Senin, 11 November 2013

Romansa Sepasang Pengemis (SOLOPOS, Ahad 10 November 2013)





Mungkin anda terbiasa mendengar kisah romansa sepasang artis, sepasang aktifis, sepasang penulis, sepasang musisi, sepasang dosen, sepasang penyair, sampai mungkin anda terbiasa mendengar kisah romantis sepasang merpati dalam cerita-cerita fiksi. Tapi pernahkah anda mendengar kisah romansa sepasang pengemis? Ya, pengemis, manusia yang seharusnya sibuk dengan perut, tapi kali ini harus menjadi tokoh dalam cerita, karena pengalaman cintanya yang dramatis.
 
Semua berawal malam itu. Saat musim dingin barusaja memasuki bulan pertama. Di sebuah komplek yang biasa disebut Down town duduk seorang pengemis agak tua di depan gedung Opera. Wajahnya sangat kotor. Kumis dan jenggotnya tumbuh lebat menyatu. Ia mengikat kepalanya dengan sehelai kain, mirip tokoh sufi kharismatik zaman dulu. Tapi jelas dia bukan sufi, karena orang-orang masih suka melihatnya kencing di tembok.  Dia adalah pengemis yang akhirnya menjadi tokoh dalam cerita ini, dia juga yang diam-diam jatuh cinta dan membuat seisi Down town geger. Down town ini terletak di pesisir pantai Mediteranian, Alexanderia.

Aku dapat cerita romansa ini dari penjual buku dan majalah bekas. Dia berkisah seperti seorang yang sedang meratapi kesedihannya sendiri.

“Di depan Gedung Opera, pertama kali pengemis agak tua itu bertemu dengan pengemis janda yang datang dari arah Mandarah. Orang-orang tidak tahu, jika pada akhirnya pengemis itu jatuh hati padanya.”

Selanjutnya cerita ini akan aku kisahkan sendiri. Karena penjual majalah harus sibuk melayani beberapa pembeli yang kebanyakan para mahasiswi dari Alexanderia University. Lagipula orang-orang di sini sudah sangat hafal cerita romansa itu, jadi mudah bertanya jika di beberapa bagian nanti aku terlupa.

Umurnya sudah hampir 40 tahun. Pengemis laki-laki itu lahir di Mansuroh sebagai anak pengemis. Sejak bayi sudah diajak mengemis. Bersama Ibunya dia mengemis di pasar, di emperan masjid, di depan gerbang sekolah, di toko-toko dan tempat ramai lainnya. Masa kecilnya habis untuk mengemis. Sampai Ibunya meninggal dan ketika itu usianya sudah menginjak remaja dia memutuskan untuk berhenti mengemis dan bekerja sebagai buruh di pabrik gandum.

Namun akhirnya dia dijebloskan ke dalam penjara. Setelah kepergok sedang melaksanakan kordinasi untuk sebuah demo besar-besaran. Dia bergabung bersama gerakan bawah tanah karena balas budi temannya yang memberikan pekerjaan itu. Di dalam penjara dia mendapat siksaan yang sangat menyakitkan,  siksaan yang mengharuskan kaki kanannya patah. Setelah bebas dari penjara dan dalam kondisi kaki pincang itu dia memutuskan untuk kembali menjadi pengemis, meneruskan profesi Ibunya. Ia merantau ke seluruh kota-kota besar di Mesir, sampai kemudian pilihannya jatuh di Alexanderia dan di sana dia menetap cukup lama. Tentang Ayah pengemis itu, tak seorangpun tahu, bahkan dirinya.

Pada saat bertemu pengemis janda itu, dia masih berusia sekitar 40 tahun. Tak ada yang tahu pasti berapa umurnya. Hanya kisaran saja. Orang-orang tidak mungkin menghafal umur seorang pengemis. Menghafal umur dirinya saja kadang lupa. Begitu menyibukankah dunia?
Janda beranak satu itu Maryam, begitu orang-orang menyebutnya. Walau sebetulnya tak patut juga menghafal nama pengemis. Namun lagi-lagi karena kisah cintanya yang sangat nadir, memaksa orang-orang -termasuk saya untuk mengetahui namanya. Maryam adalah pengemis berambut gimbal dan bermata bulat. Ahmad adalah anaknya yang sampai sekarang tak pernah tahu siapa Ayahnya.

Di suatu sore yang berselimut senja. Saat angin pantai Mediteranian seperti alunan biola yang menyusup ke dalam gedung-gedung tua, Ia mendatangi Maryam berniat mengajaknya menikah, membangun rumah tangga sebagaimana layaknya orang-orang menikah. Walau kelak mungkin orang-orang akan menyebutnya sebagai rumah tangga pengemis.Tapi bagi dia Maryam terlanjur segalanya, ejekan itu tak membuatnya surut.

“Selama ini aku belum pernah jatuh cinta. Kau adalah pengemis pertama yang mencuri hatiku. Maryam. Maukah kau menikah denganku? Aku akan jadi Ayah yang baik buat Ahmad.”
Kalimat yang disiapkan tiga hari tiga malam berhasil membuat wajah Maryam berubah merah jambu. Gemuruh dalam dadanya membuatnya salah tingkah. Dia menyuruh Ahmad pergi, entah untuk membeli air entah untuk apa.

“Tapi kita sama-sama pengemis. Apa kata orang nanti?”

“Justru karena kau pengemis.”

“Jadi, kau mencintaiku karena kita sama-sama pengemis?” 

“Tentu. Mana mungkin aku mencintaimu, kalau kau seorang guru.”

Mendadak mata Maryam merah. Lenguhan nafasnya panjang sekali. Dia menelan kecewa.
“Jadi kau mencintaiku karena aku pengemis?”

“Iya.”

***
Entah apa yang ada dalam pikiran Maryam sampai dia harus menangis tersedu-sedan setelah menampar pengemis agak tua itu. Bukan cuma menolak tawarannya menikah dia juga enggan berbicara lagi padanya, walau cuma sepatah kata. Perasaan kewanitaannya telah terinjak-injak. Seharusnya dia dicintai bukan karena dia pengemis, tapi karena dia cantik, manis, baik, atau kalaupun jelek, dia bisa memakai alasan inner beuty. Jadi seolah-olah dia bukan wanita terakhir paling sendiri di dunia ini.  

Sedangkan yang terjadi pada pengemis agak tua itu. Dia berubah menjadi gila untuk beberapa saat. Dia menceritakan pengalaman ditolaknya kepada siapa saja yang lewat di hadapannya. Terutama di waktu sore saat orang-orang ramai berseliweran di komplek itu. Dia berkali-kali menceritakan betapa sakinya ditolak perempuan. Barangkali ditolak memang sakit, sangat sakit. Tapi pengemis tidak berhak berteriak-teriak histeris seperti itu, karena sangat mengganggu kenyamanan publik.

“Kenapa cintanya ditolak?” ketika itu seorang bertanya.

“Karena dia mencintai Maryam tidak tulus.”

“Hanya karena alasan sama-sama pengemis, disebut sebagai cinta yang tidak tulus? Bukankah cinta adalah realita?”

“Iya. Tapi menurut Maryam itu tidak tulus” Begitu akhirnya orang-orang berdebat tentang sepasang pengemis yang tidak jadi menikah. Cerita ini telah menyebar kemana-mana. Sampai penjual kwaci di ujung jalan pun tahu perihal kisah romansa sepasang pengemis itu.

“Perempuan memang banyak maunya.”

“Hushh!”

***
Hari sudah malam. Aku masih menikamti secangkir espresso di cafĂ© Teatro Eskendria. Saat kuceritakan kisah pengemis itu kepada salah satu pelayan dia membenarkan bahkan memberikan kisah unik lain tentangnya. Aku semakin penasaran dengan rupanya. Apa iya ada pengemis yang mau membagikan receh untuk pengemis lain? Apalagi menyuruh orang yang justru akan memberinya uang. 

“Sungguh aneh pengemis itu.”

“Kenapa tidak memberinya langsung?”

“Dia tidak berani. Mungkin masa lalu membuatnya bisu. Tak ada yang lebih mengerikan dari kekalahan seorang lelaki terhadap wanita, bukan?” Pelayan itu mulai filosofis.

“O iya. Kalau kebetulan dia sedang tak punya uang. Hanya uang pemberianmu saja, dia akan berkata: … berikan ini pada Maryam.!” 

“Jika saya pun sedang tak ada uang?”

“Dia akan memohon sampai meneteskan airmata.”

“… dan sayangnya, jika Maryam tahu kalau uang itu adalah pemberiannya, dia segera melemparnya ke tengah jalan.”

“Akh, sungguh dramatis. Apa sudah ada yang menuliskan kisah ini?”

“Belum, belum ada kawan”

***
Aku akan membuktikan kebenaran cerita pelayan tadi. Sambil merogoh beberapa receh yang sengaja kusisakan, aku berjalan ke arah Opera, dimana pengemis agak tua itu duduk menghadap jalan. Sementara Maryam -kata orang, duduk di pintu masuk gang ini. Awalnya mereka satu jarak lurus, tapi karena Maryam merasa risih atas tingkah lakunya yang gila itu, dia beranjak pindah, sembunyi di punggung gedung. 

Dengan rasa penasaran yang amat sangat. Aku menyegerakan langkah saat memasuki gang yang berlawanan arah dengan tempat Maryam duduk. Bagaimana kisah konyol ini akan berlanjut? Aku ingin dengar langsung dari mulutnya yang pasti bau.
Aku melihatnya bersandar di dinding menyanggah sebatang tongkat. Lampu jalan yang sempat menangkap sosoknya membuatku terenyuh untuk segera menyapa dan memberinya uang. Selanjutnya, reaksi yang keluar itu yang sangat aku tunggu-tunggu.

“Assalamualaikum?”

Dia segera menengadah. Tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku mendadak bingung. Kuberikan recehan itu, berharap dia langsung berkhotbah tentang pengalaman cintanya yang fenomenal. Dan mengembalikan uang itu seraya menyuruhku memberinya kepada Maryam. Tapi ternyata dia sangat dingin. Hanya menyerobot receh dengan cekat tanpa menimpali apa-apa. Apakah betul ini pengemis yang jatuh cinta itu? atau ada pengemis lain. Tapi cuma dia satu-satunya pengemis yang duduk di depan gedung Opera. Aku sedikit bertanya saat tatapannya tak memandang aneh sedikitpun ke arahku yang sedang terheran-heran.

“Apakah kau mengenal Maryam?”

“Siapa Maryam?”

“Pengemis janda, nama anaknya Ahmad.”

“Siapa mereka? aku tidak kenal. Coba tanya sama orang di sana!”

Aku benar-benar kaget dan merasa tertipu. Ternyata kisah romansa itu tidak ada! Dia tak seperti apa yang dikisahkan orang-orang. Wajahnya terlihat biasa saja, tidak seperti orang yang sedang putus cinta. Persis seperti pengemis lain yang banyak kutemui di Kairo. Aku telah dipermainkan sebuah cerita. Saat itu aku yakin kalau tak ada pengemis yang mengalami tragedi cinta sesendu itu. Omong kosong! Orang-orang di sini hanya mengarangnya untuk menarik pengunjung. Mungkin akal-akalan para jasa travel pemandu wisata. Huftt!

Aku segera pergi meninggalkan pengemis yang mengecewakan itu. Asal anda tahu, aku sangat senang mendengarkan cerita, itu sebabnya ketika cerita konyol itu beredar aku sangat seksama menyimaknya. Kini cerita itu jelas kutahu hanya bohong belaka. Aku keluar dari jalan Opera memasuki perempatan. Telah duduk di emperan toko, pengemis janda bersama satu anak kecil laki-laki. Awalnya aku malas memperhatikan. Namun karena harus lewat di hadapannya aku terpaksa memberikan sisa receh yang tinggal satu pond

“Sebentar Tuan!”

Aku tertegun, menghentikan langkah.

“Apakah uang ini pemberian dari pengemis agak tua itu?” 

Seketika logam itu terplanting jauh ke tengah jalan (**)

                                                                                                                    Kairo, 2 Oktober 2013



Catatan:
nadir : asing/jarang
pond : mata uang mesir