadaan lengkap. Tidak sekedar kata-kata, karena surat ini membawa duka dan setitik rasa bangga. Bukankah bidadari berdarah yahudi, Hannah Arendt pernah mengutip kata-kata ini:

…Derita menjadi tertangguhkan ketika menjelma menjadi sebuah cerita…

Kairo, 26 November 2012.