Senin, 16 April 2012

Aku dan Teratai Biru


 Kalian tentu bisa bayangkan Mesir yang setelah revolusi semakin terseret ekonominya. Meski sejak saya tiba di Mesir, dimana api revolusi belum berkobar, saya kira negeri ini lebih miskin dari Indonesia. Seperti yang bisa saya saksikan setiap hari, sepulang kuliah. Tramco (angkutan umum) yang mengantar saya ke kuliah tidak lebih baik dari angkutan umum di Jakarta. Padahal saya tinggal di Cairo, Ibu kota Mesir. Meski berada di daerah pinggiran namun tetap disebut Cairo.

Seorang ibu-ibu yang duduk disebelah saya, betapa tercium aroma bau badannya. Sebuah aroma yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, ia bau roti gandum yang sudah bercampur keringatnya, ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang gemuk. Saya sempat membayangkan bagiamana wanita mesir yang setelah menikah memutuskan untuk memiliki postur tubuh gemuk, walaupun itu terjadi pada orang-orang yang saya katakan tradisional secara budaya dan mental. Dan salah satu kecacatan sosial bagi saya adalah mereka terlalu memanjakan wanita, sehingga wanita diberi kebebasan untuk melakoni apa saja, mungkin karena dulu negeri ini pernah dipimpin oleh seorang Ratu, Cleopatra.

Perjalanan saya kali ini ditemani fenomena-fenomena yang membuat saya berfikir. Bagaimanapun, jika zaman yang sudah se-modern ini masih banyak orang kolot berkeliaran di pusat kota. Saya memiliki rambut hitam dan panjang. Seorang bapak-bapak mengenakan gamis yang sudah habis warnanya memaki saya dengan alasan yang tidak manusiawi. Saya dianggapnya melecehkan kaum pria, dari  mana saya melecehkannya, hanya karena rambut panjang dan wajah saya yang kebetulan imut. Setelah saya jelaskan dengan berbagai argumen si bapak diam tanpa reaksi, seperti tidak terjadi apa sebelumnya. 

Langit siang tampak berpijar cerah. Saya turun dari Tramco dan berjalan sejauh 10-m untuk mendapatkan Bus yang akan membawa saya ke Amru bin Ash, sebuah masjid legenda di bumi kinanah ini. Sengaja selepas kuliah saya tidak langsung pulang ke asrama, saya akan bertemu dengan seorang gadis mesir yang akan memberi saya Teratai Biru. Bunga yang dianggap suci oleh masyarakat mesir kuno. Awal perkenalan kami hanya lewat jejaring facebook, jejaring yang sudah menjadi generasi tersendiri ditengah pemanasan global.  Mau tidak mau, se-ndeso apa pun mereka yang datang ke Mesir, paling tidak akan dikenalkan dengan situs yang satu ini.

Bunga-bunga bermekaran disepanjang jalan. Musim semi kini mulai terasa dengan udaranya yang stabil. Angin menghembus pelan lewat jendela kaca. Saya berada di dalam Bus menyaksikan segala kesemrawutan mobil yang hendak parkir di depan taman al-Azhar. Taman yang selalu ramai pengunjung, terlebih pada saat musim semi seperti ini.  Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Bus berjalan lagi dan arus lalu lintas kembali lancar. Kesemrawutan mobil-mobil di pinggir jalan, seperti sudah menjadi tradisi di negeri ini.

Bus melaju dengan cepat melewati jalan naik-turun dan berselo. Disekitar jalan terlihat bongkahan tanah akibat proyek bangunan, yang sebentar akan diganti dengan gedung-gedung megah dan mewah. Saya tenggelam dalam pemandangan-pemandangan itu. Hingga saya teringat pada sosok gadis yang akan memberi saya setangkai bunga. Bunga yang pernah disucikan pada masa Cleopatra dulu. Bunga yang hanya mekar di pagi hari dan tenggelam saat senja tiba.  Bunga itu kini sudah menjadi tumbuhan yang tak dimitoskan lagi. Sebab zaman yang sudah se-modern ini, mana mau para penguasa menggunakan bunga itu lagi sebagai simbol kekuatan mereka. Dan bunga-bunga itu bisa kita lihat sekarang di pinggiran sungai Nil. Begitulah kisah perihal Teratai Biru yang keluar dari bibir manisnya.

Kau memang gadis polos, yang tak tau apa-apa tentang kekuasaan militer. Kau hanya menyaksikan beberapa saudaramu tertembak. Dan kau hanya bisa meratapi itu dengan segala ketidakpercayaan, bahwa mereka tewas saat revolusi 25 januari silam. Satu bulan kau bilang padaku, tidak pernah keluar kamar. Menangis dengan begitu kelunya. Sebab kau memang gadis yang tak suka ikut perkembangan politik, bahkan untuk negerinya sendiri. Kau lebih asik duduk bersama kawan-kawan mu bercerita tentang bunga-bunga teratai itu, burung-burung gagak yang mencelupkan paruhnya kedalam nil, dan senja-senja indah di sore hari.

Aku masih ingat betul, saat kau bilang kau kembali pulih. Dengan senyuman kecil kau katakana kalau hidup adalah anugerah, dan mereka –saudaramu yang tewas, syahid dan sudah senang di surga sana. Tanpa mau mencari tahu siapa pembunuhnya. Seandainya itu terjadi padaku, maka akan aku tuntaskan sendiri siapa dalang dibalik pembunuhan itu. Tragis memang, kalau saudaramu dibunuh bukan oleh orang yang berseragam, tapi oleh demonstran lain, entah siapa demonstran itu. Kau tak mempedulikannya.

Bus kembali ngadat di kawasan Sayeeda Aisyah, pasar yang ramai-riuh itu membuat ingatan saya seketika buyar. Terpaksa mata saya diajak menikmati ramainya para pedagang dan suasana pasar yang begitu sibuk.
“Aku percaya kalau Teratai Biruku bisa membuat orang senang dan bahagia” sambil melempar senyum padaku, sore menjelang maghrib di Amru bin Ash.

Di halaman masjid yang memiliki beranda indah meski sudah usang. Aku duduk, kau berdiri sembari melihat jalan. 

“Kamu masih percaya dengan mitos, di tengah gejolak negerimu ?”

“Iya, siapa tahu ia bisa mengembalikan senyum negeri ini.”

“Saudara kamu dibunuh, karena ia terlibat gerakan bawah tanah menggulingkan  Mubarak ?. Masih ingat, kalau semasa kepemimpinannya, orang Ikhwan seperti saudaramu diburu ? “

“Iya, makanya aku benci mereka !!”

“Siapa ?”

“Keluargaku, makanya aku tinggal di asrama bukan di rumah, dan kalau pulang aku ke rumah nenek.”

Sudah menjadi lumrah, jika sekelompok orang ingin menggulingkan penguasa, hidupnya akan resah, apalagi jika si penguasa seorang diktator. Memilih untuk menegakan kebenaran dan menumpas kebatilan kadang malah membuat ia sengsara dan orang sekitarnya lah yang kena imbasnya. Itu yang terjadi pada kehidupan si gadis yang berjanji akan memberiku setangakai bunga. 

Bagaimana negeri yang sudah berumur layaknya bumi ini dicipta. Dan rentetan masa ke masa yang jua belum menemui klimaksnya dalam hidup bernegara dan berbangsa. Sejak revolusi tahun 1952 Mesir telah banyak belajar dari para pemimpin terdahulu. Kilang minyak yang menjadi salah satu sumber kekuatan ekonomi tidak berkembang pesat layaknya negara timur tengah lainnya. Sedang jumlah penduduk miskin terus bertambah. Buta huruf juga kian merambat keseluruh pelosok negeri ini. Ditambah lagi dengan kejadian Tahrir 25 januari, negeri ini sudah rugi U$310 dalam sehari. Sedang ‘huru-hara’ itu berlangsung hampir setahun. Entah apa lagi yang harus dikorbankan untuk sekedar menegakkan sebuah keadilan.

“Kenapa wanita mesir begitu tinggi memberi tarif calon pasangannya ?” Selorohku disela ia melahap sepotong ice cream.

Saya tertawa girang setelah nada sinis dilemparnya dengan tatapan tajam. Untung saya cuma bergurau, kalaupun ia menjawab maka itu jadi pertanyaan serius dan akan saya publikasikan ke masyarakat luas. Sebab itu sudah lama masuk daftar pertanyaan-pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya tentang negeri firaun ini. Betapapun itu, menarik untuk diperbincangkan tentang fitrah wanita yang lembut dan menerima. Sebab Nabi pun bersabda, mahar sepasang sandal jepit pun tak apa.

Kami berjalan memasuki Mer Girgis, gereja yang bersandingan dengan masjid Amru bin Ash, tempat peribadatan orang kristen ini ramai dikunjungi oleh orang-orang nonkristen. Sebab disamping tempatnya yang strategis juga keantikan yang ada didalamnya. Anak-anak kecil berlarian disekitar sini, penjual kerajinan tangan berjejer mulai dari pintu masuk hingga kepintu belakang dan semerbak bau kemenyan dari pusat peribadatan. Kami menghabiskan sore di gereja itu sebelum akhirnya senja menutup dan kami sudah berada dirumah masing-masing.

Ternyata perjumpaan awal setelah bercanda ria lewat facebook, cukup berkesan. Bahkan untuk orang seperti saya, lebih dari cukup. Apalagi saya tipe orang yang sok akrab dan suka nyeloteh, dan beginilah hasilnya. Dia tertarik untuk meneruskan persahabatan ini hingga menjanjikan akan memberi saya bunga Teratai Biru, entah macam apa bentuknya.

***
Bus 65 berwarna kuning-hijau sudah parkir di area Mahattah, sengaja saya tidak turun di depan masjid. Saya ingin jalan kaki dan curi pandang terlebih dahulu, agar lebih tahu medan. Sering saya lakukan hal seperti ini, ketika masa SMA. Dan mungkin juga anda-anda pernah melakukan hal yang sama. Main belakang.

Sosok gadis sedang duduk diatas selarasan halaman masjid. Dengan wajahnya yang sibuk, ia menulis sesuatu diatas buku tulis berwarna ping. Seperti kemarin, bahkan kali ini lebih anggun. Itulah yang saya lihat dari jauh. Matanya kadang menerawang dan sesekali mengangguk sendiri. Kali ini saya masih menikmati gerak-geriknya dari arah yang lebih dekat. Dari jarak sekitar 5-m sudah tercium semerbak parfumnya yang menentramkan. Saya kagum dengan caranya memakai parfum yang berbeda dari kebanyakan gadis mesir, mereka berlebihan. Juga cara hidupnya yang tidak glamor, terutama dalam hal berpakaian. Segala tetek bengek bedak-rias yang sering menghiasi gadis mesir, ia tetap terlihat ayu meski tanpa semua itu. Cukup terwakili oleh wajah asli seorang wanita arab yang mempesona.

“Hai . . .” Begitu kata pembuka yang akrab dipakai kaula muda seperti saya. 

“Hai juga.” Jawabnya sambil menjatuhkan senyum.

“Apa yang sedang kau tulis ?” 

“Aku sedang menulis skenario cerita.” Saya lupa, kalau salah satu cita-citanya adalah menjadi seorang penulis, dan ia lebih suka menulis dengan bahasa inggris atau prancis justru malah kaku kalau disuruh nulis dengan bahasa arab.  Dan beberapa notenya sudah saya baca dibantu google untuk menerjemahkannya. Bukan hanya tulisannya yang berbahasa asing : inggris dan prancis, namun ia juga lihai dalam bercakap dua bahasa tersebut.

“Cerita apa yang hendak kau angkat, pasti tentang bunga-bunga itu lagi.”

“Tidak. Ini tentang anak-anak kecil yang tinggal disekitar sini !” Kali ini ia menolehkan wajahnya dan sepasang mata terpaksa bertemu. 

“Tentang mereka, anak para pengemis yang memilih untuk menjadi pengemis. Lihat ! saat turis-turis datang mengunjungi masjid ini, mereka merasa terganggu dengan ulah anak-anak pengemis itu. Anak-anak itu tidak akan sekolah, jika tidak ada lembaga yang menampungnya. Mereka asik melakoni pekerjaan orang tuanya.”

Saya menikmati gerak bibirnya yang melantun begitu indah, seraya bersama ide itu lahir ia berusaha meyakinkan siapa saja tentang anak-anak pengemis itu. 

“Ini !  Teratai Biru, jaga baik-baik yaah !” Sambil berusaha mengeluarkan  bunga itu dari kantong plastik hitam, saya menunggunya penasaran. 

Selak saja saya kaget dibuatnya, bunga itu nampak terlihat biasa, yah tidak jauh dari bunga-bunga yang pernah saya lihat. Bunga itu hanya teratai berwarna biru dan aroma khas tanaman laut. Itu yang saya dapatkan. Tidak seperti yang saya kira sebelumnya, bahwa bunga itu akan seperti mahkota kerajaan. Pecah sudah rasa penasaran itu. Kini Teratai Biru sudah ditangan, dan saya bolak-balik bunga itu dengan nada gampang.

“Awas ! jangan sembarangan pegang, pelan-pelan.”

“Iya” jawabku ketus. Saya masih penasaran dengan kesucian bunga ini yang mungkin terjadi pada zaman dulu kala. Tidak sekarang.

***

Ketika hati telah retak untuk sebuah amukan kejadian, mungkin ia akan segera berlari sembunyi dibalik hal-hal yang juga tak masuk akal. Bahkan pada setangkai bunga, sekedar menenangkan hatinya, bahwa kerinduan seorang gadis untuk kedamaian sebuah negeri, amatlah dahsyat. Bahwa ia sedang bernostalgia. Semoga bukan harapan belaka yang lewat setangkaian  bunga, namun harapan itu muncul bersama aksi-aksi nyata yang akan mengembalikan wajah negeri ini kembali cerah dan tersenyum.


 Cairo, 19 Maret 2012

*Cerpen ini berhasil meraih juara 2 dalam lomba menulis yang diadakan KSW (Kelompok Studi Walisongo)