Selasa, 24 April 2012

Lihun dan Ikan Putih

Siang itu jalan setapak  yang biasa disebut galeng sudah mulai kering. Angin siang mengilir begitu derasnya. Burung-burung kecil berkciau riang menyambut sosok wanita yang setiap hari melewati pematang sawah. Langkahnya pelan tapi pasti. Kecapung yang hinggap di serabutan rumput seolah mempersilahkan ia berjalan. Terbang berhamburan membelahnya. Kain yang menjadi penutup bagian bawah sesekali tersibak angin  memperlihatkan betis yang masih putih dan ranum. Ia mengulum senyum ketika sebuah gubuk sudah berada di depannya. Segera melepas selendang yang menggendong rantang bersusun. Ia menata rantang yang berisi nasi, sayur asem, sambal terasi dan tempe tahu. Kemudian duduk sambil mengipaskan selendang keleher yang sudah berpeluh. Ia menunggu seorang tukang kebun yang bertugas menjaga kebun mangga seluas tujuh hektare.

“Bagaimana Dek, Bapak  belum setuju juga?”

“Belum Kang Mas” Jawab Ijah lesu.

Kemudian mereka menikmati hidangan yang dibawa Ijah. Walaupun hubungan mereka belum direstui dan tidak akan pernah direstui oleh keluarga Ijah. Janji Bapak Ijah jika anaknya tetap ngotot ingin nikah dengan Lihun, ia tak segan-segan mengusirnya dan nasib Lihun tentu lebih parah, bisa jadi dikeroyok pemuda sekampung atas perintah Bapak. Yang pasti kehidupan mereka akan sengsara jika tetap menikah diatas ketidaksetujuan keluarga Ijah. Janji leluhur yang bagi mereka berdua adalah sebuah  kutukan sesat. Kutukan yang seharusnya dilupakan sejarah. Sudah tak zaman mereka dihalang-halangi adat jika sudah saling cinta. Namun sikap kolot orang tua Ijah dan sebagian warganya membuat cita-cita mereka kandas begitu saja. Jika ada tempat lain di dunia ini maka akan ditempati Ijah dan Lihun.

Gubuk yang terletak ditepian sawah sengaja dibangun Lihun untuk tempat persinggahannya. Gubuk juga tidak begitu jauh dari kebun mangga. Ia berada dibalik rindang-rindang pohon bambu yang meliuk menutup keberadaan gubuk itu. Sehingga mereka bisa memadu kasih tanpa suara berisik, kecuali gemercik air dan kicauan burung bondol.

“Kenapa kita tidak kawin lari saja Kang Mas? Ijah yakin, Bapak tidak akan pernah setuju dengan niat suci kita” sambil bersandar diatas bahu Lihun Ijah mengucek batik selendangnya.

“Kalau masih ada kesempatan, kita coba sajah dulu. Karena restu orang tua itu sangat sakral untuk pernikahan”

“Sampai kapan??”

“Entahlah! Aku juga lagi cari cara agar Bapakmu mau menerimaku sebagai mantu.” Kembali Lihun membelai mesra rambut Ijah.

Bagi Lihun restu orang tua adalah syarat wajib sebuah pernikahan. Begitu Ibunya menuturkan sebelum meninggal. Lihun berjanji hanya akan menikah bila ada restu dari calon mertua. Sebab  tidak ingin ia mengulang masa kelam yang dialami kedua orang tuanya. Ibu dan Ayah Lihun menikah tanpa persetujuan dari keluarga Ibu, akhirnya ketika Lihun dalam kandungan sang Ayah ditemukan tewas ditepian sungai. Entah siapa yang membunuh yang jelas keluarga Ibu waktu tidak pernah menyukai keberadaan ayah.

Seperti biasa setelah makan siang Lihun mengajak Ijah memancing ikan di selokan sawah. Pancing yang dipanjar sejak pagi mungkin sudah ada ikan yang melahap umpannya. Mereka berjalan menuruni bukit-bukit kecil mirip tebing. Lihun memegang erat tangan Ijah dan menuntunnya ke pusat selokan tempat ia memasang pancing. Pusat bertemunya arus air dari tiga arah menjadi tempat yang digemari Lihun memancing. Konon, tempat tersebut memiliki kekuatan mistis yang bisa membuat kehidupan seseorang menjadi beruntung. Namun bukan itu yang membuat Lihun betah berkunjung. Sebab ia memang tidak percaya dengan hal-hal mitos. Ibu yang mengajari Lihun untuk tidak meyakini hal-hal konyol. Barangkali tempat yang sepi dan benar-benar jauh dari keramaian membuat Lihun jatuh hati dengan pusat selokan itu. Tempat yang unik. Pusat selokan berada di bawah bukit kecil, seperti tertimbun tanah. Mirip dengan gua kecil yang masih gelap dan penuh suasana sejuk. Serba kecil memang, bahkan pusat selokan itu cukup menampung sepuluh orang jika berenang. Namun airnya yang jernih dan dalam membuat pusat selokan itu seperti danau kecil. Ya, lagi-lagi kecil.

Meski siang itu terik matahari begitu menyengat. Namun bukan untuk sepasang kekasih yang sedang berada ditempat seperti gua. Ijah begitu mencintai Lihun, ia rela melakukan apa saja demi Lihun. Bahkan, jika harus kawin lari berarti dia akan diusir dari kampung Ijah tetap kukuh mencintai Lihun. Seperti Lihun  denyut nadi hidup Ijah. Nafas  yang setiap kali menghembus seakan memberi isarat jika Lihun meninggalkannya maka nafas itu seketika berhenti. 

Ibunya meninggal ketika perang antar desa yang melibatkan Ayahnya sebagai kepala suku. Ayah Ijah memang hobi perang, apalagi jika sudah ada yang mencoba menandingi kekuatannya,  maka sebagai kepala suku ia merasa terpanggil untuk beradu kanuragan. Dari situ sang Ayah ditakuti orang banyak. Dalam lamunan tiba-tiba Ijah menangkap sesuatu yang bergerak. Tanpa sadar ia segera menoleh ke arah pancing.

“Kang Mas!! Pancingnya bergerak. Ayo kemari!!” seru Ijah pada Lihun yang sedang mencari cacing. Lihun segera berlari meninggalkan korekan tanah yang humus.

Lihun langsung menarik tongkat pancing yang terbuat dari batang bambu.

Awalnya biasa-biasa saja. Seperti ikan yang lain, jika sudah dipancing maka langsung dibakar atau digoreng. Namun bukan pada ikan yang satu ini, Lihun dan Ijah dibuat kaget setengah mati. Ikan itu memiliki warna yang jauh berbeda dengan ikan lain. Ia berwarna putih bersih seperti kain kafan. Dan yang lebih mengherankan ia memakai anting di telinga bagian kiri.

Malam harinya Lihun mimpi bertemu Ratu yang sangat cantik. Wajahnya penuh dengan cahaya. Silau Lihun dibuatnya. Ia pun bergaun putih layaknya pengantin. Entah karena gaunnya yang panjang atau memang Lihun tidak diberi kekuatan untuk melihat kakinya. Justru yang nampak adalah ekor ikan yang menyembul dibalik gaunnya yang indah. Ekor itu terus bergerak kekanan dan kekiri.

“Terimakasih wahai Lihun! Engkau telah menyelamatkanku dari racun tikus itu! Sekarang adakah permintaan yang hendak kau ajaukan?” suaranya menggema memecah keheningan. 

“Eeee…”  Lihun dibanjiri keringat dingin. Ia gugup.

“Jangan gugup anakmuda. Kau telah mengeluarkanku tepat sebelum racun itu masuk kedalam tubuhku. Ayo anakmuda! Aku tahu kau sedang gelisah memutuskan dua perkara yang sama pentingnya bukan? antara meninggalkan Ijah atau menikahinya dan berarti kau telah melanggar nasihat ibumu. Baiklah! Sekali lagi karena kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku akan menolongmu. Sebelum fajar terbit, bawalah aku kembali keselokan itu! ingat!!” 

Belum sempat Lihun menjawab, tiba-tiba Ratu itu menghilang. Lenyap dihadapan Lihun. 

Lihun bangun dari tidur. Badannya basah kuyup, seperti sehabis mencangkul. Ia segera berlari menuju kamar mandi melihat ikan yang masih bernafas di gentong. Ia segera mengambil dan memasukannya kedalam kendi. Ia mengikat kendi itu dipunggunya dengan sarung. Lihun berjalan keluar rumah dengan penerang obor dengan tujuan selokan dekat gubuknya itu. Ia masih diikuti puluhan pertannyaan tentang mimpinya itu. Namun semacam ada firasat yang amat dahsyat agar melaksanakan perintah Ratu dalam mimpinya. Kini ia  berjalan setengah berlari mengejar fajar yang dalam harapannya tidak segera muncul. 

Tiba di selokan Lihun segera melepas ikan aneh itu. Dengan rasa cemas ia melepasnya dengan harapan keberuntungan hidup bisa ia dapat. Ikan putih segera berlari kencang masuk kedasar air. Ia menghilang. 

****
Suara adzan berkumandang. Fajar menyingsing. Udara dingin semakin menyeruak kedalam tubuh Lihun yang meringkuk di sebuah gubuk. Ia berbuntelan sarung menghindari serangan nyamuk. Dalam ketenangan tidurnya ia dibangunkan seorang pemuda dari kampung sebelah, kampung dimana Ijah tinggal. 

“Kang! bangun Kang!”

“Bapaknya Ijah meninggal! Semalam habis ada perang. Bapaknya Ijah kena panah yang ada racunnya. Langsung membengkak dan mati! Ijah mencari Kang Lihun, dirumah tidak ada katanya.”

Dalam perjalanannya ke kampung Ijah Lihun sedikit bercerita kepada pemuda utusan itu. Bahwa ia tidak sempat tidur satu malam dirumahnya, setelah mimpi aneh dan langsung menuju selokan dan meneruskan tidur di gubuk kesayangannya. Si pemuda rupanya membawa kabar baik, sebelum Bapaknya Ijah meninggal, atau tepatnya ketika sedanga sakaratul maut, ia merestui hubungan Lihun dan Ijah. Bahkan, ia rela jika Lihun menjadi penerusnya sebagai kepala suku. Lihun tersenyum penuh takjub.



Cairo, 24/4/2012