Mungkin anda terbiasa mendengar kisah romansa sepasang artis, sepasang aktifis, sepasang penulis, sepasang musisi, sepasang dosen, sepasang penyair, sampai mungkin anda terbiasa mendengar kisah romantis sepasang merpati dalam cerita-cerita fiksi. Tapi pernahkah anda mendengar kisah romansa sepasang pengemis? Ya, pengemis, manusia yang seharusnya sibuk dengan perut, tapi kali ini harus menjadi tokoh dalam cerita, karena pengalaman cintanya yang dramatis.
Semua berawal
malam itu. Saat musim dingin barusaja memasuki bulan pertama. Di sebuah komplek
yang biasa disebut Down town duduk seorang pengemis agak tua di depan
gedung Opera. Wajahnya sangat kotor. Kumis dan jenggotnya tumbuh lebat menyatu.
Ia mengikat kepalanya dengan sehelai kain, mirip tokoh sufi kharismatik zaman
dulu. Tapi jelas dia bukan sufi, karena orang-orang masih suka melihatnya
kencing di tembok. Dia adalah pengemis
yang akhirnya menjadi tokoh dalam cerita ini, dia juga yang diam-diam jatuh cinta
dan membuat seisi Down town geger. Down town ini terletak di
pesisir pantai Mediteranian, Alexanderia.
Aku dapat cerita
romansa ini dari penjual buku dan majalah bekas. Dia berkisah seperti seorang
yang sedang meratapi kesedihannya sendiri.
“Di depan Gedung
Opera, pertama kali pengemis agak tua itu bertemu dengan pengemis janda yang
datang dari arah Mandarah. Orang-orang tidak tahu, jika pada akhirnya pengemis
itu jatuh hati padanya.”
Selanjutnya
cerita ini akan aku kisahkan sendiri. Karena penjual majalah harus sibuk
melayani beberapa pembeli yang kebanyakan para mahasiswi dari Alexanderia
University. Lagipula orang-orang di sini sudah sangat hafal cerita romansa itu,
jadi mudah bertanya jika di beberapa bagian nanti aku terlupa.
Umurnya sudah
hampir 40 tahun. Pengemis laki-laki itu lahir di Mansuroh sebagai anak
pengemis. Sejak bayi sudah diajak mengemis. Bersama Ibunya dia mengemis di
pasar, di emperan masjid, di depan gerbang sekolah, di toko-toko dan tempat
ramai lainnya. Masa kecilnya habis untuk mengemis. Sampai Ibunya meninggal dan
ketika itu usianya sudah menginjak remaja dia memutuskan untuk berhenti
mengemis dan bekerja sebagai buruh di pabrik gandum.
Namun akhirnya
dia dijebloskan ke dalam penjara. Setelah kepergok sedang melaksanakan kordinasi
untuk sebuah demo besar-besaran. Dia bergabung bersama gerakan bawah tanah
karena balas budi temannya yang memberikan pekerjaan itu. Di dalam penjara dia
mendapat siksaan yang sangat menyakitkan,
siksaan yang mengharuskan kaki kanannya patah. Setelah bebas dari
penjara dan dalam kondisi kaki pincang itu dia memutuskan untuk kembali menjadi
pengemis, meneruskan profesi Ibunya. Ia merantau ke seluruh kota-kota besar di
Mesir, sampai kemudian pilihannya jatuh di Alexanderia dan di sana dia menetap
cukup lama. Tentang Ayah pengemis itu, tak seorangpun tahu, bahkan dirinya.
Pada saat bertemu
pengemis janda itu, dia masih berusia sekitar 40 tahun. Tak ada yang tahu pasti
berapa umurnya. Hanya kisaran saja. Orang-orang tidak mungkin menghafal umur
seorang pengemis. Menghafal umur dirinya saja kadang lupa. Begitu menyibukankah
dunia?
Janda beranak
satu itu Maryam, begitu orang-orang menyebutnya. Walau sebetulnya tak patut
juga menghafal nama pengemis. Namun lagi-lagi karena kisah cintanya yang sangat
nadir, memaksa orang-orang -termasuk saya untuk mengetahui namanya.
Maryam adalah pengemis berambut gimbal dan bermata bulat. Ahmad adalah anaknya
yang sampai sekarang tak pernah tahu siapa Ayahnya.
Di suatu sore
yang berselimut senja. Saat angin pantai Mediteranian seperti alunan biola yang
menyusup ke dalam gedung-gedung tua, Ia mendatangi Maryam berniat mengajaknya
menikah, membangun rumah tangga sebagaimana layaknya orang-orang menikah. Walau
kelak mungkin orang-orang akan menyebutnya sebagai rumah tangga pengemis.Tapi
bagi dia Maryam terlanjur segalanya, ejekan itu tak membuatnya surut.
“Selama ini aku
belum pernah jatuh cinta. Kau adalah pengemis pertama yang mencuri hatiku.
Maryam. Maukah kau menikah denganku? Aku akan jadi Ayah yang baik buat Ahmad.”
Kalimat yang
disiapkan tiga hari tiga malam berhasil membuat wajah Maryam berubah merah
jambu. Gemuruh dalam dadanya membuatnya salah tingkah. Dia menyuruh Ahmad
pergi, entah untuk membeli air entah untuk apa.
“Tapi kita
sama-sama pengemis. Apa kata orang nanti?”
“Justru karena
kau pengemis.”
“Jadi, kau
mencintaiku karena kita sama-sama pengemis?”
“Tentu. Mana
mungkin aku mencintaimu, kalau kau seorang guru.”
Mendadak mata
Maryam merah. Lenguhan nafasnya panjang sekali. Dia menelan kecewa.
“Jadi kau
mencintaiku karena aku pengemis?”
“Iya.”
***
Entah apa yang
ada dalam pikiran Maryam sampai dia harus menangis tersedu-sedan setelah
menampar pengemis agak tua itu. Bukan cuma menolak tawarannya menikah dia juga
enggan berbicara lagi padanya, walau cuma sepatah kata. Perasaan kewanitaannya
telah terinjak-injak. Seharusnya dia dicintai bukan karena dia pengemis, tapi
karena dia cantik, manis, baik, atau kalaupun jelek, dia bisa memakai alasan inner
beuty. Jadi seolah-olah dia bukan wanita terakhir paling sendiri di
dunia ini.
Sedangkan yang
terjadi pada pengemis agak tua itu. Dia berubah menjadi gila untuk beberapa
saat. Dia menceritakan pengalaman ditolaknya kepada siapa saja yang lewat di
hadapannya. Terutama di waktu sore saat orang-orang ramai berseliweran di
komplek itu. Dia berkali-kali menceritakan betapa sakinya ditolak perempuan. Barangkali
ditolak memang sakit, sangat sakit. Tapi pengemis tidak berhak berteriak-teriak
histeris seperti itu, karena sangat mengganggu kenyamanan publik.
“Kenapa cintanya
ditolak?” ketika itu seorang bertanya.
“Karena dia
mencintai Maryam tidak tulus.”
“Hanya karena
alasan sama-sama pengemis, disebut sebagai cinta yang tidak tulus? Bukankah
cinta adalah realita?”
“Iya. Tapi
menurut Maryam itu tidak tulus” Begitu akhirnya orang-orang berdebat tentang
sepasang pengemis yang tidak jadi menikah. Cerita ini telah menyebar
kemana-mana. Sampai penjual kwaci di ujung jalan pun tahu perihal kisah romansa
sepasang pengemis itu.
“Perempuan memang
banyak maunya.”
“Hushh!”
***
Hari sudah malam.
Aku masih menikamti secangkir espresso di café Teatro Eskendria. Saat
kuceritakan kisah pengemis itu kepada salah satu pelayan dia membenarkan bahkan
memberikan kisah unik lain tentangnya. Aku semakin penasaran dengan rupanya.
Apa iya ada pengemis yang mau membagikan receh untuk pengemis lain? Apalagi
menyuruh orang yang justru akan memberinya uang.
“Sungguh aneh
pengemis itu.”
“Kenapa tidak
memberinya langsung?”
“Dia tidak
berani. Mungkin masa lalu membuatnya bisu. Tak ada yang lebih mengerikan dari
kekalahan seorang lelaki terhadap wanita, bukan?” Pelayan itu mulai filosofis.
“O iya. Kalau
kebetulan dia sedang tak punya uang. Hanya uang pemberianmu saja, dia akan
berkata: … berikan ini pada Maryam.!”
“Jika saya pun
sedang tak ada uang?”
“Dia akan memohon
sampai meneteskan airmata.”
“… dan sayangnya,
jika Maryam tahu kalau uang itu adalah pemberiannya, dia segera melemparnya ke
tengah jalan.”
“Akh, sungguh
dramatis. Apa sudah ada yang menuliskan kisah ini?”
“Belum, belum ada
kawan”
***
Aku akan
membuktikan kebenaran cerita pelayan tadi. Sambil merogoh beberapa receh yang
sengaja kusisakan, aku berjalan ke arah Opera, dimana pengemis agak tua itu
duduk menghadap jalan. Sementara Maryam -kata orang, duduk di pintu
masuk gang ini. Awalnya mereka satu jarak lurus, tapi karena Maryam merasa
risih atas tingkah lakunya yang gila itu, dia beranjak pindah, sembunyi di
punggung gedung.
Dengan rasa
penasaran yang amat sangat. Aku menyegerakan langkah saat memasuki gang yang
berlawanan arah dengan tempat Maryam duduk. Bagaimana kisah konyol ini akan
berlanjut? Aku ingin dengar langsung dari mulutnya yang pasti bau.
Aku melihatnya
bersandar di dinding menyanggah sebatang tongkat. Lampu jalan yang sempat
menangkap sosoknya membuatku terenyuh untuk segera menyapa dan memberinya uang.
Selanjutnya, reaksi yang keluar itu yang sangat aku tunggu-tunggu.
“Assalamualaikum?”
Dia segera
menengadah. Tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku mendadak
bingung. Kuberikan recehan itu, berharap dia langsung berkhotbah tentang pengalaman
cintanya yang fenomenal. Dan mengembalikan uang itu seraya menyuruhku
memberinya kepada Maryam. Tapi ternyata dia sangat dingin. Hanya menyerobot
receh dengan cekat tanpa menimpali apa-apa. Apakah betul ini pengemis yang
jatuh cinta itu? atau ada pengemis lain. Tapi cuma dia satu-satunya pengemis
yang duduk di depan gedung Opera. Aku sedikit bertanya saat tatapannya tak
memandang aneh sedikitpun ke arahku yang sedang terheran-heran.
“Apakah kau
mengenal Maryam?”
“Siapa Maryam?”
“Pengemis janda,
nama anaknya Ahmad.”
“Siapa mereka?
aku tidak kenal. Coba tanya sama orang di sana!”
Aku benar-benar
kaget dan merasa tertipu. Ternyata kisah romansa itu tidak ada! Dia tak seperti
apa yang dikisahkan orang-orang. Wajahnya terlihat biasa saja, tidak seperti
orang yang sedang putus cinta. Persis seperti pengemis lain yang banyak kutemui
di Kairo. Aku telah dipermainkan sebuah cerita. Saat itu aku yakin kalau tak
ada pengemis yang mengalami tragedi cinta sesendu itu. Omong kosong!
Orang-orang di sini hanya mengarangnya untuk menarik pengunjung. Mungkin
akal-akalan para jasa travel pemandu wisata. Huftt!
Aku segera pergi
meninggalkan pengemis yang mengecewakan itu. Asal anda tahu, aku sangat senang
mendengarkan cerita, itu sebabnya ketika cerita konyol itu beredar aku sangat
seksama menyimaknya. Kini cerita itu jelas kutahu hanya bohong belaka. Aku
keluar dari jalan Opera memasuki perempatan. Telah duduk di emperan toko, pengemis
janda bersama satu anak kecil laki-laki. Awalnya aku malas memperhatikan. Namun
karena harus lewat di hadapannya aku terpaksa memberikan sisa receh yang
tinggal satu pond.
“Sebentar Tuan!”
Aku tertegun,
menghentikan langkah.
“Apakah uang ini
pemberian dari pengemis agak tua itu?”
Seketika logam
itu terplanting jauh ke tengah jalan (**)
Kairo, 2 Oktober 2013
Catatan:
nadir
: asing/jarang
pond
: mata uang mesir