Saya baru pulang dari sebuah perkumpulan sastra. Salah satu agendanya adalah mencari nama untuk komunitas yang masih baru itu. Setiap orang mengusulkan nama yang memantik perdebatan cukup panjang. Saat itu dengan polos saya mengusulkan nama: Kopi Tumpah.“Itu sudah pasaran” begitu ungkap salah satu anggota yang kebetulan perempuan. Saya bisu dibuatnya.
Karena perdebatan telah panjang namun belum menemukan nama yang cocok maka pertemuan disudahkan dan dilanjutkan minggu depan. Saya tidak langsung pulang sore itu, tapi memanjakan kaki menyusuri Toolo Bay di sepanjang jalan menuju Helsinki. Objek wisata ini memang disediakan pemerintah Finlandia untuk para pejalan kaki. Jadi semacam komplek bebas kendaraan, hanya berjejer di pinggirnya pohon-pohon cemara yang kurus dan beberapa Kedai.
Namun di ujung
nanti akan bertemu sebuah danau kecil dengan ilalang yang berwarna-warni.
Ditaburi guguran daun mapel yang jatuh tersenggol angin. Suasana pra senja yang
menggiurkan. Sambil mendengar lagu-lagu Metal dengan hedset, aku berjalan ke
arah barat seolah sedang mengejar senja yang hampir tenggelam. Di sana berdiri sebuah
Kedai yang membuat mataku tercengang sejenak, bukan karena pengunjungnya yang
rata-rata berpasangan, tapi karena nama kedai itu yang cukup aneh di telinga:
Kedai Mimpi. Aha, Kedai Mimpi!
Sore itu saya
kembali ke kos-an dengan pertanyaan yang tidak penting. Apakah Kedai itu
seperti yang diceritakan pengunjung tadi? bahwa setiap orang yang datang boleh
memanjatkan mimpi dan berhak terkabul jika dia berjanji akan mengunjunginya
kembali saat mimpinya terwujud? Ah, konyol sekali memang. Dia bercerita sambil
tertawa. Itu tandanya dia berbohong. Saya memang agak iseng bertanya nama itu.
Zaman sekarang masih percaya mitos? begitu pungkas perempuan yang tak lain adalah
pasangannya. Tapi bagaimanapun nama Kedai itu tetaplah unik. Paling tidak bagus
untuk judul cerita, atau minimal catatan pendek. Dan jujur saya sangat
penasaran dengan filosofinya.
***
Keesokan hari,
sepulang dari kampus saya segera meluncur ke Kedai Mimpi. Saya bertemu beberapa
teman kampus yang kebetulan bertujuan sama. Tapi karena mereka berpasangan saya
hanya sempat bertanya sekilas saja –bukans soal nama kedai itu-, “Kualitas kopi,
harga terjangkau dan suasana yang nyaman” begitu rata-rata jawaban yang muncul.
Memang Kedai itu berhadapan persis dengan danau, tak salah mereka
merekomendasikannya untuk diskusi atau bincang santai soal apapun, termasuk sastra.
Tapi karena saya datang sendiri (artinya tidak berpasangan) kunjungan ini lebih
ditekankan kepada pertemuan dengan Barista yang biasanya menjadi pemilik sebuah
Cafe atau Kedai.
Kini saya sudah
duduk di atas kursi kayu dengan sebuah meja bundar berwarna cokelat tua. Saya
tinggal menunggu kode dari pelayan untuk kesediaan Barista menerima kunjungan
konyol ini. Baik, beberapa menit kemudian saya telah dipersilahkan masuk ke
ruangan pribadinya.
“Kamu wartawan?”
“Oh bukan.”
Seperti seorang Barista pada umumnya. Kepalanya terikat slayer, memakai kalung berlonceng
kayu, gelang tali dan jeans ketat yang robek di bagian lutut.
“Saya cuma
penasaran dengan namanya saja. Kalau boleh tahu apa yah filosofinya?”
“Ohhh ….”
“Mungkin akan menarik
dibuat cerita.”
“Jadi kamu
penulis?”
Kali ini saya
tidak menjawab. Walau bukan penulis betulan. Tapi menulis cerita tentang kisah
seseorang adalah pekerjaan yang menyenangkan.
“Kalau kamu mau
nulis cerita dan judulnya: Kedai Mimpi, silahkan saja. Saya tidak keberatan.
Gratis kok”
“Hem… sebetulnya
saya penasaran dengan filosofinya. Itu kalau Miss berkenan menceritakan”
“Baik tunggu
sebentar yah.”
Perempuan
setengah baya itu berlalu menuju dapur. Terlihat ia sedang memberi instruksi
kepada para pelayan. Wajahnya manis. Usianya kira-kira 30-an. Kaos ketat yang
dipakainya bergambar personil Nightwish. Sungguh penampilan yang lain.
“Jadi kamu ingin
tahu filosofi Kedai Mimpi?”
“Iya Miss.”
“Kamu akan
mendengarkan cerita yang sangat panjang. Tapi mungkin akan saya ringkas”
“Waktu itu tahun
2013 saya masih di Kairo . . . . . “ (dan cerita pun berlanjut selama dua
jam lebih. Saya tak mungkin menuliskannya semua)
“Oh jadi waktu
itu Miss sudah jadi penulis?”
“Begitulah …”
“Lalu bagaimana
dengan dia?”
“Mungkin sudah menikah
dengan perempuan yang baik”
“Sayang sekali
Miss kalau berhenti menulis gara-gara cowok.”
“Itulah kenapa
saya menjadi Barista”
“Tapi tentu Miss
tidak berhenti total”
“Iya. Kadang saya
masih suka nulis tentang kopi”
“Terima kasih
banyak Miss. Kalau begitu saya pamit”
“Sama-sama. Kamu nggak
usah bayar minuman ini”
“Tack
Miss..”
Saya tersenyum
sambil berlalu keluar. Ada perasan aneh yang bergemuruh dalam dada. Perjalanan
hidupnya membuat saya agak merinding. Sangat penuh dengan kesenduan, persis
yang terjadi pada kisah-kisa roman era 70-an. Tampak wajahnya lebih banyak
ekspresi murung daripada ceria. Walau begitu di akhir cerita dia tersenyum
sambil menyembur nafas yang begitu lega. “Tapi itu sudah masa lalu ...” dan aku
menimpalinya “dan orang tidak mungkin lepas dengan masa lalu” ia mengangguk.
Dalam perjalanan
pulang, kegelisahan masih menghantui pikiran saya. Kegelisahan bukan tentang
masa depan –sebagaiaman yang lazim terjadi- tapi kegelisahan pada masa
lalu yang absurd. Seandainya waktu bisa
diputar mungkin saat ini dia sudah tinggal di Indonesia bersama anak-anaknya
yang lucu. Tapi itu omong kosong belaka, sebab sampai sekarangpun dia masih
sendiri. Sepertinya dia prustasi dengan laki-laki. Sekarang penasaran saya
beralih ke pemuda yang pernah menjadi kekasihnya. Suatu saat saya harus ke
Indonesia -entah negeri di belahan bumi
mana- yang jelas saya perlu pertanggung jawabannya, kenapa perempuan sebaik Miss,
ditinggalkan begitu saja.
Ternyata filosofi
Kedai Mimpi itu sangat sederhana. Tak sedalam yang kukira. Awalnya hanya sebuah
nama komunitas sastra. Tahun 2013 –berarti dua puluh tahun yang lalu- dia bersama
rekan-rekannya mendirikan komunitas tersebut untuk menghidupkan dinamika sastra
yang saat itu sedang loyo. Begitu juga awal kisahnya bertemu dengan dia, pemuda
yang pada akhirnya hanya mengendapkan luka dalam dadanya. Hingga kini, luka itu
masih abadi.
Tiba-tiba saya
teringat pertemuan dengan teman-teman minggu depan. Saya mulai berfikir dan
sedikit tersenyum. (**)