Kalian tentu bisa bayangkan Mesir yang setelah revolusi semakin terseret ekonominya. Meski sejak saya tiba di Mesir, dimana api revolusi belum berkobar, saya kira negeri ini lebih miskin dari Indonesia. Seperti yang bisa saya saksikan setiap hari, sepulang kuliah. Tramco (angkutan umum) yang mengantar saya ke kuliah tidak lebih baik dari angkutan umum di Jakarta. Padahal saya tinggal di Cairo, Ibu kota Mesir. Meski berada di daerah pinggiran namun tetap disebut Cairo.
Seorang
ibu-ibu yang duduk disebelah saya, betapa tercium aroma bau badannya. Sebuah
aroma yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, ia bau roti gandum yang
sudah bercampur keringatnya, ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang gemuk.
Saya sempat membayangkan bagiamana wanita mesir yang setelah menikah memutuskan
untuk memiliki postur tubuh gemuk, walaupun itu terjadi pada orang-orang yang
saya katakan tradisional secara budaya dan mental. Dan salah satu kecacatan
sosial bagi saya adalah mereka terlalu memanjakan wanita, sehingga wanita
diberi kebebasan untuk melakoni apa saja, mungkin karena dulu negeri ini pernah
dipimpin oleh seorang Ratu, Cleopatra.
Perjalanan
saya kali ini ditemani fenomena-fenomena yang membuat saya berfikir. Bagaimanapun,
jika zaman yang sudah se-modern ini masih banyak orang kolot berkeliaran di
pusat kota. Saya memiliki rambut hitam dan panjang. Seorang bapak-bapak mengenakan
gamis yang sudah habis warnanya memaki saya dengan alasan yang tidak manusiawi.
Saya dianggapnya melecehkan kaum pria, dari
mana saya melecehkannya, hanya karena rambut panjang dan wajah saya yang
kebetulan imut. Setelah saya jelaskan dengan berbagai argumen si bapak diam
tanpa reaksi, seperti tidak terjadi apa sebelumnya.
Langit
siang tampak berpijar cerah. Saya turun dari Tramco dan berjalan sejauh 10-m
untuk mendapatkan Bus yang akan membawa saya ke Amru bin Ash, sebuah masjid
legenda di bumi kinanah ini. Sengaja selepas kuliah saya tidak langsung pulang
ke asrama, saya akan bertemu dengan seorang gadis mesir yang akan memberi saya Teratai
Biru. Bunga yang dianggap suci oleh masyarakat mesir kuno. Awal perkenalan kami
hanya lewat jejaring facebook, jejaring yang sudah menjadi generasi tersendiri
ditengah pemanasan global. Mau tidak
mau, se-ndeso apa pun mereka yang datang ke Mesir, paling tidak akan dikenalkan
dengan situs yang satu ini.
Bunga-bunga
bermekaran disepanjang jalan. Musim semi kini mulai terasa dengan udaranya yang
stabil. Angin menghembus pelan lewat jendela kaca. Saya berada di dalam Bus
menyaksikan segala kesemrawutan mobil yang hendak parkir di depan taman
al-Azhar. Taman yang selalu ramai pengunjung, terlebih pada saat musim semi
seperti ini. Setelah menunggu beberapa
menit akhirnya Bus berjalan lagi dan arus lalu lintas kembali lancar.
Kesemrawutan mobil-mobil di pinggir jalan, seperti sudah menjadi tradisi di negeri
ini.
Bus
melaju dengan cepat melewati jalan naik-turun dan berselo. Disekitar jalan
terlihat bongkahan tanah akibat proyek bangunan, yang sebentar akan diganti
dengan gedung-gedung megah dan mewah. Saya tenggelam dalam
pemandangan-pemandangan itu. Hingga saya teringat pada sosok gadis yang akan
memberi saya setangkai bunga. Bunga yang pernah disucikan pada masa Cleopatra
dulu. Bunga yang hanya mekar di pagi hari dan tenggelam saat senja tiba. Bunga itu kini sudah menjadi tumbuhan yang
tak dimitoskan lagi. Sebab zaman yang sudah se-modern ini, mana mau para
penguasa menggunakan bunga itu lagi sebagai simbol kekuatan mereka. Dan
bunga-bunga itu bisa kita lihat sekarang di pinggiran sungai Nil. Begitulah
kisah perihal Teratai Biru yang keluar dari bibir manisnya.
Kau
memang gadis polos, yang tak tau apa-apa tentang kekuasaan militer. Kau hanya
menyaksikan beberapa saudaramu tertembak. Dan kau hanya bisa meratapi itu
dengan segala ketidakpercayaan, bahwa mereka tewas saat revolusi 25 januari
silam. Satu bulan kau bilang padaku, tidak pernah keluar kamar. Menangis dengan
begitu kelunya. Sebab kau memang gadis yang tak suka ikut perkembangan politik,
bahkan untuk negerinya sendiri. Kau lebih asik duduk bersama kawan-kawan mu
bercerita tentang bunga-bunga teratai itu, burung-burung gagak yang mencelupkan
paruhnya kedalam nil, dan senja-senja indah di sore hari.
Aku
masih ingat betul, saat kau bilang kau kembali pulih. Dengan senyuman kecil kau
katakana kalau hidup adalah anugerah, dan mereka –saudaramu yang tewas, syahid
dan sudah senang di surga sana. Tanpa mau mencari tahu siapa pembunuhnya. Seandainya
itu terjadi padaku, maka akan aku tuntaskan sendiri siapa dalang dibalik
pembunuhan itu. Tragis memang, kalau saudaramu dibunuh bukan oleh orang yang
berseragam, tapi oleh demonstran lain, entah siapa demonstran itu. Kau tak mempedulikannya.
Bus
kembali ngadat di kawasan Sayeeda Aisyah, pasar yang ramai-riuh itu membuat
ingatan saya seketika buyar. Terpaksa mata saya diajak menikmati ramainya para
pedagang dan suasana pasar yang begitu sibuk.
“Aku
percaya kalau Teratai Biruku bisa membuat orang senang dan bahagia” sambil
melempar senyum padaku, sore menjelang maghrib di Amru bin Ash.
Di
halaman masjid yang memiliki beranda indah meski sudah usang. Aku duduk, kau
berdiri sembari melihat jalan.
“Kamu
masih percaya dengan mitos, di tengah gejolak negerimu ?”
“Iya,
siapa tahu ia bisa mengembalikan senyum negeri ini.”
“Saudara
kamu dibunuh, karena ia terlibat gerakan bawah tanah menggulingkan Mubarak ?. Masih ingat, kalau semasa
kepemimpinannya, orang Ikhwan seperti saudaramu diburu ? “
“Iya,
makanya aku benci mereka !!”
“Siapa
?”
“Keluargaku,
makanya aku tinggal di asrama bukan di rumah, dan kalau pulang aku ke rumah
nenek.”
Sudah
menjadi lumrah, jika sekelompok orang ingin menggulingkan penguasa, hidupnya akan
resah, apalagi jika si penguasa seorang diktator. Memilih untuk menegakan
kebenaran dan menumpas kebatilan kadang malah membuat ia sengsara dan orang
sekitarnya lah yang kena imbasnya. Itu yang terjadi pada kehidupan si gadis
yang berjanji akan memberiku setangakai bunga.
Bagaimana
negeri yang sudah berumur layaknya bumi ini dicipta. Dan rentetan masa ke masa
yang jua belum menemui klimaksnya dalam hidup bernegara dan berbangsa. Sejak
revolusi tahun 1952 Mesir telah banyak belajar dari para pemimpin terdahulu.
Kilang minyak yang menjadi salah satu sumber kekuatan ekonomi tidak berkembang pesat
layaknya negara timur tengah lainnya. Sedang jumlah penduduk miskin terus
bertambah. Buta huruf juga kian merambat keseluruh pelosok negeri ini. Ditambah
lagi dengan kejadian Tahrir 25 januari, negeri ini sudah rugi U$310 dalam
sehari. Sedang ‘huru-hara’ itu berlangsung hampir setahun. Entah apa lagi yang
harus dikorbankan untuk sekedar menegakkan sebuah keadilan.
“Kenapa
wanita mesir begitu tinggi memberi tarif calon pasangannya ?” Selorohku disela
ia melahap sepotong ice cream.
Saya
tertawa girang setelah nada sinis dilemparnya dengan tatapan tajam. Untung saya
cuma bergurau, kalaupun ia menjawab maka itu jadi pertanyaan serius dan akan
saya publikasikan ke masyarakat luas. Sebab itu sudah lama masuk daftar pertanyaan-pertanyaan
yang belum kutemukan jawabannya tentang negeri firaun ini. Betapapun itu,
menarik untuk diperbincangkan tentang fitrah wanita yang lembut dan menerima. Sebab
Nabi pun bersabda, mahar sepasang sandal jepit pun tak apa.
Kami
berjalan memasuki Mer Girgis, gereja yang bersandingan dengan masjid Amru bin
Ash, tempat peribadatan orang kristen ini ramai dikunjungi oleh orang-orang
nonkristen. Sebab disamping tempatnya yang strategis juga keantikan yang ada didalamnya.
Anak-anak kecil berlarian disekitar sini, penjual kerajinan tangan berjejer
mulai dari pintu masuk hingga kepintu belakang dan semerbak bau kemenyan dari
pusat peribadatan. Kami menghabiskan sore di gereja itu sebelum akhirnya senja
menutup dan kami sudah berada dirumah masing-masing.
Ternyata
perjumpaan awal setelah bercanda ria lewat facebook, cukup berkesan. Bahkan
untuk orang seperti saya, lebih dari cukup. Apalagi saya tipe orang yang sok
akrab dan suka nyeloteh, dan beginilah hasilnya. Dia tertarik untuk
meneruskan persahabatan ini hingga menjanjikan akan memberi saya bunga Teratai
Biru, entah macam apa bentuknya.
***
Bus
65 berwarna kuning-hijau sudah parkir di area Mahattah, sengaja saya tidak
turun di depan masjid. Saya ingin jalan kaki dan curi pandang terlebih dahulu,
agar lebih tahu medan. Sering saya lakukan hal seperti ini, ketika masa SMA.
Dan mungkin juga anda-anda pernah melakukan hal yang sama. Main belakang.
Sosok
gadis sedang duduk diatas selarasan halaman masjid. Dengan wajahnya yang sibuk,
ia menulis sesuatu diatas buku tulis berwarna ping. Seperti kemarin, bahkan
kali ini lebih anggun. Itulah yang saya lihat dari jauh. Matanya kadang
menerawang dan sesekali mengangguk sendiri. Kali ini saya masih menikmati
gerak-geriknya dari arah yang lebih dekat. Dari jarak sekitar 5-m sudah tercium
semerbak parfumnya yang menentramkan. Saya kagum dengan caranya memakai parfum
yang berbeda dari kebanyakan gadis mesir, mereka berlebihan. Juga cara hidupnya
yang tidak glamor, terutama dalam hal berpakaian. Segala tetek bengek
bedak-rias yang sering menghiasi gadis mesir, ia tetap terlihat ayu meski tanpa
semua itu. Cukup terwakili oleh wajah asli seorang wanita arab yang mempesona.
“Hai
. . .” Begitu kata pembuka yang akrab dipakai kaula muda seperti saya.
“Hai
juga.” Jawabnya sambil menjatuhkan senyum.
“Apa
yang sedang kau tulis ?”
“Aku
sedang menulis skenario cerita.” Saya lupa, kalau salah satu cita-citanya
adalah menjadi seorang penulis, dan ia lebih suka menulis dengan bahasa inggris
atau prancis justru malah kaku kalau disuruh nulis dengan bahasa arab. Dan beberapa notenya sudah saya baca dibantu
google untuk menerjemahkannya. Bukan hanya tulisannya yang berbahasa asing :
inggris dan prancis, namun ia juga lihai dalam bercakap dua bahasa tersebut.
“Cerita
apa yang hendak kau angkat, pasti tentang bunga-bunga itu lagi.”
“Tidak.
Ini tentang anak-anak kecil yang tinggal disekitar sini !” Kali ini ia
menolehkan wajahnya dan sepasang mata terpaksa bertemu.
“Tentang
mereka, anak para pengemis yang memilih untuk menjadi pengemis. Lihat ! saat
turis-turis datang mengunjungi masjid ini, mereka merasa terganggu dengan ulah
anak-anak pengemis itu. Anak-anak itu tidak akan sekolah, jika tidak ada
lembaga yang menampungnya. Mereka asik melakoni pekerjaan orang tuanya.”
Saya
menikmati gerak bibirnya yang melantun begitu indah, seraya bersama ide itu
lahir ia berusaha meyakinkan siapa saja tentang anak-anak pengemis itu.
“Ini
! Teratai Biru, jaga baik-baik yaah !” Sambil
berusaha mengeluarkan bunga itu dari
kantong plastik hitam, saya menunggunya penasaran.
Selak
saja saya kaget dibuatnya, bunga itu nampak terlihat biasa, yah tidak jauh dari
bunga-bunga yang pernah saya lihat. Bunga itu hanya teratai berwarna biru dan
aroma khas tanaman laut. Itu yang saya dapatkan. Tidak seperti yang saya kira
sebelumnya, bahwa bunga itu akan seperti mahkota kerajaan. Pecah sudah rasa
penasaran itu. Kini Teratai Biru sudah ditangan, dan saya bolak-balik bunga itu
dengan nada gampang.
“Awas
! jangan sembarangan pegang, pelan-pelan.”
“Iya”
jawabku ketus. Saya masih penasaran dengan kesucian bunga ini yang mungkin
terjadi pada zaman dulu kala. Tidak sekarang.
***
Ketika
hati telah retak untuk sebuah amukan kejadian, mungkin ia akan segera berlari
sembunyi dibalik hal-hal yang juga tak masuk akal. Bahkan pada setangkai bunga,
sekedar menenangkan hatinya, bahwa kerinduan seorang gadis untuk kedamaian
sebuah negeri, amatlah dahsyat. Bahwa ia sedang bernostalgia. Semoga bukan
harapan belaka yang lewat setangkaian
bunga, namun harapan itu muncul bersama aksi-aksi nyata yang akan
mengembalikan wajah negeri ini kembali cerah dan tersenyum.
Cairo, 19 Maret 2012
*Cerpen ini berhasil meraih juara 2 dalam lomba menulis yang diadakan KSW (Kelompok Studi Walisongo)