Senin, 11 November 2013

Romansa Sepasang Pengemis (SOLOPOS, Ahad 10 November 2013)





Mungkin anda terbiasa mendengar kisah romansa sepasang artis, sepasang aktifis, sepasang penulis, sepasang musisi, sepasang dosen, sepasang penyair, sampai mungkin anda terbiasa mendengar kisah romantis sepasang merpati dalam cerita-cerita fiksi. Tapi pernahkah anda mendengar kisah romansa sepasang pengemis? Ya, pengemis, manusia yang seharusnya sibuk dengan perut, tapi kali ini harus menjadi tokoh dalam cerita, karena pengalaman cintanya yang dramatis.
 
Semua berawal malam itu. Saat musim dingin barusaja memasuki bulan pertama. Di sebuah komplek yang biasa disebut Down town duduk seorang pengemis agak tua di depan gedung Opera. Wajahnya sangat kotor. Kumis dan jenggotnya tumbuh lebat menyatu. Ia mengikat kepalanya dengan sehelai kain, mirip tokoh sufi kharismatik zaman dulu. Tapi jelas dia bukan sufi, karena orang-orang masih suka melihatnya kencing di tembok.  Dia adalah pengemis yang akhirnya menjadi tokoh dalam cerita ini, dia juga yang diam-diam jatuh cinta dan membuat seisi Down town geger. Down town ini terletak di pesisir pantai Mediteranian, Alexanderia.

Aku dapat cerita romansa ini dari penjual buku dan majalah bekas. Dia berkisah seperti seorang yang sedang meratapi kesedihannya sendiri.

“Di depan Gedung Opera, pertama kali pengemis agak tua itu bertemu dengan pengemis janda yang datang dari arah Mandarah. Orang-orang tidak tahu, jika pada akhirnya pengemis itu jatuh hati padanya.”

Selanjutnya cerita ini akan aku kisahkan sendiri. Karena penjual majalah harus sibuk melayani beberapa pembeli yang kebanyakan para mahasiswi dari Alexanderia University. Lagipula orang-orang di sini sudah sangat hafal cerita romansa itu, jadi mudah bertanya jika di beberapa bagian nanti aku terlupa.

Umurnya sudah hampir 40 tahun. Pengemis laki-laki itu lahir di Mansuroh sebagai anak pengemis. Sejak bayi sudah diajak mengemis. Bersama Ibunya dia mengemis di pasar, di emperan masjid, di depan gerbang sekolah, di toko-toko dan tempat ramai lainnya. Masa kecilnya habis untuk mengemis. Sampai Ibunya meninggal dan ketika itu usianya sudah menginjak remaja dia memutuskan untuk berhenti mengemis dan bekerja sebagai buruh di pabrik gandum.

Namun akhirnya dia dijebloskan ke dalam penjara. Setelah kepergok sedang melaksanakan kordinasi untuk sebuah demo besar-besaran. Dia bergabung bersama gerakan bawah tanah karena balas budi temannya yang memberikan pekerjaan itu. Di dalam penjara dia mendapat siksaan yang sangat menyakitkan,  siksaan yang mengharuskan kaki kanannya patah. Setelah bebas dari penjara dan dalam kondisi kaki pincang itu dia memutuskan untuk kembali menjadi pengemis, meneruskan profesi Ibunya. Ia merantau ke seluruh kota-kota besar di Mesir, sampai kemudian pilihannya jatuh di Alexanderia dan di sana dia menetap cukup lama. Tentang Ayah pengemis itu, tak seorangpun tahu, bahkan dirinya.

Pada saat bertemu pengemis janda itu, dia masih berusia sekitar 40 tahun. Tak ada yang tahu pasti berapa umurnya. Hanya kisaran saja. Orang-orang tidak mungkin menghafal umur seorang pengemis. Menghafal umur dirinya saja kadang lupa. Begitu menyibukankah dunia?
Janda beranak satu itu Maryam, begitu orang-orang menyebutnya. Walau sebetulnya tak patut juga menghafal nama pengemis. Namun lagi-lagi karena kisah cintanya yang sangat nadir, memaksa orang-orang -termasuk saya untuk mengetahui namanya. Maryam adalah pengemis berambut gimbal dan bermata bulat. Ahmad adalah anaknya yang sampai sekarang tak pernah tahu siapa Ayahnya.

Di suatu sore yang berselimut senja. Saat angin pantai Mediteranian seperti alunan biola yang menyusup ke dalam gedung-gedung tua, Ia mendatangi Maryam berniat mengajaknya menikah, membangun rumah tangga sebagaimana layaknya orang-orang menikah. Walau kelak mungkin orang-orang akan menyebutnya sebagai rumah tangga pengemis.Tapi bagi dia Maryam terlanjur segalanya, ejekan itu tak membuatnya surut.

“Selama ini aku belum pernah jatuh cinta. Kau adalah pengemis pertama yang mencuri hatiku. Maryam. Maukah kau menikah denganku? Aku akan jadi Ayah yang baik buat Ahmad.”
Kalimat yang disiapkan tiga hari tiga malam berhasil membuat wajah Maryam berubah merah jambu. Gemuruh dalam dadanya membuatnya salah tingkah. Dia menyuruh Ahmad pergi, entah untuk membeli air entah untuk apa.

“Tapi kita sama-sama pengemis. Apa kata orang nanti?”

“Justru karena kau pengemis.”

“Jadi, kau mencintaiku karena kita sama-sama pengemis?” 

“Tentu. Mana mungkin aku mencintaimu, kalau kau seorang guru.”

Mendadak mata Maryam merah. Lenguhan nafasnya panjang sekali. Dia menelan kecewa.
“Jadi kau mencintaiku karena aku pengemis?”

“Iya.”

***
Entah apa yang ada dalam pikiran Maryam sampai dia harus menangis tersedu-sedan setelah menampar pengemis agak tua itu. Bukan cuma menolak tawarannya menikah dia juga enggan berbicara lagi padanya, walau cuma sepatah kata. Perasaan kewanitaannya telah terinjak-injak. Seharusnya dia dicintai bukan karena dia pengemis, tapi karena dia cantik, manis, baik, atau kalaupun jelek, dia bisa memakai alasan inner beuty. Jadi seolah-olah dia bukan wanita terakhir paling sendiri di dunia ini.  

Sedangkan yang terjadi pada pengemis agak tua itu. Dia berubah menjadi gila untuk beberapa saat. Dia menceritakan pengalaman ditolaknya kepada siapa saja yang lewat di hadapannya. Terutama di waktu sore saat orang-orang ramai berseliweran di komplek itu. Dia berkali-kali menceritakan betapa sakinya ditolak perempuan. Barangkali ditolak memang sakit, sangat sakit. Tapi pengemis tidak berhak berteriak-teriak histeris seperti itu, karena sangat mengganggu kenyamanan publik.

“Kenapa cintanya ditolak?” ketika itu seorang bertanya.

“Karena dia mencintai Maryam tidak tulus.”

“Hanya karena alasan sama-sama pengemis, disebut sebagai cinta yang tidak tulus? Bukankah cinta adalah realita?”

“Iya. Tapi menurut Maryam itu tidak tulus” Begitu akhirnya orang-orang berdebat tentang sepasang pengemis yang tidak jadi menikah. Cerita ini telah menyebar kemana-mana. Sampai penjual kwaci di ujung jalan pun tahu perihal kisah romansa sepasang pengemis itu.

“Perempuan memang banyak maunya.”

“Hushh!”

***
Hari sudah malam. Aku masih menikamti secangkir espresso di cafĂ© Teatro Eskendria. Saat kuceritakan kisah pengemis itu kepada salah satu pelayan dia membenarkan bahkan memberikan kisah unik lain tentangnya. Aku semakin penasaran dengan rupanya. Apa iya ada pengemis yang mau membagikan receh untuk pengemis lain? Apalagi menyuruh orang yang justru akan memberinya uang. 

“Sungguh aneh pengemis itu.”

“Kenapa tidak memberinya langsung?”

“Dia tidak berani. Mungkin masa lalu membuatnya bisu. Tak ada yang lebih mengerikan dari kekalahan seorang lelaki terhadap wanita, bukan?” Pelayan itu mulai filosofis.

“O iya. Kalau kebetulan dia sedang tak punya uang. Hanya uang pemberianmu saja, dia akan berkata: … berikan ini pada Maryam.!” 

“Jika saya pun sedang tak ada uang?”

“Dia akan memohon sampai meneteskan airmata.”

“… dan sayangnya, jika Maryam tahu kalau uang itu adalah pemberiannya, dia segera melemparnya ke tengah jalan.”

“Akh, sungguh dramatis. Apa sudah ada yang menuliskan kisah ini?”

“Belum, belum ada kawan”

***
Aku akan membuktikan kebenaran cerita pelayan tadi. Sambil merogoh beberapa receh yang sengaja kusisakan, aku berjalan ke arah Opera, dimana pengemis agak tua itu duduk menghadap jalan. Sementara Maryam -kata orang, duduk di pintu masuk gang ini. Awalnya mereka satu jarak lurus, tapi karena Maryam merasa risih atas tingkah lakunya yang gila itu, dia beranjak pindah, sembunyi di punggung gedung. 

Dengan rasa penasaran yang amat sangat. Aku menyegerakan langkah saat memasuki gang yang berlawanan arah dengan tempat Maryam duduk. Bagaimana kisah konyol ini akan berlanjut? Aku ingin dengar langsung dari mulutnya yang pasti bau.
Aku melihatnya bersandar di dinding menyanggah sebatang tongkat. Lampu jalan yang sempat menangkap sosoknya membuatku terenyuh untuk segera menyapa dan memberinya uang. Selanjutnya, reaksi yang keluar itu yang sangat aku tunggu-tunggu.

“Assalamualaikum?”

Dia segera menengadah. Tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku mendadak bingung. Kuberikan recehan itu, berharap dia langsung berkhotbah tentang pengalaman cintanya yang fenomenal. Dan mengembalikan uang itu seraya menyuruhku memberinya kepada Maryam. Tapi ternyata dia sangat dingin. Hanya menyerobot receh dengan cekat tanpa menimpali apa-apa. Apakah betul ini pengemis yang jatuh cinta itu? atau ada pengemis lain. Tapi cuma dia satu-satunya pengemis yang duduk di depan gedung Opera. Aku sedikit bertanya saat tatapannya tak memandang aneh sedikitpun ke arahku yang sedang terheran-heran.

“Apakah kau mengenal Maryam?”

“Siapa Maryam?”

“Pengemis janda, nama anaknya Ahmad.”

“Siapa mereka? aku tidak kenal. Coba tanya sama orang di sana!”

Aku benar-benar kaget dan merasa tertipu. Ternyata kisah romansa itu tidak ada! Dia tak seperti apa yang dikisahkan orang-orang. Wajahnya terlihat biasa saja, tidak seperti orang yang sedang putus cinta. Persis seperti pengemis lain yang banyak kutemui di Kairo. Aku telah dipermainkan sebuah cerita. Saat itu aku yakin kalau tak ada pengemis yang mengalami tragedi cinta sesendu itu. Omong kosong! Orang-orang di sini hanya mengarangnya untuk menarik pengunjung. Mungkin akal-akalan para jasa travel pemandu wisata. Huftt!

Aku segera pergi meninggalkan pengemis yang mengecewakan itu. Asal anda tahu, aku sangat senang mendengarkan cerita, itu sebabnya ketika cerita konyol itu beredar aku sangat seksama menyimaknya. Kini cerita itu jelas kutahu hanya bohong belaka. Aku keluar dari jalan Opera memasuki perempatan. Telah duduk di emperan toko, pengemis janda bersama satu anak kecil laki-laki. Awalnya aku malas memperhatikan. Namun karena harus lewat di hadapannya aku terpaksa memberikan sisa receh yang tinggal satu pond

“Sebentar Tuan!”

Aku tertegun, menghentikan langkah.

“Apakah uang ini pemberian dari pengemis agak tua itu?” 

Seketika logam itu terplanting jauh ke tengah jalan (**)

                                                                                                                    Kairo, 2 Oktober 2013



Catatan:
nadir : asing/jarang
pond : mata uang mesir

Minggu, 03 November 2013

Kedai Mimpi


Saya baru pulang dari sebuah perkumpulan sastra. Salah satu agendanya adalah mencari nama untuk komunitas yang masih baru itu. Setiap orang mengusulkan nama yang memantik perdebatan cukup panjang. Saat itu dengan polos saya mengusulkan nama: Kopi Tumpah.“Itu sudah pasaran” begitu ungkap salah satu anggota yang kebetulan perempuan. Saya bisu dibuatnya.

Karena perdebatan telah panjang namun belum menemukan nama yang cocok maka pertemuan disudahkan dan dilanjutkan minggu depan. Saya tidak langsung pulang sore itu, tapi memanjakan kaki menyusuri Toolo Bay di sepanjang jalan menuju Helsinki. Objek wisata ini memang disediakan pemerintah Finlandia untuk para pejalan kaki. Jadi semacam komplek bebas kendaraan, hanya berjejer di pinggirnya pohon-pohon cemara yang kurus dan beberapa Kedai.
 
Namun di ujung nanti akan bertemu sebuah danau kecil dengan ilalang yang berwarna-warni. Ditaburi guguran daun mapel yang jatuh tersenggol angin. Suasana pra senja yang menggiurkan. Sambil mendengar lagu-lagu Metal dengan hedset, aku berjalan ke arah barat seolah sedang mengejar senja yang hampir tenggelam. Di sana berdiri sebuah Kedai yang membuat mataku tercengang sejenak, bukan karena pengunjungnya yang rata-rata berpasangan, tapi karena nama kedai itu yang cukup aneh di telinga: Kedai Mimpi. Aha, Kedai Mimpi!

Sore itu saya kembali ke kos-an dengan pertanyaan yang tidak penting. Apakah Kedai itu seperti yang diceritakan pengunjung tadi? bahwa setiap orang yang datang boleh memanjatkan mimpi dan berhak terkabul jika dia berjanji akan mengunjunginya kembali saat mimpinya terwujud? Ah, konyol sekali memang. Dia bercerita sambil tertawa. Itu tandanya dia berbohong. Saya memang agak iseng bertanya nama itu. Zaman sekarang masih percaya mitos? begitu pungkas perempuan yang tak lain adalah pasangannya. Tapi bagaimanapun nama Kedai itu tetaplah unik. Paling tidak bagus untuk judul cerita, atau minimal catatan pendek. Dan jujur saya sangat penasaran dengan filosofinya.

***

Keesokan hari, sepulang dari kampus saya segera meluncur ke Kedai Mimpi. Saya bertemu beberapa teman kampus yang kebetulan bertujuan sama. Tapi karena mereka berpasangan saya hanya sempat bertanya sekilas saja –bukans soal nama kedai itu-, “Kualitas kopi, harga terjangkau dan suasana yang nyaman” begitu rata-rata jawaban yang muncul. Memang Kedai itu berhadapan persis dengan danau, tak salah mereka merekomendasikannya untuk diskusi atau bincang santai soal apapun, termasuk sastra. Tapi karena saya datang sendiri (artinya tidak berpasangan) kunjungan ini lebih ditekankan kepada pertemuan dengan Barista yang biasanya menjadi pemilik sebuah Cafe atau Kedai.

Kini saya sudah duduk di atas kursi kayu dengan sebuah meja bundar berwarna cokelat tua. Saya tinggal menunggu kode dari pelayan untuk kesediaan Barista menerima kunjungan konyol ini. Baik, beberapa menit kemudian saya telah dipersilahkan masuk ke ruangan pribadinya. 
 
“Kamu wartawan?”

“Oh bukan.” Seperti seorang Barista pada umumnya. Kepalanya terikat slayer, memakai kalung berlonceng kayu, gelang tali dan jeans ketat yang robek di bagian lutut.
“Saya cuma penasaran dengan namanya saja. Kalau boleh tahu apa yah filosofinya?”
“Ohhh ….”

“Mungkin akan menarik dibuat cerita.”

“Jadi kamu penulis?”

Kali ini saya tidak menjawab. Walau bukan penulis betulan. Tapi menulis cerita tentang kisah seseorang adalah pekerjaan yang menyenangkan.

“Kalau kamu mau nulis cerita dan judulnya: Kedai Mimpi, silahkan saja. Saya tidak keberatan. Gratis kok”

“Hem… sebetulnya saya penasaran dengan filosofinya. Itu kalau Miss berkenan menceritakan”
“Baik tunggu sebentar yah.”

Perempuan setengah baya itu berlalu menuju dapur. Terlihat ia sedang memberi instruksi kepada para pelayan. Wajahnya manis. Usianya kira-kira 30-an. Kaos ketat yang dipakainya bergambar personil Nightwish. Sungguh penampilan yang lain.

“Jadi kamu ingin tahu filosofi Kedai Mimpi?”

“Iya Miss.”

“Kamu akan mendengarkan cerita yang sangat panjang. Tapi mungkin akan saya ringkas”
“Waktu itu tahun 2013 saya masih di Kairo . . . . . “ (dan cerita pun berlanjut selama dua jam lebih. Saya tak mungkin menuliskannya semua)

“Oh jadi waktu itu Miss sudah jadi penulis?”

“Begitulah …”

“Lalu bagaimana dengan dia?”

“Mungkin sudah menikah dengan perempuan yang baik”

“Sayang sekali Miss kalau berhenti menulis gara-gara cowok.”

“Itulah kenapa saya menjadi Barista”

“Tapi tentu Miss tidak berhenti total”

“Iya. Kadang saya masih suka nulis tentang kopi”

“Terima kasih banyak Miss. Kalau begitu saya pamit”

“Sama-sama. Kamu nggak usah bayar minuman ini”

Tack Miss..”

Saya tersenyum sambil berlalu keluar. Ada perasan aneh yang bergemuruh dalam dada. Perjalanan hidupnya membuat saya agak merinding. Sangat penuh dengan kesenduan, persis yang terjadi pada kisah-kisa roman era 70-an. Tampak wajahnya lebih banyak ekspresi murung daripada ceria. Walau begitu di akhir cerita dia tersenyum sambil menyembur nafas yang begitu lega. “Tapi itu sudah masa lalu ...” dan aku menimpalinya “dan orang tidak mungkin lepas dengan masa lalu” ia mengangguk.

Dalam perjalanan pulang, kegelisahan masih menghantui pikiran saya. Kegelisahan bukan tentang masa depan –sebagaiaman yang lazim terjadi- tapi kegelisahan pada masa lalu  yang absurd. Seandainya waktu bisa diputar mungkin saat ini dia sudah tinggal di Indonesia bersama anak-anaknya yang lucu. Tapi itu omong kosong belaka, sebab sampai sekarangpun dia masih sendiri. Sepertinya dia prustasi dengan laki-laki. Sekarang penasaran saya beralih ke pemuda yang pernah menjadi kekasihnya. Suatu saat saya harus ke Indonesia  -entah negeri di belahan bumi mana- yang jelas saya perlu pertanggung jawabannya, kenapa perempuan sebaik Miss, ditinggalkan begitu saja.

Ternyata filosofi Kedai Mimpi itu sangat sederhana. Tak sedalam yang kukira. Awalnya hanya sebuah nama komunitas sastra. Tahun 2013 –berarti dua puluh tahun yang lalu- dia bersama rekan-rekannya mendirikan komunitas tersebut untuk menghidupkan dinamika sastra yang saat itu sedang loyo. Begitu juga awal kisahnya bertemu dengan dia, pemuda yang pada akhirnya hanya mengendapkan luka dalam dadanya. Hingga kini, luka itu masih abadi.

Tiba-tiba saya teringat pertemuan dengan teman-teman minggu depan. Saya mulai berfikir dan sedikit tersenyum. (**)


Minggu, 14 Juli 2013

Memoar



siapa yang paling bertanggung jawab atas ingatan?
kau tidak pernah menyinggungnya samasekali
sementara aku terus subur dalam bayang-bayang ingatan
maukah kau sejenak kuajak mampir pada kenangan?
di mana hanya ada kisah-kisah lucu tentang kita
di perempatan jalan memburu bahasa senyum
di emperan toko buku merebahkan ketegangan
tapi dalam hati kita saling berbisik
tentang kisah yang sekarang menjelma ingatan

masih ingatkah tentang burung-burung yang mendadak terbang
oleh hentakan kakimu yang diiringi gelak tawa?
atau para pengemis yang meletakan mangkuk sayur
dan tanpa sengaja kutendang.
semua itu kusebut sebagai lirik memoar

tapi bukan itu, ucapmu
itu hanya serpihan kenangan
di sana ada satu kejadian yang tak pernah musnah
kau membetulkan kerudungmu, aku masih menulis ini
kenangan itu adalah bisikan hati yang tak sampai
dan aku berhenti menulis …

Selasa, 07 Mei 2013

Tidak Sia-Sia



Malam ini saya baru pulang dari acara pelantikan ketua KSW periode 2013. Sebagai warga biasa yang tidak menjabat pengurus saya kaget sekaligus bertanya-tanya, perihal pelantikan tersebut. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu kemudian sedikit terjawab setelah mendengar berita acara yang dibacakan oleh salah satu perwakilan MPA. Berita acara itu sebuah kronologi kisah dari awal hingga keputusan pengunduran diri dari ketua. Walaupun masih ada beberapa hal penting yang menurut saya belum disampaikan kepada warga, yaitu soal jatah pembagian temus. Saya kira warga perlu tahu semuanya secara mendetil.

Kronologi itu bermula dari kisah beberapa orang yang menyodorkan empat puluh tanda tangan warga kepada MPA, meminta agar ketua KSW mundur dari kursi jabatan. Tentu jumlah empat puluh ini tidak sebanding dengan jumlah warga KSW keseluruhan yang tidak ikut menandatangani, termasuk saya dan kawan-kawan yang lain. Inilah awal dari sekian rentetan yang mengakibatkan ketua KSW mengundurkan diri. Adapun motif mereka menandatangani (juga pembuatan surat tuntutan itu) saya tidak punya hak bersuara, karena memang saya tidak terlalu tahu secara mendalam apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam tubuh KSW. Ditambah saya bukan Dewan Pengurus (DP).

Tapi sebagai warga biasa saya masih punya hak berusara. Dari jumlah empat puluh warga yang menandatangani ada tiga belas DP yang turut serta. Sebagai satuan kabinet sebaiknya DP justru kordinasi terlebih dulu kepada ketua. Walau bagaimanapun sejak pelantikan periode kepengurusan maka para DP itu sudah menjadi kesatuan wadah untuk bersama-sama memajukan KSW. Jadi langkah DP yang secara diam-diam ikut menandatangani surat itu, secara organisasi salah dan menyimpang dari jalur.

Sejauh mana ketiga belas DP itu berkhidmat ke pada KSW? Sampai berani menuntut ketuanya untuk mundur. Pengalaman saya di KSW ituh, hampir seluruh agenda atau acara di letakan secara besar kepada ketua. Saya kira di kekeluargaan-kekeluargaan yang lain pun demikian. Karena alasan temus dan yang lain. Jadi memang organisasi kekeluargaan kita tidak profesional, karena belum tentu yang professional itu baik untuk sesama. Maka menitikberatkan ketua dengan seabreg tugas adalah hal yang wajar dan melogika. Kalau mau akademisi-akademisian, saya bisa minta beberapa DP yang ‘bandel’ untuk turun dari jabatan. Tapi tuntutan itu tentu dianggap aneh dan mengada-ada. Maka meminta mundur ketua KSW dengan alasan-alasan –yang bahkan tidak disebutkan di acara pelantikan tadi, adalah hal yang bagi saya cukup aneh.

Walau kemudian akhrinya pengunduran diri justru datang dari ketua, sebelum tuntutan diputuskan oleh MPA, sebagai lembaga tertinggi. Berbagai pujian dan apresiasi datang dari mana-mana, sikap pengunduran ini sungguh kesatria dan jentel. Tapi sejarah tidak akan lupa hanya karena pujian-pujian gombal, yang menurut saya tidak berdampak apa-apa. Tetap saja kejadian ini jadi slentikan yang cukup keras untuk kita semua agar tidak gegabah dalam mengambil langkah. 

Selanjutnya sebagai warga saya hanya bisa berharap, semoga pelantikan ketua baru –yang kurang lebih masih sisa 4 bulan- menghasilkan gebrakan baru untuk membawa KSW lebih dicintai warganya. Dan acara pelantikan malam ini sungguh tidak sia-sia!

 11:00
 Kairo, 7 Mei 2013.

Senin, 29 April 2013

Surat untuk Dinda



Aku menulis surat ini di musim dingin. Ketika siang lebih cepat daripada malam. Saat orang-orang lebih suka mendekam di rumah ketimbang keluar mencari senja. Saat burung-burung gagak memilih senggama di pojok saka tanpa melihat kerimbunan pohon yang sudah berembun. Kecuali anjing-anjing yang tetap mengaung seperti saat musim panas yang panjang dan sibuk. 

Aku menulis surat ini dengan tangan sedikit gemetar. Jari-jari seperti membeku. Warnanya pucat putih nyaris mirip orang mati. Satu persatu kata mulai terangkai membentuk kalimat-kalimat aneh. Subuh, aku menulis surat di waktu itu. Saat suasana seperti di lembah salju atau di pinggiran Himalaya. Tapi aku tetap menulis surat ini dengan rasa membuncah.

Sebelumnya akan kuceritakan kepada Dinda, ya surat ini untuk Dinda. Saat aku menulis surat ini musim dingin barulah sejengkal. Sebelumnya ada hujan sebagai tanda pertemuan musim dingin dan perpisahan musim panas. Hujan ini sangat dirindukan tidak seperti di kampung Dinda yang dicemooh karena hampir setiap hari hujan. Walau dirindukan, hujan di sini tidak lama hanya beberapa menit tidak sampai satu jam. Guyuran air yang mengalir dari langit pun tidak begitu banyak cukup membasahi dan mengawali kedatangan musim dingin.

Lalu tanah sedikit lembab, selaksa kabut perlahan menggumpal. Musim dingin mulai datang. Membawa ketenangan, kesejukan dan kesunyian. Seperti suasana kota dimana Dinda angankan. Tapi musim dingin terlanjur menggigil. Aku hampir meler setiap hari, tidak mandi berminggu-minggu tetapi rajin menulis surat ini. Dinda tahu, aku menulisnya di taman saat angin musim menusuk-nusuk. Tapi tak usah risau tentang kesehatan aku jamin dengan dua lapis jaket semua aman.

Dinda tahu, musim dingin aku tidak bisa bersantai-santai di Khan Khalili. Menghabiskan senja sekaligus mencari setangkai dua tangkai inspirasi. Apalagi jika galau itu datang aku harus segera mencari tempat sendiri untuk menuntaskannya. Biasanya di Babul Futuh di sana ada masjid tua tempat orang-orang Syiah menjalankan ritualnya. Sedang di teras masjid akan ada tempat duduk jika malam tiba; menyediakan aneka kopi, teh dan syisa. Pekerjaan itu mampu mengusir galau dan menumbuhkan banyak ide.

Tapi semua itu tidak bisa dikerjakan di musim dingin. Atau bisa tapi Dinda pasti akan melarang karena sangat tidak baik untuk kesehatan. Untuk hal ini aku tidak bisa kompormi dengan kamu, Dinda.  Oleh karena musim dingin itu aku lebih suka merengkuh selimut lalu bergumul dengannya. Sesekali berhangat-hangat dengan kopi dan sebatang rokok. Sehingga ide untuk menulis surat ini hanya datang dari ruangan kosong dan lagu-lagu kenangan yang semu.
Sementara daun-daun menyiur pelan. Langit masih gelap. Sorotan lampu taman masih menjelaskan pemandangan sekitar. Taman ini kosong. Hanya beberapa pohon pendek namun rimbun yang mengitarinya. Pagar pembatas yang mengelilingi gedung ini memanjang tidak menjelaskan apa apa. Aku duduk menghadap barat melihat Jupiter yang masih ranum. Dinda, inilah saat-saat paling menenangkan. Suasana subuh yang sepi, udara sejuk dan surat untuk Dinda yang belum usai.

Seperti setiap kali kita pulang sekolah. Dinda akan rajin menuliskan surat untukku. Surat yang terbungkus amplop biru muda denga sisa parfum yang masih melekat. Wanginya menidurkan bunga-bunga di samping rumahku. Begitupun aku akan membalas surat itu dengan amplop yang sama namun tulisan sedikit berantakan. Perempuan memang mahluk halus sampai pada lentik-jarinya. Tapi tentang isi surat itu tentu tidak akan kuceritakan di sini, karena akan membangunkan kesedihan lama yang sudah mengendap oleh kekuatan kata. Sepanjang angin musim berhembus, setahun dua tahun sampai beberapa tahun kita berpisah. Hanya satu yang masih kita kerjakan bersama yaitu menulis surat ini.

Dinda, aku menulis surat ini dengan cambuk rindu yang terus memecut. Entah sampai kapan kebiasaan ini akan berakhir: kebiasaan bodoh menulis surat. Bukankah zaman sekarang sudah ada facebook atau email yang memudahkan komunikasi. Tidak perlu repot dengan pulpen ataupun kertas. Tapi segala kenangan bemula dari sana. Saat senyummu masih begitu biru dan kaku. Apakah kita akan meninggalkan sumber dari sebuah cerita. Cerita tentang kita. Tentang rindu, cinta dan luka.

Din, apakah sekarang kau sedang menulis surat, seperti aku menuliskannya dalam keadaan mabuk?

Sebelum aku lanjutkan menulis, Dinda perlu tahu bahwa di sini di tempat aku tinggal, banyak orang-orang memilih menikah lebih dulu ketimbang merampungkan studi. Mereka seperti percaya diri bahwa menikah di umuran 22/23 (laki-laki) dan 18/19 (perempuan) mampu menghasilkan keluarga yang sukses dan mandiri. Satu lagi yang aku tidak habis pikir, biaya rumah tangga mereka lebih banyak ditanggung orang tua. Bukankah ini aib?. Menikah adalah menciptakan keluarga baru, bukan sepenuhnya menyandarkan hidup ke pada keluarga lain. Entahlah Dinda, aku mungkin egois. Egois dalam berfikir. Sebab ini juga yang membuat Dinda resah kepalang resah: dipaksa menikah di usia seperti itu.

Din, walaupun kita berjarak benua aku tidak takut selama kita masih menulis surat. Kamu ingat saat Bapak menolak kunjunganku ke rumah lantaran aku bukan pemuda yang diidamkannya. Lalu mengusirku pelan-pelan. Tapi ada yang paling menyakitkan waktu itu, dia membakar semua suratku. Dan itu menjadi renungan paling menyayat sepanjang perjalanan kita.
“Kamu jangan jadi laki-laki egois yang menyerah begitusaja. Bukankah laki-laki adalah mahluk paling kuat di dunia?”

Ini adalah ungkapan beberapa tahun silam. Saat aku berhenti menulis surat karena sakit hati. Kau meremehkan kejantananku sebagai lelaki. Baru kemudian aku sadar bahwa menulis surat adalah kebahagiaan tersendiri. Seperti kebutuhan di saat keadaan-keadaan tertentu. Seperti di musim dingin ini aku akan rajin menulis surat. Musim dingin memang gandrung dengan kata-kata. Apalagi di kota ini, tempat yang banyak melahirkan inspirasi.Tentu akan banyak eksplorasi di suratku nanti.

Din, aku masih menulis surat ini di taman kosong. Keadaan yang tak berubah. Hanya tangan sudah tak begitu gemetar.  Tak ada kopi. Suatu saat aku ingin menulis surat di taman yang ada bangku panjang. Di sana kau duduk manis menatap langit dan sesekali menjatuhkan senyum. Sehingga sumber inspirasi nyata di depan mata bukan lagi mengandalkan benak yang kadang lupa.Tapi kapan saat indah seperti itu? saat angin bermanja-manja dengan gerai rambutmu. Lalu aku membetulkan sedikit saja garis-garis hitam yang nakal itu.

Dinda, sebelum aku rampungkan surat ini. Aku ingin kita berjanji agar tetap menulis. Di zaman edan ini menulis sudah menjadi asing sekali. Banyak para pelajar yang alergi dengan pekerjaan mulia ini. Padahal menulis adalah sumbangan terbesar untuk sebuah peradaban. Din, aku mau kita bukan mereka. Apalagi kita sering menulis surat, mungkin kecintaan kita pada tulisan melebihi segalanya. Bahkan Pram sudah mewanti-wanti dengan ungkapan masyhur itu. Tapi akh, zaman sekarang mana tahu siapa itu Pram, pemuda-pemudi kini lebih sibuk lagu-lagu korea, diskusi soal gadget terbaru, jangan-jangan Pram, HB Yassin, bagi mereka adalah semacam makanan atau merek handphone. Entahlah Dinda, yang penting kita bukan mereka.

Aku ingin Dinda selalu akrab dengan Para Pelancong Kesedihan-nya Agus Noor atau Atas Nama Malam-nya Seno Gumira Ajidarma. Kelak dari sana akan lahir sebuah kisah; Surat untuk Dinda. Kalau aku ibaratkan Dinda adalah puisi yang sarat makna dan gandrung misteri sedang aku ialah sajak yang mudah ditebak dan simpel.

Surat ini sudah hampir selesai. Tapi masih ada satu kejanggalan yang menyumbat pikiran. Sehingga menghalangi penuntasan surat ini. Satu hal yang masih menjadi problem kehidupan: ternyata aku masih menyimpan ragu. Ragu untuk menjadi lelaki berani seperti yang Dinda minta. Lelaki berani adalah merelakan Dinda dipinang orang lain, ini yang Dinda maksud sebagai lelaki pemberani. Dan sampai detik ini aku masih ragu untuk jadi pemberani. Entah sampai kapan. 

Dinda, kau memang perempuan pandai meramu teori. Sehingga makna berani menjadi luas –bahkan melewati batas kewajaran.


Aku khawatir saat kita bertemu nanti. Senyum itu bukanlah milikku satu-satunya. Ia telah punya pendamping yang selalu mengawasi dengan ketat. Jangan-jangan aku tidak bisa lagi melihat gerai  rambutmu. Semerbak parfum itu mungkin sudah diganti dengan yang lebih mahal namun asing. Maka kekosongan taman itu lebih baik ketimbang kau datang membawa duri. Mungkin aku terlahir dari rahim kesepian. Atau lebih tepatnya hadir untuk menemani sang sepi.

Akhirnya surat ini rampung dengan kepasrahan pena. Aku percaya rindu tidak bisa sembunyi di balik musim dingin yang sepi. Ia bergelombang-gelombang bagai debur di sore hari. Aku ingin Dinda menerima surat ini dalam keadaan lengkap. Tidak sekedar kata-kata, karena surat ini membawa duka dan setitik rasa bangga. Bukankah bidadari berdarah yahudi, Hannah Arendt pernah mengutip kata-kata ini:

…Derita menjadi tertangguhkan ketika menjelma menjadi sebuah cerita…

Kairo, 26 November 2012.

Minggu, 28 April 2013

Tiga Status Facebook

hari-hari telah menjadi jarum, perempuan itu menusukannya ke mataku. ya, perempuan itu telah menjadi luka, luka yang melebih betapa. tapi (hakikatnya) perjumpaanlah yang paling berdosa atas semua. (status pertama)

perempuan tentu muak dengan cowo playboy, tapi perempuan (juga) terlampau sering menyuruh mereka untuk playboy: dengan cara menyakiti perasannya terus-menerus. (status kedua)

perempuan itu biasa memintal benang, tapi malam ini dia harus memintal rindu. rindu yang telah menghantamnya hingga ia tersungkur pada kenangan yang mustahil musnah. apakah memendam rindu masih penting? di tahun 2013 ini? di zaman yang selingkuh lebih mudah dari ngeludah. tapi nyatanya dia tetap menyimpannya, mengendapkannya, mengabadikannya, di depan mulut jendela. (status ketiga)

April 2013

/

Tuhan, aku menghadap-Mu dengan wajah paling dungu, darah paling kotor, jiwa paling kerdil, 
 hati paling busuk. Tuhan, banyak orang ingin jadi Tuhan. Tapi aku ingin jadi hamba selamanya. 
Hamba yang pasrah, karena pada kepasrahan itulah hakikat kehidupan. Aku tahu Tuhan tidak muluk-muluk bukan? Tuhan hanya mau hamba-Nya pasrah, hamba menjadi hamba, bukan sok menjadi Tuhan. Apalagi menggurui Tuhan. Oh Tuhan, manusia dibuat untuk salah dan khilaf, lalu tobat. Dan usaha menuju tobat itu yang Engkau ganjar, bukan hasil tobat. Sebab manusia hanyalah seekor hewan berakal, bukan sekumpulan malaikat. Maka lewat tulisan ini aku datang ke rumah-Mu sebagai manusia yang kotor, manusia yang jijik. Tuhan, pada siapa lagi aku mengadu?

April 2013

BUNGSU


Beberapa hari ini aku malas membaca koran. Menu rutin setiap pagi, selain pisang goreng dan kopi. Istriku rajin membikin pisang goreng, nyaris setiap hari kecuali saat anak-anak berkunjung, dia akan membuat cucur. Kue yang digemari anak-anak sejak masih bocah. Sekarang, mereka sudah pada punya cucu. Kecuali si bungsu yang belum juga mau kawin. Alasannya simpel: dia pernah ditolak calon mertua cuma gara-gara dia anak eks-tapol. Sejak saat itu dia urung mikirin kawin dan menyalurkan sakit hatinya pada perempuan-perempuan zaman sekarang yang banyak tidak tahu hakikat cinta.

Aku suruh dia cari perempuan lain tapi dia menolak. Satu-satunya perempuan yang dikaguminya itu telah jadi milik orang. Anakku mulai idealis. Dia pergi meninggalkan rumah dan hidup di jalanan, artinya dia lebih suka tinggal sama teman-temannya daripada kelon sama ibunya sendiri. Aku mengagumi karakter kepribadiannya, dari tiga anak, cuma si bungsu yang meneruskan pekerjaanku sebagai penulis. Pernah dia dipecat oleh satu media karena tulisannya justru menyerang pemilik media tersebut. Sekarang dia milih jadi penulis lepas, menurutnya media kalau yang punya politisi selamanya tidak akan pernah maju, karena politis di negara ini tidak ada yang jujur. Keberanian ini yang membuatku bangga sekaligus khawatir. Aku tidak ingin zuriahku mengalami nasib sama dengan Ayahnya.

Begitulah setiap pagi aku merenung. Tentang perjalanan hidupku yang suram dan kadang tentang anak-anakku. Terlebih kepada si bungsu yang punya ‘kelainan’ dari kaka-kakanya. Kadang aku ingin menyuruhnya pulang dan berhenti menjadi penulis. Tulisan-tulisannya memang kritis, apalagi kalau sudah menyangkut soal skandal pemerintah. Itu sebabnya dia didepak langsung setelah membeberkan borok bosnya sendiri. Masih untung ancaman dan perang terjadi hanya dalam tulisan, bukan fisik. Anakku yang ini memang keras kepala. Besok-besok aku suruh dia nulis novel, bukan wartawan lepas seperti sekarang.

Burung ketilang tetangga sudah berkicau. Petanda aktifitas kembali dimulai. Istriku akan membikin kue, lalu datang satu-dua pedagang yang ditugaskan menjajakannya. Pak Tarno musti menyalakan mesin setengah jam-an sebelum berangkat ngojek. Di depan rumah jalanan akan ramai oleh anak-anak SD yang berangkat sekolah. Koran yang sedari pagi mungkin pukul 6 tergolek di tepi meja kubiarkan. Aku yakin balasanku tidak dimuat lagi. “Dasar boneka!!”

Sejujurnya kakek-kakek sepertiku ini tidak pantas lagi bicara soal duniawi. Sebab siapa yang mau dengar? Gigi sudah tinggal lima biji begini, matapun kadang rabun, sudah bau tanah!Tapi walau sudah bau tanah, emosiku masih normal. Wajar kalau aku harus membalas segala hujatan. Mereka mengataiku begundal, antek komunis, manusia tak bertuhan dan segudang omong kosong lain. Darahku mendidih, emosiku mencuat, maka itu aku kirim tulisan balasan tapi tak dimuat.

Sekarang mungkin bukan masaku lagi. Zaman sudah berubah. Orang tua sepertiku ini lebih pantas bungkam. Lebih baik aku membiarkanya saja. Toh, sebentar lagi aku mati. Memang sejak dulu penguasa di sini doyan menyiksa orang sepertiku, merebut hak hidup, memperkosa harga diri, menginjak-injaknya di depan umum. Itu terjadi sejak dulu, aku sebaiknya tidak usah heran. Apalagi mau bawa urusan ini ke jalur hukum. Sia-sia saja! Ya, itulah yang membuat aku malas baca koran beberap hari ini. Dan murka itu membuat aku malu pada Tuhan, pada diriku sendiri: orang tua kok masih dumeh!

“Pak, si Rudi…. Umurnya sudah hampir 30, Bapak coba ngomong lagi sama dia. Kasihaan Pak”

Tiba-tiba istri ikut nimbrung dalam pikiran. Ia duduk dengan manja. Mukanya judes.

“Besok anak-anak mau kesini. Coba sekali-sekali Bapak datang ke kosannya. Ajaklah dia main lagi kerumah. Walau bagaimanapun dia anak bontot Pak... Dia..manja.”

Aku baru menyeruput kopi. Masih sibuk menata pikiran. Kenapa istriku bisa nyambung dengan pikiran? Tapi akh, istrikan berasal dari tulang rusuk ini. Wajar kalau tiba-tiba dia menyeloroh begitu.

“Iya Mah…besok Bapak kesana.”

“Loh Bapak ini gimana? besok semuanya pada kumpul. Siang atau sore Bapak kesana, biar nanti Pak Tarno yang antar.”

Aku mengiyakan segala perintahnya. Sejak dulu aku selalu nurut dengan omelannya. Karena aku yakin justru omelan itu yang membikin aku tetap kuat menjalani hidup. Dia istri yang tidak muluk-muluk, tapi tahu hakekat cinta. Dia pandai meredam amarah. Tabah dan sabar. Saat aku dipenjara 7 tahun, dia rajin menjenguk dengan deras airmata. Hingga setua inipun, istriku masih yang dulu. Perempuan dengan segala ketulusannya. Tiba-tiba aku ingat masa muda.

Hari sudah lepas zuhur. Pak Tarno sudah pulang ngojek, aku siap-siap mandi. Sebelum berangkat istriku menyerahkan kue seplastik penuh. Sambil terus berharap agar si Rudi mau tinggal di rumah. Aku disuruh membujuknya habis-habisan. Memang, aku dan istri sama-sama khawatir dengan si bungsu.

***
Sampai aku di kosan yang tidak begitu ramai. Bahkan letaknya berada di ujung gang sempit, menghindari jalan raya. Aku suruh Tarno menenteng kue. Kadang aku panggil Tarno saja kalau berdua begini, dia masih lebih muda 4 tahun dari usiaku. Tapi kalau ramai aku ikut orang banyak sebagai penghormatan.

Rudi menyambut dengan mencium tanganku dan menyalami Pak Tarno. Aku diajaknya masuk, tapi kutolak. Biar kita bicara di teras saja, sambil menghirup udara segar. Balasku. Pak Tarno asik ngobrol dengan teman-temannya sambil menyerbu kue buatan istriku. Aku duduk bersanding dengan Rudi, anak bungsuku sendiri.
Aku berbincang banyak dengannya. Mulai dari tulisannya yang akhir-akhir ini jarang muncul, keseriusanku mengajaknya beralih menulis novel, dan perbincangan menarik lain. Semua untuk menyalurkan kerinduan sekaligus keresahanku. Tapi yang terakhir ini harus kubacakan dengan sedikit serius.

“Ibumu sudah sangat rindu. Kapan kau ke rumah? Besok, kaka-kakamu kumpul.” Sengaja aku tidak sampaikan soal pernikahan. Biar itu urusan orang perempuan yang penting anak ini mau pulang dulu. Ibu lebih tahu perasaan anak daripada Bapaknya sendiri. Begitu batinku menyeletuk.

“Maaf Pak… sebetulnya besok Rudi ada pertemuan dengan para senior. Tapi Rudi usahakan pulang cepat setelah itu langsung kerumah. Rudi juga pengin ketemu Ibu.”

***
Malam itu Rudi baru tiba di rumah. Kami menyambutnya dengan manja. Istriku tidak henti-henti menciumi pipinya. Kaka-kakanya pun terlihat sumringah, mereka terlibat perbincangan santai. Namun tiba-tiba istriku langsung mengadu.

“Pak, anakmu ini apa tidak iri lihat kaka-kakanya begini”

Aku kaget menerima aduan mendadak macam ini. Aku dan Rudi saling pandang. Begitupun kaka-kakanya, semua pandangan tertuju pada Rudi.

“Apa mau Teteh carikan??” menantu pertamaku turut menimpali.

Rudi hanya geleng-geleng sambil terus melahap opor. Sekali lagi istriku mencium pipinya. Antara gemes dan putus asa. Kami memang cuma bisa membujuk dan membujuk. Tidak bisa memaksakan kehendaknya. Mungkin suatu hari nanti dia akan terketuk dan mau menikah sebelum aku meninggalkan dunia ini.

Setelah itu kami semua terlibat obrolan yang sangat hangat. Bagai keluarga besar sedang melepas kerinduan. Canda dan tawa saling lempar satu sama lain. Aku bersukur masih diajarkan bagaiman tertawa yang bahagia. Walau usia sudah setua ini. Paling tidak jadi penawar hidupku yang remuk dulu. O, terima kasih Tuhan atas segala kemurahanMu di hari tua ini.

Malam ini aku bisa sedikit melupakan kejadian di koran itu. Hujatan dan hinaan yang sebenarnya dalam sejarah hidupku itu bukan seberapa. Namun bukankah di saat sekarang ini menutup suara orang adalah suatu perkara. Apalagi negeri ini katanya beraliran demokrasi. Akh, aku muak dengan omong kosong ini! Biar, biar mereka menghujat sesuka hati, menghina setinggi pohon kelapa, malam ini aku tetap bahagia. Paling tidak dengan cucu-cucuku yang lucu, kasih sayang anak, dan cinta istri yang tiada terkira.

Keeseokan harinya aku bangun agak telat. Kulihat dapur sudah ramai. Ruang tamu berisik oleh bocah-bocah laki. Aku jalan menuju teras menjalankan ritual rutinku. Terhidang cucur masih hangat dan segelas kopi. Aku mencari-cari Rudi. Ternyata dia sudah kembali ke kosan, tanpa pamit terlebih dulu, mungkin dia tidak ingin mengganggu tidurku.

Koran sudah terbuka lebar, kukira Rudi telah membacanya. Pada halaman yang terbuka lebar itu ada tulisan dengan judul ‘Atas Nama Keadilan’ dan saat kubaca paragraf awal sangat menarik. Sepertinya tulisan ini sangat kukenal, dari gaya bahasa maupun isinya. Terus aku larut dalam bacaan yang semakin panas, ternyata tulisan ini membelaku dari serangan musuh. Membelaku bak pahlawan yang datang tepat waktu. Membelaku dari para begundal itu. Dimana aku jadi objek untuk membongkar segala ketidakadilan di negeri ini. Aku larut dalam tulisan yang lebih mirip surat balasan itu. Tenggelam dalam keberaniannya. Ungkapan-ungkapan heroik dipandu dengan nada-nada tinggi membuatku terus berdecak kagum. Menjelang paragraf akhir kutemukan klimaks yang membuatku puas. Hingga akhir paragrafpun kuterus geleng-geleng kepala, tanpa mengindahkan kopi atau cucur.

Aku didorong rasa penasaran yang amat sangat. Siapa hendaknya penulis ini? Kubuka halaman selanjutnya tapi tak tercatat disana. Kubalikan lagi, O ternyata nama itu terselip di bawah: antara iklan dan alamat email. Nama itu tertulis Rudi, kupastikan dengan kata-kata selanjutnya: atas nama keadilan untuk Bapakku sendiri. O benar-benar itu Rudi. Si Rudi anak bungsuku sendiri.*

Februari 2013

Musim Dingin dan Kenangan


Apa yang kau pikirkan tentang musim dingin? Apakah sekedar angin yang menusuk tulang, suhu paling rendah, air seperti salju atau justru selaksa kabut awan? Kalau cuma itu jawabannya, aku tidak sependapat. Masih ada yang terlupa, yaitu kenangan. Dia selalu datang bersama musim dingin. Selalu.

Kalau kau menyanggah lalu berkata bahwa kenangan akan datang di musim apasaja, termasuk di musim panas. Mungkin benar. Tidak harus menunggu musim dingin, kenangan pun pasti datang tatlakala bertemu sesuatu yang menghubungkannya. Namun aku ragu kalau itu samasekali tak sebanding dengan kenangan di musim dingin. Tak seberapa! Dan selama perjalanan hidup ini, aku sadar, hanya kenangan di musim dingin yang patut diperhitungkan!

Mungkin aku akan kerepotan kalau ada yang menanyakan detil tentang jenis kenangan itu. Apakah semua yang dianggapnya kenangan? Atau kenangan yang berhubungan dengan perempuan saja? Atau, atau ada hal lain?. Entahlah, aku tak dapat merincinya.  Tapi aku samasekali tidak membedakan jenis kenangan, barangkali yang kumaksud adalah kenangan yang melahirkan tulisan. Kenangan yang kalau diingat akan menyuruh kita menulis. Menulis apa saja, cerpen, sajak, puisi atau pun prosa. Ya, kenangan semacam itu.

Itulah muasal kenapa musim dingin gandrung dengan katakata. Pada awalnya ialah sekotak kenangan, yang setiap orang selalu ingin mengabadikan kenangan dalam hidupnya. Sedangkan tak ada alat sehebat apapun untuk merekam kenangan, kecuali sebuah tulisan. Ya, kecuali katakata. Ia abadi sepanjang masa. Melebur bersama semesta. Bukan kenangan kalau ia sendiri tanpa tulisan. Tanpa tulisan pun kenangan hanya sekedar bualan!

Desember 2012

#sebuah siang 1


di sebuah siang pipimu berdebu. bercampur peluh, mengeluhi waktu.
kapan segoresan kuku berslancar membentuk garisgaris lurus,
bercerita tentang hingarbingar hidup, panas yang ganas, dan mimpi yang tak pernah padam.

gelombang rambut disapu angin. hitam terurai. bagai selaksa surga di pucuk mata.

kau tak kenal lelah, membiarkan harihari melukaimu. kau merenung di siang hari.
saat orangorang ribut menagihi hidup, kau malah tersipu di balik kerlingan alis.

kau rindu seseorang bukan?

orang yang mengantarmu bolakbalik, diatas gerbong kereta terkekeh dengan sepuntung bara.
menggantung seperti monyet lalu kembali dengan  karcis dan dua bungkus es kelapa.
dia kurus memang, tapi cukup kuat untuk menahan kerumunan orang saat mereka menghujamimu dengan desakan, selepas turun di peron, kau tampak keheranan.

sekedar nostalgia, kau kembali meracuni rasa dengan purapura bahagia, padahal luka tak terkira perihnya.

di sebuah siang. ingin sekali kuusap pipimu yang tak lagi rona.

 Juli 2012.

Apa Itu Pagi?


udara sejuk mengisahkan burung-burung pipit

yang menyudahi mimpi dengan mengasingkan sarang

embun menetes dari bibir daun yang lugu

dahan dan ranting saling menyindir angin

kau duduk di bawahnya menanti sepucuk pagi

dengan kabut rindu yang kian tebal, kenangan yang menjelma awan

aku datang dari timur membawa bingkisan surya

menyilau wajahmu yang mulai lesu, membasuh keragua-raguan jemu

kini kita tengah duduk bersama: saling bertanya, apa itu pagi?

Januari 2013

Perempuan Kenangan

berawal dari sebuah kereta yang menuju rumahmu
aku lupa mengabari waktu, begitu rasa terlanjur jatuh
pada perempuan yang gemar menyusun kenangan
di jantungnya ratusan tibu ingatan bugil di bawah hujan

kini aku telah sampai di stasiun hatimu
dengan bekal rindu yang tak kenal waktu
perjalanan adalah oleh-oleh termahal
pernah kucuri senja di belantaran pantai
tapi aku lupa membawa kenangan