Kamis, 13 Desember 2012

Kedai Mimpi

Aku berjalan dengan malas. Mata masih menyipit. Kepala sedikit pening dan badan terasa hangat. Kususuri trotoar mendekati tempat pemberhentian Bus. Aku duduk sambil menggerakkan leher kekanan-kekiri menghasilkan bunyi gemertak, sedikit cukup meregangkan otot. Setelah tidur kuranglebih 9 jam. Beberapa kali menguap melawan kantuk. Musim dingin sudah mulai berkabut. Anginnya menusuk-nusuk, aku merekatkan switer, mencari kehangatan dalam sedekap.

Bus datang dari barat membawa kekosongan. Seperti biasa di musim dingin suasana menjadi lebih sepi. Padahal jarum jam baru menunjuk angka 20:00. Aku masuk dengan sandal yang kuseret pelan-pelan. Lalu mendekati kursi di pinggir jendela. Mendapati malam dalam kesunyian. Temaram lampu kota menyisakan secebis cahaya. Akh, musim dingin selalu bereuforia!

“Sudah dimana?”

“Masih di Duwaiqoh” jawabku.

“Okelah,”

Bus berjalan cepat menebas jalanan kosong. Melewati kota yang penuh dengan gedung-gedung megah nan menjulang tinggi. Gemerlap lampu berwarna-warni menyirami sisi depan gedung yang menjorok kedepan. Café berjejer sepanjang jalan, dengan ornament yang sangat wah. Tempat orang-orang elit. Gumamku. Mungkin pesan satu kopi saja sampai 20 pond. Aku menelan ludah. Namun di dasar hati sana ingin sekali berkunjung ke salah satu café itu, entah café yang mana yang penting salah satu dari sekian yang berjejer di tepi jalan. Tapi entah kapan? entah.

Di pertigaan Bus berhenti, masuk gadis cantik dengan muka murung. Ia mengenakan jeans ketat dan kemeja lengan pendek berwarna hitam, sehitam gerai rambutnya yang jarang ditemui di kota ini. Dia mendekat duduk disampingku, lalu semerbak parfumnya menyusup ke lubang hidung. Wanginya terlalu berlebihan. Sepintas ia melirik levisku yang sobek. Lalu kembali meluruskan pandangan. Sedang aku melihat kegelisahan yang sangat di raut wajahnya.

Bus berhenti, aku turun tak terkecuali gadis itu. Aku melangkah sambil menempelkan handpone di kuping, 

“Aku di masjid, sholat isya’ dulu”

Wajahnya cerah seperti biasa, ada kepasrahan sekaligus keberanian. Aku menyalaminya lebih dulu, dan dia langsung menuntunku ke sebuah Kedai di pinggir jalan. Tanpa banyak bicara kecuali saling memandang dan tetawa kecil yang keluar dari mulutnya. Aku melihat dia tak banyak berubah. Tetap sahabatku, sahabat seperti pertama kali bertemu. Selalu ceria dan menyimpan banyak kisah. Dia dulu yang pertama kali mengajariku bagaimana hidup di negeri orang. Kegigihannya membuat diri ini selalu takjub. 

“Bagaimana kabar dia?” aku mengawali pembicaraan sambil membetulkan kursi.

“Wah, dia bukan satu-satunya wanita yang jujur.”

“Loh, memang kenapa? Bukankah sudah empat tahun kalian jalin hubungan jarak jauh ini??”

“Iya..” jawabnya lesu.

“Sekarang dia sudah punya calon, biarlah. Aku tidak sepenuhnya berharap, meski hati belum begitu rela”

“Memang perempuan zaman sekarang….” aku sok gaya. Padahal perempuan zaman dulu pun banyak yang bermasalah. Tapi aku ingin bergaya di depan sahabat lamaku yang baru berjumpa lagi.

“Sudahlah, mending kita bicarakan mimpi. Sudah semestinya kita membahas rencana dan mulai merealisasikannya step by step!

Datang dua kopi tubruk dengan cangkir mungil. Beberapa saat kemudian Syisa datang dengan arang yang masih memerah. Pelayan itu masih seperti dulu. Ramah dan murah senyum.

Aku menghisap selang Syisa pelan-pelan. Mengeluarkan asap dengan sedikit emosional. Seperti beban hidup ikut terangkat saat asap membumbung ke udara. Sahabatku ini memang lihai menaklukan hati wanita. Tampangnya yang lumayan ganteng mirip artis korea, dan kelihainnya merangkai kata-kata membuat banyak wanita takluk di depannya. Tapi perempuannya itu barangkali punya paradigma lain. Bahwa cinta jarak jauh adalah hal yang paling membosankan juga memuakkan. Dalam urusan cinta kita punya pandangan berbeda. Dia terkesan progresif saya justru regresif. Karena cinta adalah anugerah, bukan sekedar logika dan apa yang kelihatan di depan mata. Jadi cinta menurutku, hal yang selalu misteri.

Kedai kopi yang selalu ramai di malam hari. Tempat yang cocok untuk saling bercerita dan mencurahkan segala yang menjadi keresahan hati. Apalagi jika kau membicarakan mimpi, maka kedai ini adalah tempat yang sempurna. Pelayanan ramah dan harga murah membuat kita ingin berlama-lama. Aku memandang lekat gelak-tawa sahabatku yang mengandung arti.

“Jadi kamu ke Paris? Hehehe” ia terkekeh, meledek.

Aku tak menjawab. Masih asik bermain dengan asap dan aromanya yang khas. Sesekali mata ini menyisir seisi kedai, betapa heran aku melihat gadis yang tadi bersama di dalam Bus. Ia duduk di pojok, mukanya masih murung. Entah angin apa yang membawanya kesini, sepertinya ini kunjungan pertama. Aku masih menatap. Dia merasa ada yang mengawasi, segera memalingkan wajah ke arahku. Aku tertegun; pura-pura memandang langit. 

Aku sodorkan tiket, tertulis di sana tiga hari lagi aku  harus terbang ke Paris. Itulah sebabnya aku dirundung sibuk sejak kemarin. Bolak-balik ke kantor Imigrasi dan kedutaan besar Perancis. Hampir dua hari dua malam mata ini belum menyatu, sampai dia nelpon dan aku baru bangun dari lelap.

“Ini hasil jeripayahku bertahun-tahun Man…”

“Iya… samasekali tak kusangka. Sejak kau sms, dan mengabariku kau lulus tes, aku 
langsung geleng-geleng kepala. Benar-benar ini sebuah keajaiban”

“Ini ajaib, iya, ini sebuah keajaiban setelah tiga tahun aku terlantar tanpa tujuan. Setelah semua kukorbankan, termasuk aku harus numpang di tempatmu, Man….kau ingatkan itu? aku sendiri pahit untuk mengingat lagi..”
   
Meski semua terasa pahit. Namun akhirnya aku tetap mengingat juga. Bahwa di Kedai ini tiga tahun yang lalu, aku dan Herman pernah bersama menaruh mimpi. Disaksikan rembulan dan bintang-gemintang. Walau suasana kota semakin ganas. Kami hanya menyeruput kopi dengan penuh filosofi. Perbincangan malam itu hanya soal mimpi. Hendak kemana kita selanjutnya? Apakah menyerah pada keadaan yang congkak, atau melawannya dengan segala kekuatan. Tak usah aku bayangkan betapa hidup waktu itu begitu berat, lebih berat ketimbang memikul batu sungai. Tapi toh, semua berbuah manis. Rumput-rumput di sini ternyata mencatat semua obrolan itu, dan asap-asap yang membumbung ke langit pada akhirnya membantu menyampaikan doa ke ‘Arsy sana. Segala mimpi yang ada di Kedai ini menjadi nyata. Benar-benar nyata.
 
Tapi bagaimana dengan sahabtku Herman, apakah dia juga berhasil mendapatkan mimpinya?

“Ini baca!....Kalau kau saja bisa ke Paris, aku akan menyusul dalam dekat minggu ini.”

“Kemana?” Aku kaget.

“Jerman”

“Wahhh!” aku semakin kaget tidak percaya.

“Kenapa kau tak kabari aku Man.?” Apakah ini kejutan?”

“Tidak, aku hanya ingin Kedai ini tahu betapa jeripayah kita selama ini membuahkan hasil. Di sini mimpi dulu terucap di sini pula semua itu harus terjawab!”

“Dan mungkin selama ini dia bertanya, kemana kita dalam keterasingan itu? dalam kehidupan yang semakin berat.” Aku meneruskan dengan nafas terbata-bata.

Kini semua sudah terbalas. Aku akan berangkat ke Paris dalam tiga hari ke depan. Dan si Herman, akan menginjakkan kaki di bumi Soren Kierkegaard, tokoh eksistensialis itu. Barangkali dia akan jadi melankolis. Meneruskan Soren, tapi aku tidak berharap cintanya kandas seperti Regine yang diputus dengan alasan tidak jelas. Semoga semua ini diberi kelancaran dan kemudahan. 

“Kita akan meninggalkan Kedai ini, Man..”

“Melanjutkan pengembaraan….Walau aku samasekali tak yakin ada Kedai sehebat ini di Jerman”

“Iya, aku pun demikian. Lantas kau mau kasih nama apa Kedai ini? sebelum kita saling pergi meninggalkan. Apakah cukup kita titipkan pada sepi?”

“Aku namai Kedai ini Kedai Mimpi, dan kita pasrahkan pada setiap pengunjung yang membicarakan mimpi, karena pada hakikatnya dia sedang membicarakan kenyataan”

“Ouh jadi Kedai ini, kita pasrahkan pada peracik mimpi itu sendiri. Tentu dia tidak akan pernah kesepian kalau begitu. Baiklah, aku setuju. Kita namai saja Kedai ini menjadi Kedai Mimpi.”

Lalu aku dan Herman beranjak dari tempat duduk. Dalam ketidaksadaran aku menangkap sosok wajah wanita itu. Dia masih murung, terus gelisah. Apakah aku harus mendekatinya lalu memberi tahu bahwa Kedai ini sudah punya nama. ‘Kedai Mimpi’. Kedia yang menyediakan aneka ragam mimpi. Termasuk mungkin mimpi menghapus muka murung.

Herman menepuk pundak, membangunkanku dari lamunan sejenak. Aku langsung menangkap geliat wajahnya. Dia memberi kode untuk tidak memperhatikan wanita itu. Biarlah –mungkin menurut Herman- wanita itu tetap pada kegelisahan. Mungkin caranya untuk menghapus gundah adalah kesepian dan kesendirian. Jadi jangan pernah kau usik keganjilan itu. Herman menarik lengan, aku terperanjak.


Kairo 13 12 2012.














Rabu, 12 Desember 2012

Nyanyian Bisu Biolaku



Malamku:
aku takut kehilangan malamku/kehilangan segala kesunyian/gelap yang membujur sepi/rembulan yang indah menggelantung di bibir langit/dan kejora bintang bertaburan/aku takut malamku dibakar mentari/sementara kopi masih menyisakan banyak katakata/atau rokok terakhirku yang penuh gelora/malamku adalah hidup yang penuh kedamaian/seteguk rindu akan gugur olehnya/hembus angin akan melenyap gelisah/dan akan lahir banyak cerita/malamku seperti wajah kekasih yang selalu kau gumamkan/tersemat dalam setiap doa/tapi malamku akan tetap berlalu/subuh akan membangunkan segala kenikmatan/malamku harus pergi memikul beban pagi/mungkin aku terlanjur mencintai malam/sehingga tak ada ruang untuk seseorang/atau rembulan sudah menutupnya rapat/

Nyanyian Bisu Biolaku:
aku tergeletak di atas meja bersama tumpukan buku/kadang berdebu lalu kau hanya bersihkan/satu-dua kepinding mengintip dari balik lembaran kusam/kau masih asik dengan kepulan asap/sebatang-dua-tiga kini tinggal puntung di kotak asbak/kau keasikan menulis kehidupan/seperti aku kau campakan/tuts-tuts itu telah merampas jarimu/jari yang pernah meremas leherku/memainkan setiap denting senarku/lalu sekarang aku hanya berdiri/menatap sepi/melihat kau yang semakin kurus dimakan kenangan/tertawa meledeki nasib malam/sementara aku kau biarkan/menangis tanpa nada/bisu tanpa suara/lalu kapan kau do-re-mi-kan?.

Rindu:
rindu adalah musim semi yang sendu/seperti jarak yang memutus kenangan/di sini tak ada hujan/sehingga daun-daun itu menjelma wajahmu/mungkin aku adalah gerimis yang selalu kau tadah/rindu juga goresan nada yang menyayat/selalu mendebarkan/apakah di sana cukup memandang rembulan?/sedang aku meninggalkan banyak sajak/rindu adalah kenikmatan sekaligus penderitaan/aku ingat kau menjatuhkan senyum/sekarang aku kehilangan separuh jiwa/jangan pernah berkata kapan kita bersua/cukup pejamkan mata lalu aku ada di jangtungmu/ sekarang juga!/

Kota Kenangan:
seiring angin berhembus melewati pagar musim/lalu dermaga yang memuat butir kenangan itu mulai menengah/cepat kau basuh mimpi!/kita akan segera jemput rembulan/merendamnya sampai relung palingdalam/mungkinkah aku rindu pada Nil yang tenang dan diam/tapi kamu enggan bertemu anjing-anjing bodoh itu/atau bau bacin di sepanjang jalan/ padahal ini adalah kota kenangan/kota yang hujan katakata/kau selalu sematkan doa/sedang aku hanya menulis sajak tentang kau dan kota kenangan ini/

Cinta:
jangan kau tanya apa itu cinta/sebab aku tak sanggup menjawab/disana ada ribuan bahkan jutaan makna/senyum yang mengembang di taman sama dengan air mata yang kau tumpahkan di kamar/cinta bukan logika, lalu apa?/entahlah!/cinta bukan apa dan siapa/cinta hanya kerumitan kata/barangkali sedikit bisa disentuh rasa/itu pun entah rasa yang mana/cinta memang bulat!/itu sebabnya aku lebih suka menghitung bintang daripada menjawab pertanyaanmu, apa itu cinta?/

Gerimis:
kau adalah gerimis yang jarang kutemui di kota ini/bahkan setahun hanya dua kali: sebagai awal bergantinya musim/lalu malam ini mendadak gerimis turun membawa namamu/setiap tetesnya membentuk siluet wajahmu/entah gerimis kali ini datang darimana/langit tak mendung/tapi sekuntum mawar basah oleh air kenangan/sedangkan udara begitu menyejukan/kau telah lama membuat taman di jantungku/kau juga telah sekian lama tak menyiramnya/hingga tumbuh duri-duri menyakitkan: kembang-kembang kepiluan/lalu malam ini gerimis datang/aku harap ini airmata yang kau kumpulkan/untuk membayar segala kepedihan/

Kairo, 2012.

Sabtu, 24 November 2012

Maryam

Maryam menyeka peluh yang terus bercucuran seperti guyuran hujan. Mengusapnya dengan lengan hingga menimbulkan daki di bagian bajunya yang tipis. Matanya sayu, wajahnya teramat letih. Berulangkali ia hembuskan nafas dengan cepat seperti orang habis lari-lari. Panas terik matari membakar kulitnya yang kuning  langsat. Membuat setiap pori-pori menjadi genangan kecil. Tubuhnya yang ramping tak ada celah sedikit pun untuk menghindar dari sengatan itu. Maryam membawa sekarung beras ketan di atas sepeda tua yang tidak ia tumpangi. Untuk menjaga keseimbangan laju, ia memilih menuntunnya hingga sampai tempat tujuan. Berjarak sekitar 20 meter, ia menuntun sepeda tua dengan tumpangan beras yang sudah berubah menjadi tepung.


Hidup di kampung memang susah. Meski di kota pun tidak menjamin, tapi paling tidak ada banyak pilihan untuk merubah hidup. Di kota, Maryam bisa memupuk harapan setinggi gunung. Merancangnya sedemikian indah dengan kemerlip lampu kehidupan. Andai saja ketika itu Maryam ikut hijrah ke kota bersama Tukijan. Mungkin keadaan tidak seperti sekarang. Namun nasib berkata lain, sekarang ia adalah janda dengan satu Putri yang lugu. Dan satu-satunya jalan untuk melangsungkan hidup adalah dengan menyulap ketan menjadi adonan kue lalu ia jajakan di pasar.

Dalam perjalanan pulang ke rumah sebetulnya enggan mengingat masa lalu. Tapi bayangan semu itu selalu bermukim di benaknya yang letih. Atau sebetulnya harapan itu masih ada. Dulu ketika ia baru saja lulus SMA, ia diajak Tukijan merantau ke kota untuk bekerja di sebuah pabrik. Tukijan adalah kekasihnya sejak SMA kelas dua. Sampai waktu lulus tiba Tukijan ingin membuktikan ketulusan cintanya pada Maryam. Ia telah lebih dulu diterima di sebuah Pabrik di Jakarta.  Kebetulan jurusan mereka berdua sama, maka Tukijan mengajukan nama Maryam dan akhirnya diterima oleh pihak Pabrik. Namun ketika Maryam sudah hampir sampai pada mimpi indahnya, ia dikagetkan oleh badai ombak yang mengamuk.  Hubungan mereka berdua tidak direstui, karena Maryam akan segera dijodohkan dengan seorang ustaz alumni Timur Tengah. Jangankan untuk hijrah bersama ke kota, untuk mengucapkan selamat jalan saja Maryam harus mengumpat-umpat. Dengan isakan airmata yang tak terbendung Maryam memeluk Tukijan, kali pertama Maryam berani memeluk seorang lelaki. Luruh segala yang berkecamuk di dalamnya.

Perbincangan dua keluarga di sebuah malam yang lengang. Bisik-bisik mereka terdengar bising di telinga Maryam. Menembus gendang telinga lalu menggenang bagai momok yang menakutkan. Akibatnya ia tak terpejam samasekali menyimak obrolan serius itu hingga usai. Gelak tawa, nada bangga, dan sesekali panjatan doa membuatnya semakin resah. Meski calon suami yang diidamkan kedua orang tuanya belum pernah ia temui. Kecuali sepuluh tahun yang lalu ketika mereka masih sama-sama duduk di bangku SD. Sedang Maryam bertemu Tukijan di bangku SMP.

Setelah lulus SD pemuda itu mondok di pesantren. Jarang sekali pulang ke rumah sehingga Maryam tak sempat bergaul atau sekedar bincang-bincang dengannya. Bahkan setelah lulus tes untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri, Maryam baru dapat kabar sebulan setelahnya. Ketidaktahu banyak tentang pemuda itu membuat Maryam khawatir untuk bersama menata hidup. Apalagi kenangan indah bersama Tukijan belum sepenuhnya terhapus. Bahkan terlanjur menggandrung.

Seiring bergantinya musim. Saat hari sudah menahun. Waktu yang menegangkan itu pun tiba. Pemuda yang kemudian dipanggil Hasan telah pulang dari perantauan belajarnya. Upacara penyambutan pun dibuat sedemikian meriah, Maryam dipaksa memakai kerudung baru yang di belikan Ibunya kemarin hari. Ia diarak menuju terminal bersama puluhan orang dengan seragam busana muslim. Iring-iringan sholawatan bertalu dengan genjringan yang memekik. Maryam sebetulnya enggan menjemput orang yang belum ia pahami, sempat protes tapi hanya dampratan yang diterima dari hampir seluruh keluarganya. Orang tua Maryam memang orang yang taat beribadah. Mungkin itu yang menjadi motif agar Maryam menikah dengan seorang ustaz. Tradisi perjodohan ala Siti Nurbaya mungkin sudah berakhir tapi perjodohan dengan seorang ustaz atau kyai masih subur di kampung itu. Suatu kebanggan bagi siapasaja yang mendapat mantu seorang ahli agama, apalagi belajarnya di luar negeri. Atau perjodohan itu bukan satu-satunya alasan, mungkin ada maksud lain.

“Aku tidak mau menikah dengan Hasan, Mak!”

“Hushh! Nggak boleh ngomong kaya gitu, Bapakmu sudah bicara jauh soal ini”

“Tapi aku tidak cinta..”

“Cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Sabar, Mak juga dulu begitu”

“Aku anak Emak, tapi aku bukan Emak!!” Maryam membanting pintu, gertaknya terdengar sampai ke ruang tamu. Pak Lurah yang sedang rapat merasa terganggu dengan tingkah anaknya.

Ia dekati anak gadisnya itu setelah kemarahan mereda.

“Hasan itu orang pintar, paham agama dan dia juga tampan. Apalagi keluarga mereka sudah sangat dekat dengan keluarga kita. Insya Alllah dia suami yang bertanggung jawab dan bisa membuatmu bahagia dunia akhirat”

Maryam hanya diam tak membalas nasihat Bapaknya. Namun dalam hati yang terdalam ia menyimpan rahasia. Wajahnya masam, pucat mendengar katakata indah itu. Serasa memang ia tengah menjadi korban keegoisan kekuasaan. Tidak perlu ia jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kebiasaan buruk lembaga pemerintah di kampungnya tidak pernah berubah. Semakin hari semakin menjadi.

Maryam menangis tak bersuara. Mengadu pada sepi. Cinta tulusnya yang tumbuh di bangku sekolah akan segera pupus. Walau Tukijan berjanji akan pulang dan menikahi Maryam, tapi itu tidak akan terjadi kalau Tukijan tahu dia sudah punya suami. Diam-diam Maryam ingin sekali bertemu Tukijan dan menceritakan semuanya. Atau dibawa kabur ke kota itu lebih baik ketimbang mengikuti nafsu Bapaknya. Tapi itu tidak mungkin, Maryam tidak bisa lakukan itu. Sekarang ia hanya perlu mengubur dalam-dalam semua kenangan indah bersama Tukijan.
Pernikahan sudah berjalan dua tahun. Maryam di karuniai Putri. Setahun pertama ia hidup layaknya seorang istri. Bahagia.Tidak ada perubahan-perubahan drastis seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Bahkan setelah kepulangan Tukijan dari Jakarta ia bisa hadapi semua itu. Walau awalnya semua begitu terasa berat namun ketika Tukijan mengerti apa yang sedang terjadi ia memilih menjadi lelaki sejati. Yang tidak harus terjebak dengan kenangan-kenangan semu. Maryam pun ia relakan untuk orang lain, soal sakit hati cukup ia simpan sendiri di balik kejantanannya yang tangguh.

Di tahun kedua petaka baru dimulai. Satu persatu penderitaan menimpa Maryam. Seperti derasnya hujan yang terus menembaki bumi. Dimulai dari sikap suami yang sering marah lantas ingin menikah lagi, alias poligami. Maryam serentak  menolak, ia tidak mungkin membagi cintanya yang penuh perjuangan itu kepada wanita lain. 

Lalu Bapaknya ditangkap polisi karena terduga kasus korupsi menyuap Camat –yang tak lain adalah mertuanya- untuk tetap melanggengkan jabatannya. Setelah itu kedua besan tidak lagi akur bahkan bermusuhan. Pertumpahan darah antar dua kubu hampir saja terjadi. Seketika Hasan langsung menceraikan Maryam atas mandat orang tuanya. Mungkin Hasan pun sudah berniat seperti itu, agar lebih leluasa menikahi wanita lain. Suap-menyuap seharusnya dijerat kedua pihak namun karena suapan Camat lebih besar sehingga ia bebas berkeliaran. Fenomena seperti ini sudah lama menjadi budaya dan kebanggaan tersendiri.

Sekarang Maryam benar-benar tersiksa. Menjalani hidup dengan sisa-sisa kekuatan. Untung di Pengadilan ia menang untuk urusan hak asuh, sehingga ia masih punya secercah harapan dari si buah hati. Ibunya yang sakit-sakitan harus tetap dirawat dengan penuh perhatian. Kini tinggalah seorang penjual kue dengan sisa-sisa hidup yang masih misteri.

Angin sore membelai pelan. Maryam barusaja pulang menggiling beras ketan. Kue yang sudah lama ia tinggalkan di Oven siap disajikan. Ia mengambilnya dengan lentik jari yang manis. Satu persatu ia masukkan ke dalam kotak, lalu sebaris senyum menghias wajahnya. Entah ada apa atau siapa, dia hanya memandang kue itu lekat-lekat. Sebelum keluar rumah ia sempatkan bercermin dan membetulkan beberapa garis kerudung yang membelok.

Senja menguning. Semburatnya memancar dari balik losmen-losmen pasar. Sementara kendaraan berhenti karena macet. Maryam berjalan melewati celah-celah itu. Sigap dan cepat. Dengan dua kotak kue untuk dipasok ke salah satu toko pelanggannya. Toko yang tidak pernah ia lupakan jasanya, toko yang selalu menerima kue buatannya. Tidak pandang untung-rugi.  Bukan, bukan itu. Ada hal lai yang lebih penting, bahwa pemilik toko itu adalah Tukijan. Orang yang pernah menaruh rembulan di hatinya. Kini pemuda kurus itu telah menjadi lelaki yang sesungguhnya. Tahukah anda, dia tetap menunggu Maryam. Sampai waktu yang tidak terpikirkan samasekali. Bahkan ia memilih membuka toko kue karena satu-satunya mata pencaharian Maryam adalah membuat kue. Berharap dia tidak akan dicampakan untuk yang ke dua kali.

“Kamu cantik sekali hari ini….” Sapa Tukijan setelah Maryam meletakan kotak kue di atas meja.

“Gombal kamu!” Baru ia duduk dengan memalingkan wajah.

“Kamu ingat Jan, dulu kita pernah lari-lari di jalan raya, pas macet.”
“Iya, tapi kamu nggak mau aku gandeng”

Maryam langsung menyoroti Tukijan dengan ekspresi aneh.

“Mau, tapi malu. Hehehe, Sudah. Mana setoran yang kemarin, laku berapa? habiskan?”

“Kok, buru-buru. Nggak nyesel?”

“Putri di rumah sendiri.”

Sebelum Maryam meninggalkan toko. Sebetulnya banyak hal yang harus ia katakan pada Tukijan. Mungkin soal kesendirian yang cukup lama atau soal rasa yang masih terpendam. Selalu saja ia melempar senyum sebelum benar-benar pergi. Tukijan membalasnya dengan sorot mata yang tajam. Lalu ia pandangi pundak itu sampai tinggal sesosok bayangan kecil yang kemudian ditelan jarak.


C a i r o , 11. 10. 12.








Selasa, 24 April 2012

Lihun dan Ikan Putih

Siang itu jalan setapak  yang biasa disebut galeng sudah mulai kering. Angin siang mengilir begitu derasnya. Burung-burung kecil berkciau riang menyambut sosok wanita yang setiap hari melewati pematang sawah. Langkahnya pelan tapi pasti. Kecapung yang hinggap di serabutan rumput seolah mempersilahkan ia berjalan. Terbang berhamburan membelahnya. Kain yang menjadi penutup bagian bawah sesekali tersibak angin  memperlihatkan betis yang masih putih dan ranum. Ia mengulum senyum ketika sebuah gubuk sudah berada di depannya. Segera melepas selendang yang menggendong rantang bersusun. Ia menata rantang yang berisi nasi, sayur asem, sambal terasi dan tempe tahu. Kemudian duduk sambil mengipaskan selendang keleher yang sudah berpeluh. Ia menunggu seorang tukang kebun yang bertugas menjaga kebun mangga seluas tujuh hektare.

“Bagaimana Dek, Bapak  belum setuju juga?”

“Belum Kang Mas” Jawab Ijah lesu.

Kemudian mereka menikmati hidangan yang dibawa Ijah. Walaupun hubungan mereka belum direstui dan tidak akan pernah direstui oleh keluarga Ijah. Janji Bapak Ijah jika anaknya tetap ngotot ingin nikah dengan Lihun, ia tak segan-segan mengusirnya dan nasib Lihun tentu lebih parah, bisa jadi dikeroyok pemuda sekampung atas perintah Bapak. Yang pasti kehidupan mereka akan sengsara jika tetap menikah diatas ketidaksetujuan keluarga Ijah. Janji leluhur yang bagi mereka berdua adalah sebuah  kutukan sesat. Kutukan yang seharusnya dilupakan sejarah. Sudah tak zaman mereka dihalang-halangi adat jika sudah saling cinta. Namun sikap kolot orang tua Ijah dan sebagian warganya membuat cita-cita mereka kandas begitu saja. Jika ada tempat lain di dunia ini maka akan ditempati Ijah dan Lihun.

Gubuk yang terletak ditepian sawah sengaja dibangun Lihun untuk tempat persinggahannya. Gubuk juga tidak begitu jauh dari kebun mangga. Ia berada dibalik rindang-rindang pohon bambu yang meliuk menutup keberadaan gubuk itu. Sehingga mereka bisa memadu kasih tanpa suara berisik, kecuali gemercik air dan kicauan burung bondol.

“Kenapa kita tidak kawin lari saja Kang Mas? Ijah yakin, Bapak tidak akan pernah setuju dengan niat suci kita” sambil bersandar diatas bahu Lihun Ijah mengucek batik selendangnya.

“Kalau masih ada kesempatan, kita coba sajah dulu. Karena restu orang tua itu sangat sakral untuk pernikahan”

“Sampai kapan??”

“Entahlah! Aku juga lagi cari cara agar Bapakmu mau menerimaku sebagai mantu.” Kembali Lihun membelai mesra rambut Ijah.

Bagi Lihun restu orang tua adalah syarat wajib sebuah pernikahan. Begitu Ibunya menuturkan sebelum meninggal. Lihun berjanji hanya akan menikah bila ada restu dari calon mertua. Sebab  tidak ingin ia mengulang masa kelam yang dialami kedua orang tuanya. Ibu dan Ayah Lihun menikah tanpa persetujuan dari keluarga Ibu, akhirnya ketika Lihun dalam kandungan sang Ayah ditemukan tewas ditepian sungai. Entah siapa yang membunuh yang jelas keluarga Ibu waktu tidak pernah menyukai keberadaan ayah.

Seperti biasa setelah makan siang Lihun mengajak Ijah memancing ikan di selokan sawah. Pancing yang dipanjar sejak pagi mungkin sudah ada ikan yang melahap umpannya. Mereka berjalan menuruni bukit-bukit kecil mirip tebing. Lihun memegang erat tangan Ijah dan menuntunnya ke pusat selokan tempat ia memasang pancing. Pusat bertemunya arus air dari tiga arah menjadi tempat yang digemari Lihun memancing. Konon, tempat tersebut memiliki kekuatan mistis yang bisa membuat kehidupan seseorang menjadi beruntung. Namun bukan itu yang membuat Lihun betah berkunjung. Sebab ia memang tidak percaya dengan hal-hal mitos. Ibu yang mengajari Lihun untuk tidak meyakini hal-hal konyol. Barangkali tempat yang sepi dan benar-benar jauh dari keramaian membuat Lihun jatuh hati dengan pusat selokan itu. Tempat yang unik. Pusat selokan berada di bawah bukit kecil, seperti tertimbun tanah. Mirip dengan gua kecil yang masih gelap dan penuh suasana sejuk. Serba kecil memang, bahkan pusat selokan itu cukup menampung sepuluh orang jika berenang. Namun airnya yang jernih dan dalam membuat pusat selokan itu seperti danau kecil. Ya, lagi-lagi kecil.

Meski siang itu terik matahari begitu menyengat. Namun bukan untuk sepasang kekasih yang sedang berada ditempat seperti gua. Ijah begitu mencintai Lihun, ia rela melakukan apa saja demi Lihun. Bahkan, jika harus kawin lari berarti dia akan diusir dari kampung Ijah tetap kukuh mencintai Lihun. Seperti Lihun  denyut nadi hidup Ijah. Nafas  yang setiap kali menghembus seakan memberi isarat jika Lihun meninggalkannya maka nafas itu seketika berhenti. 

Ibunya meninggal ketika perang antar desa yang melibatkan Ayahnya sebagai kepala suku. Ayah Ijah memang hobi perang, apalagi jika sudah ada yang mencoba menandingi kekuatannya,  maka sebagai kepala suku ia merasa terpanggil untuk beradu kanuragan. Dari situ sang Ayah ditakuti orang banyak. Dalam lamunan tiba-tiba Ijah menangkap sesuatu yang bergerak. Tanpa sadar ia segera menoleh ke arah pancing.

“Kang Mas!! Pancingnya bergerak. Ayo kemari!!” seru Ijah pada Lihun yang sedang mencari cacing. Lihun segera berlari meninggalkan korekan tanah yang humus.

Lihun langsung menarik tongkat pancing yang terbuat dari batang bambu.

Awalnya biasa-biasa saja. Seperti ikan yang lain, jika sudah dipancing maka langsung dibakar atau digoreng. Namun bukan pada ikan yang satu ini, Lihun dan Ijah dibuat kaget setengah mati. Ikan itu memiliki warna yang jauh berbeda dengan ikan lain. Ia berwarna putih bersih seperti kain kafan. Dan yang lebih mengherankan ia memakai anting di telinga bagian kiri.

Malam harinya Lihun mimpi bertemu Ratu yang sangat cantik. Wajahnya penuh dengan cahaya. Silau Lihun dibuatnya. Ia pun bergaun putih layaknya pengantin. Entah karena gaunnya yang panjang atau memang Lihun tidak diberi kekuatan untuk melihat kakinya. Justru yang nampak adalah ekor ikan yang menyembul dibalik gaunnya yang indah. Ekor itu terus bergerak kekanan dan kekiri.

“Terimakasih wahai Lihun! Engkau telah menyelamatkanku dari racun tikus itu! Sekarang adakah permintaan yang hendak kau ajaukan?” suaranya menggema memecah keheningan. 

“Eeee…”  Lihun dibanjiri keringat dingin. Ia gugup.

“Jangan gugup anakmuda. Kau telah mengeluarkanku tepat sebelum racun itu masuk kedalam tubuhku. Ayo anakmuda! Aku tahu kau sedang gelisah memutuskan dua perkara yang sama pentingnya bukan? antara meninggalkan Ijah atau menikahinya dan berarti kau telah melanggar nasihat ibumu. Baiklah! Sekali lagi karena kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku akan menolongmu. Sebelum fajar terbit, bawalah aku kembali keselokan itu! ingat!!” 

Belum sempat Lihun menjawab, tiba-tiba Ratu itu menghilang. Lenyap dihadapan Lihun. 

Lihun bangun dari tidur. Badannya basah kuyup, seperti sehabis mencangkul. Ia segera berlari menuju kamar mandi melihat ikan yang masih bernafas di gentong. Ia segera mengambil dan memasukannya kedalam kendi. Ia mengikat kendi itu dipunggunya dengan sarung. Lihun berjalan keluar rumah dengan penerang obor dengan tujuan selokan dekat gubuknya itu. Ia masih diikuti puluhan pertannyaan tentang mimpinya itu. Namun semacam ada firasat yang amat dahsyat agar melaksanakan perintah Ratu dalam mimpinya. Kini ia  berjalan setengah berlari mengejar fajar yang dalam harapannya tidak segera muncul. 

Tiba di selokan Lihun segera melepas ikan aneh itu. Dengan rasa cemas ia melepasnya dengan harapan keberuntungan hidup bisa ia dapat. Ikan putih segera berlari kencang masuk kedasar air. Ia menghilang. 

****
Suara adzan berkumandang. Fajar menyingsing. Udara dingin semakin menyeruak kedalam tubuh Lihun yang meringkuk di sebuah gubuk. Ia berbuntelan sarung menghindari serangan nyamuk. Dalam ketenangan tidurnya ia dibangunkan seorang pemuda dari kampung sebelah, kampung dimana Ijah tinggal. 

“Kang! bangun Kang!”

“Bapaknya Ijah meninggal! Semalam habis ada perang. Bapaknya Ijah kena panah yang ada racunnya. Langsung membengkak dan mati! Ijah mencari Kang Lihun, dirumah tidak ada katanya.”

Dalam perjalanannya ke kampung Ijah Lihun sedikit bercerita kepada pemuda utusan itu. Bahwa ia tidak sempat tidur satu malam dirumahnya, setelah mimpi aneh dan langsung menuju selokan dan meneruskan tidur di gubuk kesayangannya. Si pemuda rupanya membawa kabar baik, sebelum Bapaknya Ijah meninggal, atau tepatnya ketika sedanga sakaratul maut, ia merestui hubungan Lihun dan Ijah. Bahkan, ia rela jika Lihun menjadi penerusnya sebagai kepala suku. Lihun tersenyum penuh takjub.



Cairo, 24/4/2012

Senin, 16 April 2012

Aku Masih di Tahrir!

Sore menjelang maghrib saya masih duduk-duduk santai diberanda taman.  Sambil selonjoran menatap senja yang hampir ditelan ufuk barat. Setelah beberapa jam meliput unjuk rasa susulan menuntut dibubarkannya Dewan militer. Meski untuk sekedar sebuah komunitas kecil tapi menuntut saya terjun dilapangan. Padahal dewan redaksi sudah memberi tawaran untuk mengambil berita dari surat kabar tersohor. Tawaran itu saya tolak, sebab disamping saya orang yang malas untuk masalah terjemah juga saya tertarik untuk terjun langsung dan menyaksikan dengan telanjang mata. 

Bermodalkan kamera digital saya bersama kawan saya memberanikan diri mendekati kerumunan. Saat terlihat orang-orang lari terbirit, kami ikut lari. Terus begitu, menghindar segala kemungkinan  yang terjadi. Padahal jarak cukup jauh antara saya dan demonstran  yang diserang langsung oleh pihak  keamanan.  Gas air mata dan peluru karet, itu yang membuat mereka lari terbirit-birit.  Sungguh dimata saya sesuatu yang tidak lucu, seperti unjuk rasa main-main pasca revolusi. Orang-orang disini jadi latah demo. Entahlah, mungkin ini hanya pikiran nakal saya saja. Semoga yang mereka lakukan memang sebuah kebenaran. Korban berjatuhan bukan untuk hal yang sia-sia.  Tapi untuk sebuah negeri yang ingin bebas dari kediktatoran. Sebuah negeri yang ingin maju bersama rakyatnya.  Dalam hati. Semoga !

Sejak siang tadi unjuk rasa yang berlangsung didepan Mahkamah Agung Militer telah memakan beberapa korban. Itu kata bapak-bapak yang duduk tidak jauh dari tempat saya selonjor. Sebab saya memang tiba dilokasi sekitar pukul 15:00,WIK.  Sesampai dilokasi saya langsung mengeluarkan kamera, potret sana-potret sini. Sebenarnya berbagai reaksi bisa saya tangkap dari bola mata orang-orang yang kebetulan melihat. 

Meski saya dan kawan saya berada dijarak yang cukup jauh dari para demonstran. Namun sayang mereka hanya melempar sinis, tanpa berani menegur dengan jantan. Sedang pandangan yang lain justru antusias dengan kedatangan saya dan kawan saya, sebenarnya bukan kami saja. Mereka juga sangat antusias dengan stasiun-stasiun televisi yang sedang meliput baik lokal maupun interlokal.  “Gila Zai ! BBC tuh !! ikut nimbrung yuk, siapa tahu masuk TV Eropa”  Sambil menarik lengan Zainudin saya mendekati wartawan yang sedang mewawancarai salah satu tokoh Ikhawnul Muslimin.  

Kami hanya butuh waktu singkat disetiap kerumunan kecil yang ada. Sebab selalu saja ada fenomena menarik untuk dilihat. Diseberang jalan sana, seorang Ibu-ibu  berteriak keras hingga serak-serak basah tidak jelas. Ibu yang sudah beruban itu juga gencar menggerakkan tubuhnya sambil tangannya terus diacung-acungkan. Sayang tidak sempat ambil gambar Ibu aneh tadi, setelah seorang berjenggot tebal dan bergamis melarang Ibu itu meneruskan aksinya. 

Udara sore hari tidak menunjukan suasana hangatnya. Matahari yang hampir tenggelam, tidak membuat suasana menjadi redup. Suasana yang baru kali pertama saya rasakan ditengah kerumunan. Pengap, mata  perih, hidung gatal-gatal dan sering kali saya bersin dengan begitu nikmatnya. Saat sedang mengucak mata, tiba-tiba seorang aktifis LSM memberikan masker sambil melempar senyum. Sial belum sempat saya balas senyumnya, dia sudah kabur meneruskan perjalanan membagikan masker ditengah kerumunan.  Sepintas saya lihat wajahnya, cantik. Bagaimana tidak, dia gadis mesir yang bersampul barat. Kebayangkan bagaimana senyumnya tadi ? 

Gas air mata yang terus disemprotkan ketengah masa, membuat mata ini gusar. Ternyata dampak dari gas air mata cukup hebat. Jarak yang jauh tidak membuat gas itu berhenti menyerang.  Dua buah mobil ambulan terus berputar mengitari lapangan membawa korban yang sudah tak sehat. Saya ikut kaget, ketika orang beramai-ramai membopong seorang gadis yang pingsan kehabisan nafas. Sejenak saya perhatikan mukanya memang pucat. Gadis yang malang, entah apa yang mendorong ia mau mengorbankan kesehatannya.  Rasa kasihan itupun muncul seketika untuk seorang wanita mesir. Memang tentang pada ketika bangsa menghianati rakyatnya, maka yang ada hanyalah kehancuran.  Saya jadi  seperti orang mengigau, dalam hati bertanya-tanya, kenapa semua ini harus terjadi ?.  Bukankah  lapangan ini sudah bosan melihat  ratusan mayat yang tak berdosa.  Hingga sekarang masih bisa saya  lihat raga-raga kosong berjejer diatas tanah.  Senja yang seharusnya berjalan pelan, kini semakin terkikis oleh isak tangis jutaan warga mesir. Seorang Ibu menangisi anaknya yang pergi setelah terkena timah panas. Seorang istri menjadi  janda. Anak menjadi yatim. Dan masih banyak duka yang belum sempat terobati oleh gejolak revolusi. Semoga saja kesedihan itu benar-benar pergi, semoga saja pelangi hadir mewarnai setelah hujan membasahi.

Pasrah pada waktu  memang bukan jalan satu-satunya. Mereka yang mau bangkit dari kedzaliman dan melakukan perlawanan. Adalah ruh-ruh hidup yang menghembus disetiap helai negeri  ini. Darah ini pun sebenarnya ikut mengalir bersama denyut nadinya, namun  seketika membeku ditahan oleh sesuatu. Namun setidaknya gairah saya untuk berada ditempat ini membantu meringankan beban yang ada dipundak. 

Saya melihat kabut yang sudah menjadi coklat bersama debu-debu. Ditengah kerumunan terlihat bayangan kecil para petugas keamanan, mereka memakai helm, membawa pentung, dan alat penahan seperti prajurit kerajaan. Hanya karena sebuah ikatan sumpah, mereka harus menyerang saudara-saudara mereka.  Dibelakang mereka tampak siap kontrainer dengan corongnya yang akan menyemprot demonstran dengan gas air mata. Saat petugas itu kualahan maka kontainer itu menyemprotkan gas air mata dan seketika berhamburlah para demonstran mundur kebelakang. Saya terus menyaksikan kejadian itu berulang-ulang, sebab saya berada diatas pagar hijau yang berada ditepi jalan. Bukan hanya saya yang menaiki pagar, didepan sana puluhan orang mesir menaiki pagar yang lebih tinggi dari saya. Kami semua didorong rasa penasaran yang hebat. 

Setelah berdiri lama, persendian tulang memaksa untuk berhenti dan mencari tempat duduk. Saya duduk dibundaran yang mirip taman. Didepan saya penjual roti dengan gerobaknya yang khas mesir. Para pembeli ramai mengerumuni gerobak itu, melihat orang mengunyah roti dengan begitu empuknya, perut ini menjadi gaduh dan ingin segera diisi roti itu. Saya kaget saat menerima kembalian uang, ternyata harganya berbeda dari roti-roti yang pernah saya beli. Padahal diluar sana justru orang-orang asing membagikan air gratis, ditengah kesusahan ini tidak membuat hati penjual terketuk, untuk sekedar menurunkan harga, ataubahkan membagikanya secara cuma-cuma. Memang uang selalu saja menabrak sendi-sendi kemanusiaan, ia tak mengenal bangsa, persatuan dan kesejahteraan.

Saya berjalan pelan meninggalkan bungkus roti yang masih tergeletak diatas tempat duduk. Berjalan didepan orang-orang yang sedang melepas lelah, saya dan Zainudin berjalan begitu saja. Sempat saya lihat dua orang sedang berbisik sambil ujung matanya melihat kearah saya, dan orang yang satunya mengangguk, kemudian mereka berdiri dan mendekati kami.

“Kalian ngapain disini !! pulang sana kenegeri kalian !” Seru orang itu sambil mendorong lenganku. Sontak saja saya ketakutan, mereka jauh lebih besar dan usianya jauh lebih tua dari saya. Saya mundur dan menjawab sekedar mencari alasan.

“Saya sedang jalan-jalan saja, pengin lihat-lihat”. 

“Buat apa kamu lihat-lihat, ini bukan urusan kamu, pulang sana !! pulang !!” Teriaknya dengan suara lebih keras, seperti kesetanan. 

Saya jawab dengan jawaban yang sama. 

Saat sedang berdebat, datang beberapa orang melerai dan langsung membela saya dan Zainuddin. Bahkan mereka setuju kalau kami ikut menyaksikan demonstran asal tidak membahayakan. Akhirnya terjadi perdebatan baru antara orang dua tadi dan beberapa orang yang datang membela kami. Begitulah, akhirnya kami tidak jadi pulang  dan meninggalkan orang-orang tersebut. Analisa saya, orang yang membenci keberadaan saya dan kawan saya sepertinya mereka orang yang tidak berpendidikan, sedangkan yang datang membela kami dia orang yang berpendidikan, terlihat dari cara bicaranya dan penampilannya, begitu penting pendidikan, mencerdaskan segala kejadian.

Senja kini benar-benar  hilang dari pandangan. Ia tergantikan oleh malam yang hitam. Sorotan lampu di sekitar lapangan mempertajam wajah-wajah yang tak kenal menyerah. Wajah-wajah yang sejak pagi tadi sudah hitam oleh debu-debu jalanan. Barang kali debu-debu itu kelak menjadi saksi perjuangan mereka. Atau paling tidak menjadi tanda sebuah pengorbanan untuk mewujudkan negeri yang adil dan sejahtera.  Kini mereka hanya bisa berteriak, berorasi didepan kekakuan penguasa.  

Sementara malam semakin hitam, suara nyanyian kebangsaan terus didendangkan. Suara-suara itu, lagu-lagu itu, saya yakin terus menggema menembus batas-batas langit. Tuhan tidak akan membebani seseorang diluar batas kemampuaanya. Mesir akan segera pulih, ia akan kembali menjadi negeri peradaban. Sebuah negeri yang terkenal tentang penduduknya yang ramah-ramah, toleransi dan akrab dengan kedamaian. Lebih lagi untuk kami para mahasiswa asing yang sedang menimba ilmu di al-Azhar.  

Akhirnya saya dan Zainudin memutuskan pulang. Kami khawatir  malam nanti unjuk rasa semakin panas. Kami menyalami bapak-bapak yang sudah menjadi kawan sore itu. Kami berjalan meninggalkan Tahrir dan orang-orang yang berjuang untuknya. Betapapun saya telah menanggalkan Tahrir malam itu, namun hati kecil masih sempat bergumam. “Aku masih di Tahrir.”

  
Cairo, 15 Maret 2012
 * Cerpen ini diangakt dari kisah nyata. Ketika penulis kebetulan menyaksikan sendiri demo di Tahrir. 





Aku dan Teratai Biru


 Kalian tentu bisa bayangkan Mesir yang setelah revolusi semakin terseret ekonominya. Meski sejak saya tiba di Mesir, dimana api revolusi belum berkobar, saya kira negeri ini lebih miskin dari Indonesia. Seperti yang bisa saya saksikan setiap hari, sepulang kuliah. Tramco (angkutan umum) yang mengantar saya ke kuliah tidak lebih baik dari angkutan umum di Jakarta. Padahal saya tinggal di Cairo, Ibu kota Mesir. Meski berada di daerah pinggiran namun tetap disebut Cairo.

Seorang ibu-ibu yang duduk disebelah saya, betapa tercium aroma bau badannya. Sebuah aroma yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, ia bau roti gandum yang sudah bercampur keringatnya, ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang gemuk. Saya sempat membayangkan bagiamana wanita mesir yang setelah menikah memutuskan untuk memiliki postur tubuh gemuk, walaupun itu terjadi pada orang-orang yang saya katakan tradisional secara budaya dan mental. Dan salah satu kecacatan sosial bagi saya adalah mereka terlalu memanjakan wanita, sehingga wanita diberi kebebasan untuk melakoni apa saja, mungkin karena dulu negeri ini pernah dipimpin oleh seorang Ratu, Cleopatra.

Perjalanan saya kali ini ditemani fenomena-fenomena yang membuat saya berfikir. Bagaimanapun, jika zaman yang sudah se-modern ini masih banyak orang kolot berkeliaran di pusat kota. Saya memiliki rambut hitam dan panjang. Seorang bapak-bapak mengenakan gamis yang sudah habis warnanya memaki saya dengan alasan yang tidak manusiawi. Saya dianggapnya melecehkan kaum pria, dari  mana saya melecehkannya, hanya karena rambut panjang dan wajah saya yang kebetulan imut. Setelah saya jelaskan dengan berbagai argumen si bapak diam tanpa reaksi, seperti tidak terjadi apa sebelumnya. 

Langit siang tampak berpijar cerah. Saya turun dari Tramco dan berjalan sejauh 10-m untuk mendapatkan Bus yang akan membawa saya ke Amru bin Ash, sebuah masjid legenda di bumi kinanah ini. Sengaja selepas kuliah saya tidak langsung pulang ke asrama, saya akan bertemu dengan seorang gadis mesir yang akan memberi saya Teratai Biru. Bunga yang dianggap suci oleh masyarakat mesir kuno. Awal perkenalan kami hanya lewat jejaring facebook, jejaring yang sudah menjadi generasi tersendiri ditengah pemanasan global.  Mau tidak mau, se-ndeso apa pun mereka yang datang ke Mesir, paling tidak akan dikenalkan dengan situs yang satu ini.

Bunga-bunga bermekaran disepanjang jalan. Musim semi kini mulai terasa dengan udaranya yang stabil. Angin menghembus pelan lewat jendela kaca. Saya berada di dalam Bus menyaksikan segala kesemrawutan mobil yang hendak parkir di depan taman al-Azhar. Taman yang selalu ramai pengunjung, terlebih pada saat musim semi seperti ini.  Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Bus berjalan lagi dan arus lalu lintas kembali lancar. Kesemrawutan mobil-mobil di pinggir jalan, seperti sudah menjadi tradisi di negeri ini.

Bus melaju dengan cepat melewati jalan naik-turun dan berselo. Disekitar jalan terlihat bongkahan tanah akibat proyek bangunan, yang sebentar akan diganti dengan gedung-gedung megah dan mewah. Saya tenggelam dalam pemandangan-pemandangan itu. Hingga saya teringat pada sosok gadis yang akan memberi saya setangkai bunga. Bunga yang pernah disucikan pada masa Cleopatra dulu. Bunga yang hanya mekar di pagi hari dan tenggelam saat senja tiba.  Bunga itu kini sudah menjadi tumbuhan yang tak dimitoskan lagi. Sebab zaman yang sudah se-modern ini, mana mau para penguasa menggunakan bunga itu lagi sebagai simbol kekuatan mereka. Dan bunga-bunga itu bisa kita lihat sekarang di pinggiran sungai Nil. Begitulah kisah perihal Teratai Biru yang keluar dari bibir manisnya.

Kau memang gadis polos, yang tak tau apa-apa tentang kekuasaan militer. Kau hanya menyaksikan beberapa saudaramu tertembak. Dan kau hanya bisa meratapi itu dengan segala ketidakpercayaan, bahwa mereka tewas saat revolusi 25 januari silam. Satu bulan kau bilang padaku, tidak pernah keluar kamar. Menangis dengan begitu kelunya. Sebab kau memang gadis yang tak suka ikut perkembangan politik, bahkan untuk negerinya sendiri. Kau lebih asik duduk bersama kawan-kawan mu bercerita tentang bunga-bunga teratai itu, burung-burung gagak yang mencelupkan paruhnya kedalam nil, dan senja-senja indah di sore hari.

Aku masih ingat betul, saat kau bilang kau kembali pulih. Dengan senyuman kecil kau katakana kalau hidup adalah anugerah, dan mereka –saudaramu yang tewas, syahid dan sudah senang di surga sana. Tanpa mau mencari tahu siapa pembunuhnya. Seandainya itu terjadi padaku, maka akan aku tuntaskan sendiri siapa dalang dibalik pembunuhan itu. Tragis memang, kalau saudaramu dibunuh bukan oleh orang yang berseragam, tapi oleh demonstran lain, entah siapa demonstran itu. Kau tak mempedulikannya.

Bus kembali ngadat di kawasan Sayeeda Aisyah, pasar yang ramai-riuh itu membuat ingatan saya seketika buyar. Terpaksa mata saya diajak menikmati ramainya para pedagang dan suasana pasar yang begitu sibuk.
“Aku percaya kalau Teratai Biruku bisa membuat orang senang dan bahagia” sambil melempar senyum padaku, sore menjelang maghrib di Amru bin Ash.

Di halaman masjid yang memiliki beranda indah meski sudah usang. Aku duduk, kau berdiri sembari melihat jalan. 

“Kamu masih percaya dengan mitos, di tengah gejolak negerimu ?”

“Iya, siapa tahu ia bisa mengembalikan senyum negeri ini.”

“Saudara kamu dibunuh, karena ia terlibat gerakan bawah tanah menggulingkan  Mubarak ?. Masih ingat, kalau semasa kepemimpinannya, orang Ikhwan seperti saudaramu diburu ? “

“Iya, makanya aku benci mereka !!”

“Siapa ?”

“Keluargaku, makanya aku tinggal di asrama bukan di rumah, dan kalau pulang aku ke rumah nenek.”

Sudah menjadi lumrah, jika sekelompok orang ingin menggulingkan penguasa, hidupnya akan resah, apalagi jika si penguasa seorang diktator. Memilih untuk menegakan kebenaran dan menumpas kebatilan kadang malah membuat ia sengsara dan orang sekitarnya lah yang kena imbasnya. Itu yang terjadi pada kehidupan si gadis yang berjanji akan memberiku setangakai bunga. 

Bagaimana negeri yang sudah berumur layaknya bumi ini dicipta. Dan rentetan masa ke masa yang jua belum menemui klimaksnya dalam hidup bernegara dan berbangsa. Sejak revolusi tahun 1952 Mesir telah banyak belajar dari para pemimpin terdahulu. Kilang minyak yang menjadi salah satu sumber kekuatan ekonomi tidak berkembang pesat layaknya negara timur tengah lainnya. Sedang jumlah penduduk miskin terus bertambah. Buta huruf juga kian merambat keseluruh pelosok negeri ini. Ditambah lagi dengan kejadian Tahrir 25 januari, negeri ini sudah rugi U$310 dalam sehari. Sedang ‘huru-hara’ itu berlangsung hampir setahun. Entah apa lagi yang harus dikorbankan untuk sekedar menegakkan sebuah keadilan.

“Kenapa wanita mesir begitu tinggi memberi tarif calon pasangannya ?” Selorohku disela ia melahap sepotong ice cream.

Saya tertawa girang setelah nada sinis dilemparnya dengan tatapan tajam. Untung saya cuma bergurau, kalaupun ia menjawab maka itu jadi pertanyaan serius dan akan saya publikasikan ke masyarakat luas. Sebab itu sudah lama masuk daftar pertanyaan-pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya tentang negeri firaun ini. Betapapun itu, menarik untuk diperbincangkan tentang fitrah wanita yang lembut dan menerima. Sebab Nabi pun bersabda, mahar sepasang sandal jepit pun tak apa.

Kami berjalan memasuki Mer Girgis, gereja yang bersandingan dengan masjid Amru bin Ash, tempat peribadatan orang kristen ini ramai dikunjungi oleh orang-orang nonkristen. Sebab disamping tempatnya yang strategis juga keantikan yang ada didalamnya. Anak-anak kecil berlarian disekitar sini, penjual kerajinan tangan berjejer mulai dari pintu masuk hingga kepintu belakang dan semerbak bau kemenyan dari pusat peribadatan. Kami menghabiskan sore di gereja itu sebelum akhirnya senja menutup dan kami sudah berada dirumah masing-masing.

Ternyata perjumpaan awal setelah bercanda ria lewat facebook, cukup berkesan. Bahkan untuk orang seperti saya, lebih dari cukup. Apalagi saya tipe orang yang sok akrab dan suka nyeloteh, dan beginilah hasilnya. Dia tertarik untuk meneruskan persahabatan ini hingga menjanjikan akan memberi saya bunga Teratai Biru, entah macam apa bentuknya.

***
Bus 65 berwarna kuning-hijau sudah parkir di area Mahattah, sengaja saya tidak turun di depan masjid. Saya ingin jalan kaki dan curi pandang terlebih dahulu, agar lebih tahu medan. Sering saya lakukan hal seperti ini, ketika masa SMA. Dan mungkin juga anda-anda pernah melakukan hal yang sama. Main belakang.

Sosok gadis sedang duduk diatas selarasan halaman masjid. Dengan wajahnya yang sibuk, ia menulis sesuatu diatas buku tulis berwarna ping. Seperti kemarin, bahkan kali ini lebih anggun. Itulah yang saya lihat dari jauh. Matanya kadang menerawang dan sesekali mengangguk sendiri. Kali ini saya masih menikmati gerak-geriknya dari arah yang lebih dekat. Dari jarak sekitar 5-m sudah tercium semerbak parfumnya yang menentramkan. Saya kagum dengan caranya memakai parfum yang berbeda dari kebanyakan gadis mesir, mereka berlebihan. Juga cara hidupnya yang tidak glamor, terutama dalam hal berpakaian. Segala tetek bengek bedak-rias yang sering menghiasi gadis mesir, ia tetap terlihat ayu meski tanpa semua itu. Cukup terwakili oleh wajah asli seorang wanita arab yang mempesona.

“Hai . . .” Begitu kata pembuka yang akrab dipakai kaula muda seperti saya. 

“Hai juga.” Jawabnya sambil menjatuhkan senyum.

“Apa yang sedang kau tulis ?” 

“Aku sedang menulis skenario cerita.” Saya lupa, kalau salah satu cita-citanya adalah menjadi seorang penulis, dan ia lebih suka menulis dengan bahasa inggris atau prancis justru malah kaku kalau disuruh nulis dengan bahasa arab.  Dan beberapa notenya sudah saya baca dibantu google untuk menerjemahkannya. Bukan hanya tulisannya yang berbahasa asing : inggris dan prancis, namun ia juga lihai dalam bercakap dua bahasa tersebut.

“Cerita apa yang hendak kau angkat, pasti tentang bunga-bunga itu lagi.”

“Tidak. Ini tentang anak-anak kecil yang tinggal disekitar sini !” Kali ini ia menolehkan wajahnya dan sepasang mata terpaksa bertemu. 

“Tentang mereka, anak para pengemis yang memilih untuk menjadi pengemis. Lihat ! saat turis-turis datang mengunjungi masjid ini, mereka merasa terganggu dengan ulah anak-anak pengemis itu. Anak-anak itu tidak akan sekolah, jika tidak ada lembaga yang menampungnya. Mereka asik melakoni pekerjaan orang tuanya.”

Saya menikmati gerak bibirnya yang melantun begitu indah, seraya bersama ide itu lahir ia berusaha meyakinkan siapa saja tentang anak-anak pengemis itu. 

“Ini !  Teratai Biru, jaga baik-baik yaah !” Sambil berusaha mengeluarkan  bunga itu dari kantong plastik hitam, saya menunggunya penasaran. 

Selak saja saya kaget dibuatnya, bunga itu nampak terlihat biasa, yah tidak jauh dari bunga-bunga yang pernah saya lihat. Bunga itu hanya teratai berwarna biru dan aroma khas tanaman laut. Itu yang saya dapatkan. Tidak seperti yang saya kira sebelumnya, bahwa bunga itu akan seperti mahkota kerajaan. Pecah sudah rasa penasaran itu. Kini Teratai Biru sudah ditangan, dan saya bolak-balik bunga itu dengan nada gampang.

“Awas ! jangan sembarangan pegang, pelan-pelan.”

“Iya” jawabku ketus. Saya masih penasaran dengan kesucian bunga ini yang mungkin terjadi pada zaman dulu kala. Tidak sekarang.

***

Ketika hati telah retak untuk sebuah amukan kejadian, mungkin ia akan segera berlari sembunyi dibalik hal-hal yang juga tak masuk akal. Bahkan pada setangkai bunga, sekedar menenangkan hatinya, bahwa kerinduan seorang gadis untuk kedamaian sebuah negeri, amatlah dahsyat. Bahwa ia sedang bernostalgia. Semoga bukan harapan belaka yang lewat setangkaian  bunga, namun harapan itu muncul bersama aksi-aksi nyata yang akan mengembalikan wajah negeri ini kembali cerah dan tersenyum.


 Cairo, 19 Maret 2012

*Cerpen ini berhasil meraih juara 2 dalam lomba menulis yang diadakan KSW (Kelompok Studi Walisongo)