Sabtu, 24 November 2012

Maryam

Maryam menyeka peluh yang terus bercucuran seperti guyuran hujan. Mengusapnya dengan lengan hingga menimbulkan daki di bagian bajunya yang tipis. Matanya sayu, wajahnya teramat letih. Berulangkali ia hembuskan nafas dengan cepat seperti orang habis lari-lari. Panas terik matari membakar kulitnya yang kuning  langsat. Membuat setiap pori-pori menjadi genangan kecil. Tubuhnya yang ramping tak ada celah sedikit pun untuk menghindar dari sengatan itu. Maryam membawa sekarung beras ketan di atas sepeda tua yang tidak ia tumpangi. Untuk menjaga keseimbangan laju, ia memilih menuntunnya hingga sampai tempat tujuan. Berjarak sekitar 20 meter, ia menuntun sepeda tua dengan tumpangan beras yang sudah berubah menjadi tepung.


Hidup di kampung memang susah. Meski di kota pun tidak menjamin, tapi paling tidak ada banyak pilihan untuk merubah hidup. Di kota, Maryam bisa memupuk harapan setinggi gunung. Merancangnya sedemikian indah dengan kemerlip lampu kehidupan. Andai saja ketika itu Maryam ikut hijrah ke kota bersama Tukijan. Mungkin keadaan tidak seperti sekarang. Namun nasib berkata lain, sekarang ia adalah janda dengan satu Putri yang lugu. Dan satu-satunya jalan untuk melangsungkan hidup adalah dengan menyulap ketan menjadi adonan kue lalu ia jajakan di pasar.

Dalam perjalanan pulang ke rumah sebetulnya enggan mengingat masa lalu. Tapi bayangan semu itu selalu bermukim di benaknya yang letih. Atau sebetulnya harapan itu masih ada. Dulu ketika ia baru saja lulus SMA, ia diajak Tukijan merantau ke kota untuk bekerja di sebuah pabrik. Tukijan adalah kekasihnya sejak SMA kelas dua. Sampai waktu lulus tiba Tukijan ingin membuktikan ketulusan cintanya pada Maryam. Ia telah lebih dulu diterima di sebuah Pabrik di Jakarta.  Kebetulan jurusan mereka berdua sama, maka Tukijan mengajukan nama Maryam dan akhirnya diterima oleh pihak Pabrik. Namun ketika Maryam sudah hampir sampai pada mimpi indahnya, ia dikagetkan oleh badai ombak yang mengamuk.  Hubungan mereka berdua tidak direstui, karena Maryam akan segera dijodohkan dengan seorang ustaz alumni Timur Tengah. Jangankan untuk hijrah bersama ke kota, untuk mengucapkan selamat jalan saja Maryam harus mengumpat-umpat. Dengan isakan airmata yang tak terbendung Maryam memeluk Tukijan, kali pertama Maryam berani memeluk seorang lelaki. Luruh segala yang berkecamuk di dalamnya.

Perbincangan dua keluarga di sebuah malam yang lengang. Bisik-bisik mereka terdengar bising di telinga Maryam. Menembus gendang telinga lalu menggenang bagai momok yang menakutkan. Akibatnya ia tak terpejam samasekali menyimak obrolan serius itu hingga usai. Gelak tawa, nada bangga, dan sesekali panjatan doa membuatnya semakin resah. Meski calon suami yang diidamkan kedua orang tuanya belum pernah ia temui. Kecuali sepuluh tahun yang lalu ketika mereka masih sama-sama duduk di bangku SD. Sedang Maryam bertemu Tukijan di bangku SMP.

Setelah lulus SD pemuda itu mondok di pesantren. Jarang sekali pulang ke rumah sehingga Maryam tak sempat bergaul atau sekedar bincang-bincang dengannya. Bahkan setelah lulus tes untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri, Maryam baru dapat kabar sebulan setelahnya. Ketidaktahu banyak tentang pemuda itu membuat Maryam khawatir untuk bersama menata hidup. Apalagi kenangan indah bersama Tukijan belum sepenuhnya terhapus. Bahkan terlanjur menggandrung.

Seiring bergantinya musim. Saat hari sudah menahun. Waktu yang menegangkan itu pun tiba. Pemuda yang kemudian dipanggil Hasan telah pulang dari perantauan belajarnya. Upacara penyambutan pun dibuat sedemikian meriah, Maryam dipaksa memakai kerudung baru yang di belikan Ibunya kemarin hari. Ia diarak menuju terminal bersama puluhan orang dengan seragam busana muslim. Iring-iringan sholawatan bertalu dengan genjringan yang memekik. Maryam sebetulnya enggan menjemput orang yang belum ia pahami, sempat protes tapi hanya dampratan yang diterima dari hampir seluruh keluarganya. Orang tua Maryam memang orang yang taat beribadah. Mungkin itu yang menjadi motif agar Maryam menikah dengan seorang ustaz. Tradisi perjodohan ala Siti Nurbaya mungkin sudah berakhir tapi perjodohan dengan seorang ustaz atau kyai masih subur di kampung itu. Suatu kebanggan bagi siapasaja yang mendapat mantu seorang ahli agama, apalagi belajarnya di luar negeri. Atau perjodohan itu bukan satu-satunya alasan, mungkin ada maksud lain.

“Aku tidak mau menikah dengan Hasan, Mak!”

“Hushh! Nggak boleh ngomong kaya gitu, Bapakmu sudah bicara jauh soal ini”

“Tapi aku tidak cinta..”

“Cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Sabar, Mak juga dulu begitu”

“Aku anak Emak, tapi aku bukan Emak!!” Maryam membanting pintu, gertaknya terdengar sampai ke ruang tamu. Pak Lurah yang sedang rapat merasa terganggu dengan tingkah anaknya.

Ia dekati anak gadisnya itu setelah kemarahan mereda.

“Hasan itu orang pintar, paham agama dan dia juga tampan. Apalagi keluarga mereka sudah sangat dekat dengan keluarga kita. Insya Alllah dia suami yang bertanggung jawab dan bisa membuatmu bahagia dunia akhirat”

Maryam hanya diam tak membalas nasihat Bapaknya. Namun dalam hati yang terdalam ia menyimpan rahasia. Wajahnya masam, pucat mendengar katakata indah itu. Serasa memang ia tengah menjadi korban keegoisan kekuasaan. Tidak perlu ia jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kebiasaan buruk lembaga pemerintah di kampungnya tidak pernah berubah. Semakin hari semakin menjadi.

Maryam menangis tak bersuara. Mengadu pada sepi. Cinta tulusnya yang tumbuh di bangku sekolah akan segera pupus. Walau Tukijan berjanji akan pulang dan menikahi Maryam, tapi itu tidak akan terjadi kalau Tukijan tahu dia sudah punya suami. Diam-diam Maryam ingin sekali bertemu Tukijan dan menceritakan semuanya. Atau dibawa kabur ke kota itu lebih baik ketimbang mengikuti nafsu Bapaknya. Tapi itu tidak mungkin, Maryam tidak bisa lakukan itu. Sekarang ia hanya perlu mengubur dalam-dalam semua kenangan indah bersama Tukijan.
Pernikahan sudah berjalan dua tahun. Maryam di karuniai Putri. Setahun pertama ia hidup layaknya seorang istri. Bahagia.Tidak ada perubahan-perubahan drastis seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Bahkan setelah kepulangan Tukijan dari Jakarta ia bisa hadapi semua itu. Walau awalnya semua begitu terasa berat namun ketika Tukijan mengerti apa yang sedang terjadi ia memilih menjadi lelaki sejati. Yang tidak harus terjebak dengan kenangan-kenangan semu. Maryam pun ia relakan untuk orang lain, soal sakit hati cukup ia simpan sendiri di balik kejantanannya yang tangguh.

Di tahun kedua petaka baru dimulai. Satu persatu penderitaan menimpa Maryam. Seperti derasnya hujan yang terus menembaki bumi. Dimulai dari sikap suami yang sering marah lantas ingin menikah lagi, alias poligami. Maryam serentak  menolak, ia tidak mungkin membagi cintanya yang penuh perjuangan itu kepada wanita lain. 

Lalu Bapaknya ditangkap polisi karena terduga kasus korupsi menyuap Camat –yang tak lain adalah mertuanya- untuk tetap melanggengkan jabatannya. Setelah itu kedua besan tidak lagi akur bahkan bermusuhan. Pertumpahan darah antar dua kubu hampir saja terjadi. Seketika Hasan langsung menceraikan Maryam atas mandat orang tuanya. Mungkin Hasan pun sudah berniat seperti itu, agar lebih leluasa menikahi wanita lain. Suap-menyuap seharusnya dijerat kedua pihak namun karena suapan Camat lebih besar sehingga ia bebas berkeliaran. Fenomena seperti ini sudah lama menjadi budaya dan kebanggaan tersendiri.

Sekarang Maryam benar-benar tersiksa. Menjalani hidup dengan sisa-sisa kekuatan. Untung di Pengadilan ia menang untuk urusan hak asuh, sehingga ia masih punya secercah harapan dari si buah hati. Ibunya yang sakit-sakitan harus tetap dirawat dengan penuh perhatian. Kini tinggalah seorang penjual kue dengan sisa-sisa hidup yang masih misteri.

Angin sore membelai pelan. Maryam barusaja pulang menggiling beras ketan. Kue yang sudah lama ia tinggalkan di Oven siap disajikan. Ia mengambilnya dengan lentik jari yang manis. Satu persatu ia masukkan ke dalam kotak, lalu sebaris senyum menghias wajahnya. Entah ada apa atau siapa, dia hanya memandang kue itu lekat-lekat. Sebelum keluar rumah ia sempatkan bercermin dan membetulkan beberapa garis kerudung yang membelok.

Senja menguning. Semburatnya memancar dari balik losmen-losmen pasar. Sementara kendaraan berhenti karena macet. Maryam berjalan melewati celah-celah itu. Sigap dan cepat. Dengan dua kotak kue untuk dipasok ke salah satu toko pelanggannya. Toko yang tidak pernah ia lupakan jasanya, toko yang selalu menerima kue buatannya. Tidak pandang untung-rugi.  Bukan, bukan itu. Ada hal lai yang lebih penting, bahwa pemilik toko itu adalah Tukijan. Orang yang pernah menaruh rembulan di hatinya. Kini pemuda kurus itu telah menjadi lelaki yang sesungguhnya. Tahukah anda, dia tetap menunggu Maryam. Sampai waktu yang tidak terpikirkan samasekali. Bahkan ia memilih membuka toko kue karena satu-satunya mata pencaharian Maryam adalah membuat kue. Berharap dia tidak akan dicampakan untuk yang ke dua kali.

“Kamu cantik sekali hari ini….” Sapa Tukijan setelah Maryam meletakan kotak kue di atas meja.

“Gombal kamu!” Baru ia duduk dengan memalingkan wajah.

“Kamu ingat Jan, dulu kita pernah lari-lari di jalan raya, pas macet.”
“Iya, tapi kamu nggak mau aku gandeng”

Maryam langsung menyoroti Tukijan dengan ekspresi aneh.

“Mau, tapi malu. Hehehe, Sudah. Mana setoran yang kemarin, laku berapa? habiskan?”

“Kok, buru-buru. Nggak nyesel?”

“Putri di rumah sendiri.”

Sebelum Maryam meninggalkan toko. Sebetulnya banyak hal yang harus ia katakan pada Tukijan. Mungkin soal kesendirian yang cukup lama atau soal rasa yang masih terpendam. Selalu saja ia melempar senyum sebelum benar-benar pergi. Tukijan membalasnya dengan sorot mata yang tajam. Lalu ia pandangi pundak itu sampai tinggal sesosok bayangan kecil yang kemudian ditelan jarak.


C a i r o , 11. 10. 12.