Aku berjalan dengan malas. Mata masih menyipit. Kepala
sedikit pening dan badan terasa hangat. Kususuri trotoar mendekati tempat
pemberhentian Bus. Aku duduk sambil menggerakkan leher kekanan-kekiri
menghasilkan bunyi gemertak, sedikit cukup meregangkan otot. Setelah tidur
kuranglebih 9 jam. Beberapa kali menguap melawan kantuk. Musim dingin sudah
mulai berkabut. Anginnya menusuk-nusuk, aku merekatkan switer, mencari
kehangatan dalam sedekap.
“Ini ajaib, iya, ini sebuah keajaiban setelah tiga tahun
aku terlantar tanpa tujuan. Setelah semua kukorbankan, termasuk aku harus
numpang di tempatmu, Man….kau ingatkan itu? aku sendiri pahit untuk mengingat
lagi..”
Meski semua terasa pahit. Namun akhirnya aku tetap mengingat juga. Bahwa di Kedai ini tiga tahun yang lalu, aku dan Herman pernah bersama menaruh mimpi. Disaksikan rembulan dan bintang-gemintang. Walau suasana kota semakin ganas. Kami hanya menyeruput kopi dengan penuh filosofi. Perbincangan malam itu hanya soal mimpi. Hendak kemana kita selanjutnya? Apakah menyerah pada keadaan yang congkak, atau melawannya dengan segala kekuatan. Tak usah aku bayangkan betapa hidup waktu itu begitu berat, lebih berat ketimbang memikul batu sungai. Tapi toh, semua berbuah manis. Rumput-rumput di sini ternyata mencatat semua obrolan itu, dan asap-asap yang membumbung ke langit pada akhirnya membantu menyampaikan doa ke ‘Arsy sana. Segala mimpi yang ada di Kedai ini menjadi nyata. Benar-benar nyata.
Bus datang dari barat membawa kekosongan. Seperti biasa di
musim dingin suasana menjadi lebih sepi. Padahal jarum jam baru menunjuk angka
20:00. Aku masuk dengan sandal yang kuseret pelan-pelan. Lalu mendekati kursi
di pinggir jendela. Mendapati malam dalam kesunyian. Temaram lampu kota
menyisakan secebis cahaya. Akh, musim dingin selalu bereuforia!
“Sudah dimana?”
“Masih di Duwaiqoh” jawabku.
“Okelah,”
Bus berjalan cepat menebas jalanan kosong. Melewati kota
yang penuh dengan gedung-gedung megah nan menjulang tinggi. Gemerlap lampu
berwarna-warni menyirami sisi depan gedung yang menjorok kedepan. Café berjejer
sepanjang jalan, dengan ornament yang sangat wah. Tempat orang-orang elit.
Gumamku. Mungkin pesan satu kopi saja sampai 20 pond. Aku menelan ludah. Namun
di dasar hati sana ingin sekali berkunjung ke salah satu café itu, entah café
yang mana yang penting salah satu dari sekian yang berjejer di tepi jalan. Tapi
entah kapan? entah.
Di pertigaan Bus berhenti, masuk gadis cantik dengan muka
murung. Ia mengenakan jeans ketat dan kemeja lengan pendek berwarna hitam,
sehitam gerai rambutnya yang jarang ditemui di kota ini. Dia mendekat duduk
disampingku, lalu semerbak parfumnya menyusup ke lubang hidung. Wanginya
terlalu berlebihan. Sepintas ia melirik levisku yang sobek. Lalu kembali
meluruskan pandangan. Sedang aku melihat kegelisahan yang sangat di raut
wajahnya.
Bus berhenti, aku turun tak terkecuali gadis itu. Aku
melangkah sambil menempelkan handpone di kuping,
“Aku di masjid, sholat isya’ dulu”
Wajahnya cerah seperti biasa, ada kepasrahan sekaligus keberanian.
Aku menyalaminya lebih dulu, dan dia langsung menuntunku ke sebuah Kedai di
pinggir jalan. Tanpa banyak bicara kecuali saling memandang dan tetawa kecil
yang keluar dari mulutnya. Aku melihat dia tak banyak berubah. Tetap sahabatku,
sahabat seperti pertama kali bertemu. Selalu ceria dan menyimpan banyak kisah.
Dia dulu yang pertama kali mengajariku bagaimana hidup di negeri orang.
Kegigihannya membuat diri ini selalu takjub.
“Bagaimana kabar dia?” aku mengawali pembicaraan sambil
membetulkan kursi.
“Wah, dia bukan satu-satunya wanita yang jujur.”
“Loh, memang kenapa? Bukankah sudah empat tahun kalian
jalin hubungan jarak jauh ini??”
“Iya..” jawabnya lesu.
“Sekarang dia sudah punya calon, biarlah. Aku tidak
sepenuhnya berharap, meski hati belum begitu rela”
“Memang perempuan zaman sekarang….” aku sok gaya. Padahal
perempuan zaman dulu pun banyak yang bermasalah. Tapi aku ingin bergaya di
depan sahabat lamaku yang baru berjumpa lagi.
“Sudahlah, mending kita bicarakan mimpi. Sudah semestinya
kita membahas rencana dan mulai merealisasikannya step by step!”
Datang dua kopi tubruk dengan cangkir mungil. Beberapa saat
kemudian Syisa datang dengan arang yang masih memerah. Pelayan itu masih
seperti dulu. Ramah dan murah senyum.
Aku menghisap selang Syisa pelan-pelan. Mengeluarkan
asap dengan sedikit emosional. Seperti beban hidup ikut terangkat saat asap
membumbung ke udara. Sahabatku ini memang lihai menaklukan hati wanita.
Tampangnya yang lumayan ganteng mirip artis korea, dan kelihainnya merangkai
kata-kata membuat banyak wanita takluk di depannya. Tapi perempuannya itu
barangkali punya paradigma lain. Bahwa cinta jarak jauh adalah hal yang paling
membosankan juga memuakkan. Dalam urusan cinta kita punya pandangan berbeda.
Dia terkesan progresif saya justru regresif. Karena cinta adalah anugerah,
bukan sekedar logika dan apa yang kelihatan di depan mata. Jadi cinta
menurutku, hal yang selalu misteri.
Kedai kopi yang selalu ramai di malam hari. Tempat yang
cocok untuk saling bercerita dan mencurahkan segala yang menjadi keresahan
hati. Apalagi jika kau membicarakan mimpi, maka kedai ini adalah tempat yang
sempurna. Pelayanan ramah dan harga murah membuat kita ingin berlama-lama. Aku
memandang lekat gelak-tawa sahabatku yang mengandung arti.
“Jadi kamu ke Paris? Hehehe” ia terkekeh, meledek.
Aku tak menjawab. Masih asik bermain dengan asap dan
aromanya yang khas. Sesekali mata ini menyisir seisi kedai, betapa heran aku
melihat gadis yang tadi bersama di dalam Bus. Ia duduk di pojok, mukanya masih
murung. Entah angin apa yang membawanya kesini, sepertinya ini kunjungan
pertama. Aku masih menatap. Dia merasa ada yang mengawasi, segera memalingkan
wajah ke arahku. Aku tertegun; pura-pura memandang langit.
Aku sodorkan tiket, tertulis di sana tiga hari lagi
aku harus terbang ke Paris. Itulah
sebabnya aku dirundung sibuk sejak kemarin. Bolak-balik ke kantor Imigrasi dan
kedutaan besar Perancis. Hampir dua hari dua malam mata ini belum menyatu,
sampai dia nelpon dan aku baru bangun dari lelap.
“Ini hasil jeripayahku bertahun-tahun Man…”
“Iya… samasekali tak kusangka. Sejak kau sms, dan
mengabariku kau lulus tes, aku
langsung geleng-geleng kepala. Benar-benar ini
sebuah keajaiban”
Meski semua terasa pahit. Namun akhirnya aku tetap mengingat juga. Bahwa di Kedai ini tiga tahun yang lalu, aku dan Herman pernah bersama menaruh mimpi. Disaksikan rembulan dan bintang-gemintang. Walau suasana kota semakin ganas. Kami hanya menyeruput kopi dengan penuh filosofi. Perbincangan malam itu hanya soal mimpi. Hendak kemana kita selanjutnya? Apakah menyerah pada keadaan yang congkak, atau melawannya dengan segala kekuatan. Tak usah aku bayangkan betapa hidup waktu itu begitu berat, lebih berat ketimbang memikul batu sungai. Tapi toh, semua berbuah manis. Rumput-rumput di sini ternyata mencatat semua obrolan itu, dan asap-asap yang membumbung ke langit pada akhirnya membantu menyampaikan doa ke ‘Arsy sana. Segala mimpi yang ada di Kedai ini menjadi nyata. Benar-benar nyata.
Tapi bagaimana dengan sahabtku Herman, apakah dia juga
berhasil mendapatkan mimpinya?
“Ini baca!....Kalau kau saja bisa ke Paris, aku akan
menyusul dalam dekat minggu ini.”
“Kemana?” Aku kaget.
“Jerman”
“Wahhh!” aku semakin kaget tidak percaya.
“Kenapa kau tak kabari aku Man.?” Apakah ini kejutan?”
“Tidak, aku hanya ingin Kedai ini tahu betapa jeripayah
kita selama ini membuahkan hasil. Di sini mimpi dulu terucap di sini pula semua
itu harus terjawab!”
“Dan mungkin selama ini dia bertanya, kemana kita dalam
keterasingan itu? dalam kehidupan yang semakin berat.” Aku meneruskan dengan
nafas terbata-bata.
Kini semua sudah terbalas. Aku akan berangkat ke Paris
dalam tiga hari ke depan. Dan si Herman, akan menginjakkan kaki di bumi Soren
Kierkegaard, tokoh eksistensialis itu. Barangkali dia akan jadi melankolis.
Meneruskan Soren, tapi aku tidak berharap cintanya kandas seperti Regine yang
diputus dengan alasan tidak jelas. Semoga semua ini diberi kelancaran dan
kemudahan.
“Kita akan meninggalkan Kedai ini, Man..”
“Melanjutkan pengembaraan….Walau aku samasekali tak yakin
ada Kedai sehebat ini di Jerman”
“Iya, aku pun demikian. Lantas kau mau kasih nama apa Kedai
ini? sebelum kita saling pergi meninggalkan. Apakah cukup kita titipkan pada
sepi?”
“Aku namai Kedai ini Kedai Mimpi, dan kita pasrahkan pada
setiap pengunjung yang membicarakan mimpi, karena pada hakikatnya dia sedang
membicarakan kenyataan”
“Ouh jadi Kedai ini, kita pasrahkan pada peracik mimpi itu
sendiri. Tentu dia tidak akan pernah kesepian kalau begitu. Baiklah, aku
setuju. Kita namai saja Kedai ini menjadi Kedai Mimpi.”
Lalu aku dan Herman beranjak dari tempat duduk. Dalam
ketidaksadaran aku menangkap sosok wajah wanita itu. Dia masih murung, terus
gelisah. Apakah aku harus mendekatinya lalu memberi tahu bahwa Kedai ini sudah
punya nama. ‘Kedai Mimpi’. Kedia yang menyediakan aneka ragam mimpi. Termasuk
mungkin mimpi menghapus muka murung.
Herman menepuk pundak, membangunkanku dari lamunan sejenak.
Aku langsung menangkap geliat wajahnya. Dia memberi kode untuk tidak
memperhatikan wanita itu. Biarlah –mungkin menurut Herman- wanita itu tetap pada
kegelisahan. Mungkin caranya untuk menghapus gundah adalah kesepian dan
kesendirian. Jadi jangan pernah kau usik keganjilan itu. Herman menarik lengan,
aku terperanjak.
Kairo 13 12 2012.