Kamis, 13 Desember 2012

Kedai Mimpi

Aku berjalan dengan malas. Mata masih menyipit. Kepala sedikit pening dan badan terasa hangat. Kususuri trotoar mendekati tempat pemberhentian Bus. Aku duduk sambil menggerakkan leher kekanan-kekiri menghasilkan bunyi gemertak, sedikit cukup meregangkan otot. Setelah tidur kuranglebih 9 jam. Beberapa kali menguap melawan kantuk. Musim dingin sudah mulai berkabut. Anginnya menusuk-nusuk, aku merekatkan switer, mencari kehangatan dalam sedekap.

Bus datang dari barat membawa kekosongan. Seperti biasa di musim dingin suasana menjadi lebih sepi. Padahal jarum jam baru menunjuk angka 20:00. Aku masuk dengan sandal yang kuseret pelan-pelan. Lalu mendekati kursi di pinggir jendela. Mendapati malam dalam kesunyian. Temaram lampu kota menyisakan secebis cahaya. Akh, musim dingin selalu bereuforia!

“Sudah dimana?”

“Masih di Duwaiqoh” jawabku.

“Okelah,”

Bus berjalan cepat menebas jalanan kosong. Melewati kota yang penuh dengan gedung-gedung megah nan menjulang tinggi. Gemerlap lampu berwarna-warni menyirami sisi depan gedung yang menjorok kedepan. Café berjejer sepanjang jalan, dengan ornament yang sangat wah. Tempat orang-orang elit. Gumamku. Mungkin pesan satu kopi saja sampai 20 pond. Aku menelan ludah. Namun di dasar hati sana ingin sekali berkunjung ke salah satu café itu, entah café yang mana yang penting salah satu dari sekian yang berjejer di tepi jalan. Tapi entah kapan? entah.

Di pertigaan Bus berhenti, masuk gadis cantik dengan muka murung. Ia mengenakan jeans ketat dan kemeja lengan pendek berwarna hitam, sehitam gerai rambutnya yang jarang ditemui di kota ini. Dia mendekat duduk disampingku, lalu semerbak parfumnya menyusup ke lubang hidung. Wanginya terlalu berlebihan. Sepintas ia melirik levisku yang sobek. Lalu kembali meluruskan pandangan. Sedang aku melihat kegelisahan yang sangat di raut wajahnya.

Bus berhenti, aku turun tak terkecuali gadis itu. Aku melangkah sambil menempelkan handpone di kuping, 

“Aku di masjid, sholat isya’ dulu”

Wajahnya cerah seperti biasa, ada kepasrahan sekaligus keberanian. Aku menyalaminya lebih dulu, dan dia langsung menuntunku ke sebuah Kedai di pinggir jalan. Tanpa banyak bicara kecuali saling memandang dan tetawa kecil yang keluar dari mulutnya. Aku melihat dia tak banyak berubah. Tetap sahabatku, sahabat seperti pertama kali bertemu. Selalu ceria dan menyimpan banyak kisah. Dia dulu yang pertama kali mengajariku bagaimana hidup di negeri orang. Kegigihannya membuat diri ini selalu takjub. 

“Bagaimana kabar dia?” aku mengawali pembicaraan sambil membetulkan kursi.

“Wah, dia bukan satu-satunya wanita yang jujur.”

“Loh, memang kenapa? Bukankah sudah empat tahun kalian jalin hubungan jarak jauh ini??”

“Iya..” jawabnya lesu.

“Sekarang dia sudah punya calon, biarlah. Aku tidak sepenuhnya berharap, meski hati belum begitu rela”

“Memang perempuan zaman sekarang….” aku sok gaya. Padahal perempuan zaman dulu pun banyak yang bermasalah. Tapi aku ingin bergaya di depan sahabat lamaku yang baru berjumpa lagi.

“Sudahlah, mending kita bicarakan mimpi. Sudah semestinya kita membahas rencana dan mulai merealisasikannya step by step!

Datang dua kopi tubruk dengan cangkir mungil. Beberapa saat kemudian Syisa datang dengan arang yang masih memerah. Pelayan itu masih seperti dulu. Ramah dan murah senyum.

Aku menghisap selang Syisa pelan-pelan. Mengeluarkan asap dengan sedikit emosional. Seperti beban hidup ikut terangkat saat asap membumbung ke udara. Sahabatku ini memang lihai menaklukan hati wanita. Tampangnya yang lumayan ganteng mirip artis korea, dan kelihainnya merangkai kata-kata membuat banyak wanita takluk di depannya. Tapi perempuannya itu barangkali punya paradigma lain. Bahwa cinta jarak jauh adalah hal yang paling membosankan juga memuakkan. Dalam urusan cinta kita punya pandangan berbeda. Dia terkesan progresif saya justru regresif. Karena cinta adalah anugerah, bukan sekedar logika dan apa yang kelihatan di depan mata. Jadi cinta menurutku, hal yang selalu misteri.

Kedai kopi yang selalu ramai di malam hari. Tempat yang cocok untuk saling bercerita dan mencurahkan segala yang menjadi keresahan hati. Apalagi jika kau membicarakan mimpi, maka kedai ini adalah tempat yang sempurna. Pelayanan ramah dan harga murah membuat kita ingin berlama-lama. Aku memandang lekat gelak-tawa sahabatku yang mengandung arti.

“Jadi kamu ke Paris? Hehehe” ia terkekeh, meledek.

Aku tak menjawab. Masih asik bermain dengan asap dan aromanya yang khas. Sesekali mata ini menyisir seisi kedai, betapa heran aku melihat gadis yang tadi bersama di dalam Bus. Ia duduk di pojok, mukanya masih murung. Entah angin apa yang membawanya kesini, sepertinya ini kunjungan pertama. Aku masih menatap. Dia merasa ada yang mengawasi, segera memalingkan wajah ke arahku. Aku tertegun; pura-pura memandang langit. 

Aku sodorkan tiket, tertulis di sana tiga hari lagi aku  harus terbang ke Paris. Itulah sebabnya aku dirundung sibuk sejak kemarin. Bolak-balik ke kantor Imigrasi dan kedutaan besar Perancis. Hampir dua hari dua malam mata ini belum menyatu, sampai dia nelpon dan aku baru bangun dari lelap.

“Ini hasil jeripayahku bertahun-tahun Man…”

“Iya… samasekali tak kusangka. Sejak kau sms, dan mengabariku kau lulus tes, aku 
langsung geleng-geleng kepala. Benar-benar ini sebuah keajaiban”

“Ini ajaib, iya, ini sebuah keajaiban setelah tiga tahun aku terlantar tanpa tujuan. Setelah semua kukorbankan, termasuk aku harus numpang di tempatmu, Man….kau ingatkan itu? aku sendiri pahit untuk mengingat lagi..”
   
Meski semua terasa pahit. Namun akhirnya aku tetap mengingat juga. Bahwa di Kedai ini tiga tahun yang lalu, aku dan Herman pernah bersama menaruh mimpi. Disaksikan rembulan dan bintang-gemintang. Walau suasana kota semakin ganas. Kami hanya menyeruput kopi dengan penuh filosofi. Perbincangan malam itu hanya soal mimpi. Hendak kemana kita selanjutnya? Apakah menyerah pada keadaan yang congkak, atau melawannya dengan segala kekuatan. Tak usah aku bayangkan betapa hidup waktu itu begitu berat, lebih berat ketimbang memikul batu sungai. Tapi toh, semua berbuah manis. Rumput-rumput di sini ternyata mencatat semua obrolan itu, dan asap-asap yang membumbung ke langit pada akhirnya membantu menyampaikan doa ke ‘Arsy sana. Segala mimpi yang ada di Kedai ini menjadi nyata. Benar-benar nyata.
 
Tapi bagaimana dengan sahabtku Herman, apakah dia juga berhasil mendapatkan mimpinya?

“Ini baca!....Kalau kau saja bisa ke Paris, aku akan menyusul dalam dekat minggu ini.”

“Kemana?” Aku kaget.

“Jerman”

“Wahhh!” aku semakin kaget tidak percaya.

“Kenapa kau tak kabari aku Man.?” Apakah ini kejutan?”

“Tidak, aku hanya ingin Kedai ini tahu betapa jeripayah kita selama ini membuahkan hasil. Di sini mimpi dulu terucap di sini pula semua itu harus terjawab!”

“Dan mungkin selama ini dia bertanya, kemana kita dalam keterasingan itu? dalam kehidupan yang semakin berat.” Aku meneruskan dengan nafas terbata-bata.

Kini semua sudah terbalas. Aku akan berangkat ke Paris dalam tiga hari ke depan. Dan si Herman, akan menginjakkan kaki di bumi Soren Kierkegaard, tokoh eksistensialis itu. Barangkali dia akan jadi melankolis. Meneruskan Soren, tapi aku tidak berharap cintanya kandas seperti Regine yang diputus dengan alasan tidak jelas. Semoga semua ini diberi kelancaran dan kemudahan. 

“Kita akan meninggalkan Kedai ini, Man..”

“Melanjutkan pengembaraan….Walau aku samasekali tak yakin ada Kedai sehebat ini di Jerman”

“Iya, aku pun demikian. Lantas kau mau kasih nama apa Kedai ini? sebelum kita saling pergi meninggalkan. Apakah cukup kita titipkan pada sepi?”

“Aku namai Kedai ini Kedai Mimpi, dan kita pasrahkan pada setiap pengunjung yang membicarakan mimpi, karena pada hakikatnya dia sedang membicarakan kenyataan”

“Ouh jadi Kedai ini, kita pasrahkan pada peracik mimpi itu sendiri. Tentu dia tidak akan pernah kesepian kalau begitu. Baiklah, aku setuju. Kita namai saja Kedai ini menjadi Kedai Mimpi.”

Lalu aku dan Herman beranjak dari tempat duduk. Dalam ketidaksadaran aku menangkap sosok wajah wanita itu. Dia masih murung, terus gelisah. Apakah aku harus mendekatinya lalu memberi tahu bahwa Kedai ini sudah punya nama. ‘Kedai Mimpi’. Kedia yang menyediakan aneka ragam mimpi. Termasuk mungkin mimpi menghapus muka murung.

Herman menepuk pundak, membangunkanku dari lamunan sejenak. Aku langsung menangkap geliat wajahnya. Dia memberi kode untuk tidak memperhatikan wanita itu. Biarlah –mungkin menurut Herman- wanita itu tetap pada kegelisahan. Mungkin caranya untuk menghapus gundah adalah kesepian dan kesendirian. Jadi jangan pernah kau usik keganjilan itu. Herman menarik lengan, aku terperanjak.


Kairo 13 12 2012.














Rabu, 12 Desember 2012

Nyanyian Bisu Biolaku



Malamku:
aku takut kehilangan malamku/kehilangan segala kesunyian/gelap yang membujur sepi/rembulan yang indah menggelantung di bibir langit/dan kejora bintang bertaburan/aku takut malamku dibakar mentari/sementara kopi masih menyisakan banyak katakata/atau rokok terakhirku yang penuh gelora/malamku adalah hidup yang penuh kedamaian/seteguk rindu akan gugur olehnya/hembus angin akan melenyap gelisah/dan akan lahir banyak cerita/malamku seperti wajah kekasih yang selalu kau gumamkan/tersemat dalam setiap doa/tapi malamku akan tetap berlalu/subuh akan membangunkan segala kenikmatan/malamku harus pergi memikul beban pagi/mungkin aku terlanjur mencintai malam/sehingga tak ada ruang untuk seseorang/atau rembulan sudah menutupnya rapat/

Nyanyian Bisu Biolaku:
aku tergeletak di atas meja bersama tumpukan buku/kadang berdebu lalu kau hanya bersihkan/satu-dua kepinding mengintip dari balik lembaran kusam/kau masih asik dengan kepulan asap/sebatang-dua-tiga kini tinggal puntung di kotak asbak/kau keasikan menulis kehidupan/seperti aku kau campakan/tuts-tuts itu telah merampas jarimu/jari yang pernah meremas leherku/memainkan setiap denting senarku/lalu sekarang aku hanya berdiri/menatap sepi/melihat kau yang semakin kurus dimakan kenangan/tertawa meledeki nasib malam/sementara aku kau biarkan/menangis tanpa nada/bisu tanpa suara/lalu kapan kau do-re-mi-kan?.

Rindu:
rindu adalah musim semi yang sendu/seperti jarak yang memutus kenangan/di sini tak ada hujan/sehingga daun-daun itu menjelma wajahmu/mungkin aku adalah gerimis yang selalu kau tadah/rindu juga goresan nada yang menyayat/selalu mendebarkan/apakah di sana cukup memandang rembulan?/sedang aku meninggalkan banyak sajak/rindu adalah kenikmatan sekaligus penderitaan/aku ingat kau menjatuhkan senyum/sekarang aku kehilangan separuh jiwa/jangan pernah berkata kapan kita bersua/cukup pejamkan mata lalu aku ada di jangtungmu/ sekarang juga!/

Kota Kenangan:
seiring angin berhembus melewati pagar musim/lalu dermaga yang memuat butir kenangan itu mulai menengah/cepat kau basuh mimpi!/kita akan segera jemput rembulan/merendamnya sampai relung palingdalam/mungkinkah aku rindu pada Nil yang tenang dan diam/tapi kamu enggan bertemu anjing-anjing bodoh itu/atau bau bacin di sepanjang jalan/ padahal ini adalah kota kenangan/kota yang hujan katakata/kau selalu sematkan doa/sedang aku hanya menulis sajak tentang kau dan kota kenangan ini/

Cinta:
jangan kau tanya apa itu cinta/sebab aku tak sanggup menjawab/disana ada ribuan bahkan jutaan makna/senyum yang mengembang di taman sama dengan air mata yang kau tumpahkan di kamar/cinta bukan logika, lalu apa?/entahlah!/cinta bukan apa dan siapa/cinta hanya kerumitan kata/barangkali sedikit bisa disentuh rasa/itu pun entah rasa yang mana/cinta memang bulat!/itu sebabnya aku lebih suka menghitung bintang daripada menjawab pertanyaanmu, apa itu cinta?/

Gerimis:
kau adalah gerimis yang jarang kutemui di kota ini/bahkan setahun hanya dua kali: sebagai awal bergantinya musim/lalu malam ini mendadak gerimis turun membawa namamu/setiap tetesnya membentuk siluet wajahmu/entah gerimis kali ini datang darimana/langit tak mendung/tapi sekuntum mawar basah oleh air kenangan/sedangkan udara begitu menyejukan/kau telah lama membuat taman di jantungku/kau juga telah sekian lama tak menyiramnya/hingga tumbuh duri-duri menyakitkan: kembang-kembang kepiluan/lalu malam ini gerimis datang/aku harap ini airmata yang kau kumpulkan/untuk membayar segala kepedihan/

Kairo, 2012.