Hidup di
kampung memang susah. Meski di kota pun tidak menjamin, tapi paling tidak ada
banyak pilihan untuk merubah hidup. Di kota, Maryam bisa memupuk harapan
setinggi gunung. Merancangnya sedemikian indah dengan kemerlip lampu kehidupan.
Andai saja ketika itu Maryam ikut hijrah ke kota bersama Tukijan. Mungkin
keadaan tidak seperti sekarang. Namun nasib berkata lain, sekarang ia adalah
janda dengan satu Putri yang lugu. Dan satu-satunya jalan untuk melangsungkan
hidup adalah dengan menyulap ketan menjadi adonan kue lalu ia jajakan di pasar.
Dalam
perjalanan pulang ke rumah sebetulnya enggan mengingat masa lalu. Tapi bayangan
semu itu selalu bermukim di benaknya yang letih. Atau sebetulnya harapan itu
masih ada. Dulu ketika ia baru saja lulus SMA, ia diajak Tukijan merantau ke
kota untuk bekerja di sebuah pabrik. Tukijan adalah kekasihnya sejak SMA kelas
dua. Sampai waktu lulus tiba Tukijan ingin membuktikan ketulusan cintanya pada Maryam.
Ia telah lebih dulu diterima di sebuah Pabrik di Jakarta. Kebetulan jurusan mereka berdua sama, maka
Tukijan mengajukan nama Maryam dan akhirnya diterima oleh pihak Pabrik. Namun
ketika Maryam sudah hampir sampai pada mimpi indahnya, ia dikagetkan oleh badai
ombak yang mengamuk. Hubungan mereka
berdua tidak direstui, karena Maryam akan segera dijodohkan dengan seorang
ustaz alumni Timur Tengah. Jangankan untuk hijrah bersama ke kota, untuk
mengucapkan selamat jalan saja Maryam harus mengumpat-umpat. Dengan isakan
airmata yang tak terbendung Maryam memeluk Tukijan, kali pertama Maryam berani
memeluk seorang lelaki. Luruh segala yang berkecamuk di dalamnya.
Perbincangan
dua keluarga di sebuah malam yang lengang. Bisik-bisik mereka terdengar bising
di telinga Maryam. Menembus gendang telinga lalu menggenang bagai momok yang
menakutkan. Akibatnya ia tak terpejam samasekali menyimak obrolan serius itu
hingga usai. Gelak tawa, nada bangga, dan sesekali panjatan doa membuatnya
semakin resah. Meski calon suami yang diidamkan kedua orang tuanya belum pernah
ia temui. Kecuali sepuluh tahun yang lalu ketika mereka masih sama-sama duduk
di bangku SD. Sedang Maryam bertemu Tukijan di bangku SMP.
Setelah
lulus SD pemuda itu mondok di pesantren. Jarang sekali pulang ke rumah sehingga
Maryam tak sempat bergaul atau sekedar bincang-bincang dengannya. Bahkan
setelah lulus tes untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri, Maryam baru dapat
kabar sebulan setelahnya. Ketidaktahu banyak tentang pemuda itu membuat Maryam
khawatir untuk bersama menata hidup. Apalagi kenangan indah bersama Tukijan
belum sepenuhnya terhapus. Bahkan terlanjur menggandrung.
Seiring
bergantinya musim. Saat hari sudah menahun. Waktu yang menegangkan itu pun
tiba. Pemuda yang kemudian dipanggil Hasan telah pulang dari perantauan
belajarnya. Upacara penyambutan pun dibuat sedemikian meriah, Maryam dipaksa
memakai kerudung baru yang di belikan Ibunya kemarin hari. Ia diarak menuju
terminal bersama puluhan orang dengan seragam busana muslim. Iring-iringan
sholawatan bertalu dengan genjringan yang memekik. Maryam sebetulnya enggan
menjemput orang yang belum ia pahami, sempat protes tapi hanya dampratan yang
diterima dari hampir seluruh keluarganya. Orang tua Maryam memang orang yang
taat beribadah. Mungkin itu yang menjadi motif agar Maryam menikah dengan
seorang ustaz. Tradisi perjodohan ala Siti Nurbaya mungkin sudah berakhir tapi
perjodohan dengan seorang ustaz atau kyai masih subur di kampung itu. Suatu
kebanggan bagi siapasaja yang mendapat mantu seorang ahli agama, apalagi
belajarnya di luar negeri. Atau perjodohan itu bukan satu-satunya alasan,
mungkin ada maksud lain.
“Aku tidak
mau menikah dengan Hasan, Mak!”
“Hushh!
Nggak boleh ngomong kaya gitu, Bapakmu sudah bicara jauh soal ini”
“Tapi aku
tidak cinta..”
“Cinta akan
tumbuh seiring berjalannya waktu. Sabar, Mak juga dulu begitu”
“Aku anak
Emak, tapi aku bukan Emak!!” Maryam membanting pintu, gertaknya terdengar
sampai ke ruang tamu. Pak Lurah yang sedang rapat merasa terganggu dengan
tingkah anaknya.
Ia dekati anak
gadisnya itu setelah kemarahan mereda.
“Hasan itu
orang pintar, paham agama dan dia juga tampan. Apalagi keluarga mereka sudah
sangat dekat dengan keluarga kita. Insya Alllah dia suami yang bertanggung
jawab dan bisa membuatmu bahagia dunia akhirat”
Maryam hanya
diam tak membalas nasihat Bapaknya. Namun dalam hati yang terdalam ia menyimpan
rahasia. Wajahnya masam, pucat mendengar katakata indah itu. Serasa memang ia tengah
menjadi korban keegoisan kekuasaan. Tidak perlu ia jelaskan apa yang sebenarnya
terjadi. Kebiasaan buruk lembaga pemerintah di kampungnya tidak pernah berubah.
Semakin hari semakin menjadi.
Maryam
menangis tak bersuara. Mengadu pada sepi. Cinta tulusnya yang tumbuh di bangku
sekolah akan segera pupus. Walau Tukijan berjanji akan pulang dan menikahi Maryam,
tapi itu tidak akan terjadi kalau Tukijan tahu dia sudah punya suami. Diam-diam
Maryam ingin sekali bertemu Tukijan dan menceritakan semuanya. Atau dibawa
kabur ke kota itu lebih baik ketimbang mengikuti nafsu Bapaknya. Tapi itu tidak
mungkin, Maryam tidak bisa lakukan itu. Sekarang ia hanya perlu mengubur
dalam-dalam semua kenangan indah bersama Tukijan.
Pernikahan
sudah berjalan dua tahun. Maryam di karuniai Putri. Setahun pertama ia hidup layaknya
seorang istri. Bahagia.Tidak ada perubahan-perubahan drastis seperti yang ia
pikirkan sebelumnya. Bahkan setelah kepulangan Tukijan dari Jakarta ia bisa
hadapi semua itu. Walau awalnya semua begitu terasa berat namun ketika Tukijan mengerti
apa yang sedang terjadi ia memilih menjadi lelaki sejati. Yang tidak harus
terjebak dengan kenangan-kenangan semu. Maryam pun ia relakan untuk orang lain,
soal sakit hati cukup ia simpan sendiri di balik kejantanannya yang tangguh.
Di tahun
kedua petaka baru dimulai. Satu persatu penderitaan menimpa Maryam. Seperti
derasnya hujan yang terus menembaki bumi. Dimulai dari sikap suami yang sering marah
lantas ingin menikah lagi, alias poligami. Maryam serentak menolak, ia tidak mungkin membagi cintanya
yang penuh perjuangan itu kepada wanita lain.
Lalu Bapaknya
ditangkap polisi karena terduga kasus korupsi menyuap Camat –yang tak lain
adalah mertuanya- untuk tetap melanggengkan jabatannya. Setelah itu kedua besan
tidak lagi akur bahkan bermusuhan. Pertumpahan darah antar dua kubu hampir saja
terjadi. Seketika Hasan langsung menceraikan Maryam atas mandat orang tuanya.
Mungkin Hasan pun sudah berniat seperti itu, agar lebih leluasa menikahi wanita
lain. Suap-menyuap seharusnya dijerat kedua pihak namun karena suapan Camat
lebih besar sehingga ia bebas berkeliaran. Fenomena seperti ini sudah lama
menjadi budaya dan kebanggaan tersendiri.
Sekarang Maryam
benar-benar tersiksa. Menjalani hidup dengan sisa-sisa kekuatan. Untung di Pengadilan
ia menang untuk urusan hak asuh, sehingga ia masih punya secercah harapan dari
si buah hati. Ibunya yang sakit-sakitan harus tetap dirawat dengan penuh
perhatian. Kini tinggalah seorang penjual kue dengan sisa-sisa hidup yang masih
misteri.
Angin sore
membelai pelan. Maryam barusaja pulang menggiling beras ketan. Kue yang sudah
lama ia tinggalkan di Oven siap disajikan. Ia mengambilnya dengan lentik jari
yang manis. Satu persatu ia masukkan ke dalam kotak, lalu sebaris senyum
menghias wajahnya. Entah ada apa atau siapa, dia hanya memandang kue itu
lekat-lekat. Sebelum keluar rumah ia sempatkan bercermin dan membetulkan beberapa
garis kerudung yang membelok.
Senja
menguning. Semburatnya memancar dari balik losmen-losmen pasar. Sementara
kendaraan berhenti karena macet. Maryam berjalan melewati celah-celah itu.
Sigap dan cepat. Dengan dua kotak kue untuk dipasok ke salah satu toko
pelanggannya. Toko yang tidak pernah ia lupakan jasanya, toko yang selalu
menerima kue buatannya. Tidak pandang untung-rugi. Bukan, bukan itu. Ada hal lai yang lebih
penting, bahwa pemilik toko itu adalah Tukijan. Orang yang pernah menaruh
rembulan di hatinya. Kini pemuda kurus itu telah menjadi lelaki yang
sesungguhnya. Tahukah anda, dia tetap menunggu Maryam. Sampai waktu yang tidak
terpikirkan samasekali. Bahkan ia memilih membuka toko kue karena satu-satunya
mata pencaharian Maryam adalah membuat kue. Berharap dia tidak akan dicampakan
untuk yang ke dua kali.
“Kamu cantik
sekali hari ini….” Sapa Tukijan setelah Maryam meletakan kotak kue di atas
meja.
“Gombal
kamu!” Baru ia duduk dengan memalingkan wajah.
“Kamu ingat
Jan, dulu kita pernah lari-lari di jalan raya, pas macet.”
“Iya, tapi
kamu nggak mau aku gandeng”
Maryam
langsung menyoroti Tukijan dengan ekspresi aneh.
“Mau, tapi
malu. Hehehe, Sudah. Mana setoran yang kemarin, laku berapa? habiskan?”
“Kok,
buru-buru. Nggak nyesel?”
“Putri di
rumah sendiri.”
Sebelum
Maryam meninggalkan toko. Sebetulnya banyak hal yang harus ia katakan pada
Tukijan. Mungkin soal kesendirian yang cukup lama atau soal rasa yang masih
terpendam. Selalu saja ia melempar senyum sebelum benar-benar pergi. Tukijan
membalasnya dengan sorot mata yang tajam. Lalu ia pandangi pundak itu sampai
tinggal sesosok bayangan kecil yang kemudian ditelan jarak.
C a i r o ,
11. 10. 12.