Senin, 16 April 2012

Aku Masih di Tahrir!

Sore menjelang maghrib saya masih duduk-duduk santai diberanda taman.  Sambil selonjoran menatap senja yang hampir ditelan ufuk barat. Setelah beberapa jam meliput unjuk rasa susulan menuntut dibubarkannya Dewan militer. Meski untuk sekedar sebuah komunitas kecil tapi menuntut saya terjun dilapangan. Padahal dewan redaksi sudah memberi tawaran untuk mengambil berita dari surat kabar tersohor. Tawaran itu saya tolak, sebab disamping saya orang yang malas untuk masalah terjemah juga saya tertarik untuk terjun langsung dan menyaksikan dengan telanjang mata. 

Bermodalkan kamera digital saya bersama kawan saya memberanikan diri mendekati kerumunan. Saat terlihat orang-orang lari terbirit, kami ikut lari. Terus begitu, menghindar segala kemungkinan  yang terjadi. Padahal jarak cukup jauh antara saya dan demonstran  yang diserang langsung oleh pihak  keamanan.  Gas air mata dan peluru karet, itu yang membuat mereka lari terbirit-birit.  Sungguh dimata saya sesuatu yang tidak lucu, seperti unjuk rasa main-main pasca revolusi. Orang-orang disini jadi latah demo. Entahlah, mungkin ini hanya pikiran nakal saya saja. Semoga yang mereka lakukan memang sebuah kebenaran. Korban berjatuhan bukan untuk hal yang sia-sia.  Tapi untuk sebuah negeri yang ingin bebas dari kediktatoran. Sebuah negeri yang ingin maju bersama rakyatnya.  Dalam hati. Semoga !

Sejak siang tadi unjuk rasa yang berlangsung didepan Mahkamah Agung Militer telah memakan beberapa korban. Itu kata bapak-bapak yang duduk tidak jauh dari tempat saya selonjor. Sebab saya memang tiba dilokasi sekitar pukul 15:00,WIK.  Sesampai dilokasi saya langsung mengeluarkan kamera, potret sana-potret sini. Sebenarnya berbagai reaksi bisa saya tangkap dari bola mata orang-orang yang kebetulan melihat. 

Meski saya dan kawan saya berada dijarak yang cukup jauh dari para demonstran. Namun sayang mereka hanya melempar sinis, tanpa berani menegur dengan jantan. Sedang pandangan yang lain justru antusias dengan kedatangan saya dan kawan saya, sebenarnya bukan kami saja. Mereka juga sangat antusias dengan stasiun-stasiun televisi yang sedang meliput baik lokal maupun interlokal.  “Gila Zai ! BBC tuh !! ikut nimbrung yuk, siapa tahu masuk TV Eropa”  Sambil menarik lengan Zainudin saya mendekati wartawan yang sedang mewawancarai salah satu tokoh Ikhawnul Muslimin.  

Kami hanya butuh waktu singkat disetiap kerumunan kecil yang ada. Sebab selalu saja ada fenomena menarik untuk dilihat. Diseberang jalan sana, seorang Ibu-ibu  berteriak keras hingga serak-serak basah tidak jelas. Ibu yang sudah beruban itu juga gencar menggerakkan tubuhnya sambil tangannya terus diacung-acungkan. Sayang tidak sempat ambil gambar Ibu aneh tadi, setelah seorang berjenggot tebal dan bergamis melarang Ibu itu meneruskan aksinya. 

Udara sore hari tidak menunjukan suasana hangatnya. Matahari yang hampir tenggelam, tidak membuat suasana menjadi redup. Suasana yang baru kali pertama saya rasakan ditengah kerumunan. Pengap, mata  perih, hidung gatal-gatal dan sering kali saya bersin dengan begitu nikmatnya. Saat sedang mengucak mata, tiba-tiba seorang aktifis LSM memberikan masker sambil melempar senyum. Sial belum sempat saya balas senyumnya, dia sudah kabur meneruskan perjalanan membagikan masker ditengah kerumunan.  Sepintas saya lihat wajahnya, cantik. Bagaimana tidak, dia gadis mesir yang bersampul barat. Kebayangkan bagaimana senyumnya tadi ? 

Gas air mata yang terus disemprotkan ketengah masa, membuat mata ini gusar. Ternyata dampak dari gas air mata cukup hebat. Jarak yang jauh tidak membuat gas itu berhenti menyerang.  Dua buah mobil ambulan terus berputar mengitari lapangan membawa korban yang sudah tak sehat. Saya ikut kaget, ketika orang beramai-ramai membopong seorang gadis yang pingsan kehabisan nafas. Sejenak saya perhatikan mukanya memang pucat. Gadis yang malang, entah apa yang mendorong ia mau mengorbankan kesehatannya.  Rasa kasihan itupun muncul seketika untuk seorang wanita mesir. Memang tentang pada ketika bangsa menghianati rakyatnya, maka yang ada hanyalah kehancuran.  Saya jadi  seperti orang mengigau, dalam hati bertanya-tanya, kenapa semua ini harus terjadi ?.  Bukankah  lapangan ini sudah bosan melihat  ratusan mayat yang tak berdosa.  Hingga sekarang masih bisa saya  lihat raga-raga kosong berjejer diatas tanah.  Senja yang seharusnya berjalan pelan, kini semakin terkikis oleh isak tangis jutaan warga mesir. Seorang Ibu menangisi anaknya yang pergi setelah terkena timah panas. Seorang istri menjadi  janda. Anak menjadi yatim. Dan masih banyak duka yang belum sempat terobati oleh gejolak revolusi. Semoga saja kesedihan itu benar-benar pergi, semoga saja pelangi hadir mewarnai setelah hujan membasahi.

Pasrah pada waktu  memang bukan jalan satu-satunya. Mereka yang mau bangkit dari kedzaliman dan melakukan perlawanan. Adalah ruh-ruh hidup yang menghembus disetiap helai negeri  ini. Darah ini pun sebenarnya ikut mengalir bersama denyut nadinya, namun  seketika membeku ditahan oleh sesuatu. Namun setidaknya gairah saya untuk berada ditempat ini membantu meringankan beban yang ada dipundak. 

Saya melihat kabut yang sudah menjadi coklat bersama debu-debu. Ditengah kerumunan terlihat bayangan kecil para petugas keamanan, mereka memakai helm, membawa pentung, dan alat penahan seperti prajurit kerajaan. Hanya karena sebuah ikatan sumpah, mereka harus menyerang saudara-saudara mereka.  Dibelakang mereka tampak siap kontrainer dengan corongnya yang akan menyemprot demonstran dengan gas air mata. Saat petugas itu kualahan maka kontainer itu menyemprotkan gas air mata dan seketika berhamburlah para demonstran mundur kebelakang. Saya terus menyaksikan kejadian itu berulang-ulang, sebab saya berada diatas pagar hijau yang berada ditepi jalan. Bukan hanya saya yang menaiki pagar, didepan sana puluhan orang mesir menaiki pagar yang lebih tinggi dari saya. Kami semua didorong rasa penasaran yang hebat. 

Setelah berdiri lama, persendian tulang memaksa untuk berhenti dan mencari tempat duduk. Saya duduk dibundaran yang mirip taman. Didepan saya penjual roti dengan gerobaknya yang khas mesir. Para pembeli ramai mengerumuni gerobak itu, melihat orang mengunyah roti dengan begitu empuknya, perut ini menjadi gaduh dan ingin segera diisi roti itu. Saya kaget saat menerima kembalian uang, ternyata harganya berbeda dari roti-roti yang pernah saya beli. Padahal diluar sana justru orang-orang asing membagikan air gratis, ditengah kesusahan ini tidak membuat hati penjual terketuk, untuk sekedar menurunkan harga, ataubahkan membagikanya secara cuma-cuma. Memang uang selalu saja menabrak sendi-sendi kemanusiaan, ia tak mengenal bangsa, persatuan dan kesejahteraan.

Saya berjalan pelan meninggalkan bungkus roti yang masih tergeletak diatas tempat duduk. Berjalan didepan orang-orang yang sedang melepas lelah, saya dan Zainudin berjalan begitu saja. Sempat saya lihat dua orang sedang berbisik sambil ujung matanya melihat kearah saya, dan orang yang satunya mengangguk, kemudian mereka berdiri dan mendekati kami.

“Kalian ngapain disini !! pulang sana kenegeri kalian !” Seru orang itu sambil mendorong lenganku. Sontak saja saya ketakutan, mereka jauh lebih besar dan usianya jauh lebih tua dari saya. Saya mundur dan menjawab sekedar mencari alasan.

“Saya sedang jalan-jalan saja, pengin lihat-lihat”. 

“Buat apa kamu lihat-lihat, ini bukan urusan kamu, pulang sana !! pulang !!” Teriaknya dengan suara lebih keras, seperti kesetanan. 

Saya jawab dengan jawaban yang sama. 

Saat sedang berdebat, datang beberapa orang melerai dan langsung membela saya dan Zainuddin. Bahkan mereka setuju kalau kami ikut menyaksikan demonstran asal tidak membahayakan. Akhirnya terjadi perdebatan baru antara orang dua tadi dan beberapa orang yang datang membela kami. Begitulah, akhirnya kami tidak jadi pulang  dan meninggalkan orang-orang tersebut. Analisa saya, orang yang membenci keberadaan saya dan kawan saya sepertinya mereka orang yang tidak berpendidikan, sedangkan yang datang membela kami dia orang yang berpendidikan, terlihat dari cara bicaranya dan penampilannya, begitu penting pendidikan, mencerdaskan segala kejadian.

Senja kini benar-benar  hilang dari pandangan. Ia tergantikan oleh malam yang hitam. Sorotan lampu di sekitar lapangan mempertajam wajah-wajah yang tak kenal menyerah. Wajah-wajah yang sejak pagi tadi sudah hitam oleh debu-debu jalanan. Barang kali debu-debu itu kelak menjadi saksi perjuangan mereka. Atau paling tidak menjadi tanda sebuah pengorbanan untuk mewujudkan negeri yang adil dan sejahtera.  Kini mereka hanya bisa berteriak, berorasi didepan kekakuan penguasa.  

Sementara malam semakin hitam, suara nyanyian kebangsaan terus didendangkan. Suara-suara itu, lagu-lagu itu, saya yakin terus menggema menembus batas-batas langit. Tuhan tidak akan membebani seseorang diluar batas kemampuaanya. Mesir akan segera pulih, ia akan kembali menjadi negeri peradaban. Sebuah negeri yang terkenal tentang penduduknya yang ramah-ramah, toleransi dan akrab dengan kedamaian. Lebih lagi untuk kami para mahasiswa asing yang sedang menimba ilmu di al-Azhar.  

Akhirnya saya dan Zainudin memutuskan pulang. Kami khawatir  malam nanti unjuk rasa semakin panas. Kami menyalami bapak-bapak yang sudah menjadi kawan sore itu. Kami berjalan meninggalkan Tahrir dan orang-orang yang berjuang untuknya. Betapapun saya telah menanggalkan Tahrir malam itu, namun hati kecil masih sempat bergumam. “Aku masih di Tahrir.”

  
Cairo, 15 Maret 2012
 * Cerpen ini diangakt dari kisah nyata. Ketika penulis kebetulan menyaksikan sendiri demo di Tahrir.