Siang itu jalan
setapak yang biasa disebut galeng sudah
mulai kering. Angin siang mengilir begitu derasnya. Burung-burung kecil
berkciau riang menyambut sosok wanita yang setiap hari melewati pematang sawah.
Langkahnya pelan tapi pasti. Kecapung yang hinggap di serabutan rumput seolah
mempersilahkan ia berjalan. Terbang berhamburan membelahnya. Kain yang menjadi
penutup bagian bawah sesekali tersibak angin
memperlihatkan betis yang masih putih dan ranum. Ia mengulum senyum
ketika sebuah gubuk sudah berada di depannya. Segera melepas selendang yang
menggendong rantang bersusun. Ia menata rantang yang berisi nasi, sayur asem,
sambal terasi dan tempe tahu. Kemudian duduk sambil mengipaskan selendang
keleher yang sudah berpeluh. Ia menunggu seorang tukang kebun yang bertugas
menjaga kebun mangga seluas tujuh hektare.
“Bagaimana Dek, Bapak belum setuju juga?”
“Belum Kang Mas” Jawab
Ijah lesu.
Kemudian mereka menikmati
hidangan yang dibawa Ijah. Walaupun hubungan mereka belum direstui dan tidak
akan pernah direstui oleh keluarga Ijah. Janji Bapak Ijah jika anaknya tetap
ngotot ingin nikah dengan Lihun, ia tak segan-segan mengusirnya dan nasib Lihun
tentu lebih parah, bisa jadi dikeroyok pemuda sekampung atas perintah Bapak.
Yang pasti kehidupan mereka akan sengsara jika tetap menikah diatas
ketidaksetujuan keluarga Ijah. Janji leluhur yang bagi mereka berdua adalah sebuah
kutukan sesat. Kutukan yang seharusnya
dilupakan sejarah. Sudah tak zaman mereka dihalang-halangi adat jika sudah
saling cinta. Namun sikap kolot orang tua Ijah dan sebagian warganya membuat
cita-cita mereka kandas begitu saja. Jika ada tempat lain di dunia ini maka akan
ditempati Ijah dan Lihun.
Gubuk yang terletak
ditepian sawah sengaja dibangun Lihun untuk tempat persinggahannya. Gubuk juga
tidak begitu jauh dari kebun mangga. Ia berada dibalik rindang-rindang pohon
bambu yang meliuk menutup keberadaan gubuk itu. Sehingga mereka bisa memadu
kasih tanpa suara berisik, kecuali gemercik air dan kicauan burung bondol.
“Kenapa kita tidak
kawin lari saja Kang Mas? Ijah yakin, Bapak tidak akan pernah setuju dengan
niat suci kita” sambil bersandar diatas bahu Lihun Ijah mengucek batik
selendangnya.
“Kalau masih ada
kesempatan, kita coba sajah dulu. Karena restu orang tua itu sangat sakral untuk
pernikahan”
“Sampai kapan??”
“Entahlah! Aku juga
lagi cari cara agar Bapakmu mau menerimaku sebagai mantu.” Kembali Lihun
membelai mesra rambut Ijah.
Bagi Lihun restu orang
tua adalah syarat wajib sebuah pernikahan. Begitu Ibunya menuturkan sebelum
meninggal. Lihun berjanji hanya akan menikah bila ada restu dari calon mertua.
Sebab tidak ingin ia mengulang masa
kelam yang dialami kedua orang tuanya. Ibu dan Ayah Lihun menikah tanpa
persetujuan dari keluarga Ibu, akhirnya ketika Lihun dalam kandungan sang Ayah
ditemukan tewas ditepian sungai. Entah siapa yang membunuh yang jelas keluarga
Ibu waktu tidak pernah menyukai keberadaan ayah.
Seperti biasa setelah
makan siang Lihun mengajak Ijah memancing ikan di selokan sawah. Pancing yang
dipanjar sejak pagi mungkin sudah ada ikan yang melahap umpannya. Mereka
berjalan menuruni bukit-bukit kecil mirip tebing. Lihun memegang erat tangan
Ijah dan menuntunnya ke pusat selokan tempat ia memasang pancing. Pusat
bertemunya arus air dari tiga arah menjadi tempat yang digemari Lihun
memancing. Konon, tempat tersebut memiliki kekuatan mistis yang bisa membuat
kehidupan seseorang menjadi beruntung. Namun bukan itu yang membuat Lihun betah
berkunjung. Sebab ia memang tidak percaya dengan hal-hal mitos. Ibu yang
mengajari Lihun untuk tidak meyakini hal-hal konyol. Barangkali tempat yang
sepi dan benar-benar jauh dari keramaian membuat Lihun jatuh hati dengan pusat
selokan itu. Tempat yang unik. Pusat selokan berada di bawah bukit kecil,
seperti tertimbun tanah. Mirip dengan gua kecil yang masih gelap dan penuh
suasana sejuk. Serba kecil memang, bahkan pusat selokan itu cukup menampung
sepuluh orang jika berenang. Namun airnya yang jernih dan dalam membuat pusat
selokan itu seperti danau kecil. Ya, lagi-lagi kecil.
Meski siang itu terik
matahari begitu menyengat. Namun bukan untuk sepasang kekasih yang sedang
berada ditempat seperti gua. Ijah begitu mencintai Lihun, ia rela melakukan apa
saja demi Lihun. Bahkan, jika harus kawin lari berarti dia akan diusir dari
kampung Ijah tetap kukuh mencintai Lihun. Seperti Lihun denyut nadi hidup Ijah. Nafas yang setiap kali menghembus seakan memberi
isarat jika Lihun meninggalkannya maka nafas itu seketika berhenti.
Ibunya meninggal ketika
perang antar desa yang melibatkan Ayahnya sebagai kepala suku. Ayah Ijah memang
hobi perang, apalagi jika sudah ada yang mencoba menandingi kekuatannya, maka sebagai kepala suku ia merasa terpanggil
untuk beradu kanuragan. Dari situ sang Ayah ditakuti orang banyak. Dalam
lamunan tiba-tiba Ijah menangkap sesuatu yang bergerak. Tanpa sadar ia segera
menoleh ke arah pancing.
“Kang Mas!! Pancingnya
bergerak. Ayo kemari!!” seru Ijah pada Lihun yang sedang mencari cacing. Lihun
segera berlari meninggalkan korekan tanah yang humus.
Lihun langsung menarik
tongkat pancing yang terbuat dari batang bambu.
Awalnya biasa-biasa
saja. Seperti ikan yang lain, jika sudah dipancing maka langsung dibakar atau
digoreng. Namun bukan pada ikan yang satu ini, Lihun dan Ijah dibuat kaget
setengah mati. Ikan itu memiliki warna yang jauh berbeda dengan ikan lain. Ia
berwarna putih bersih seperti kain kafan. Dan yang lebih mengherankan ia
memakai anting di telinga bagian kiri.
Malam harinya Lihun
mimpi bertemu Ratu yang sangat cantik. Wajahnya penuh dengan cahaya. Silau
Lihun dibuatnya. Ia pun bergaun putih layaknya pengantin. Entah karena gaunnya
yang panjang atau memang Lihun tidak diberi kekuatan untuk melihat kakinya.
Justru yang nampak adalah ekor ikan yang menyembul dibalik gaunnya yang indah. Ekor
itu terus bergerak kekanan dan kekiri.
“Terimakasih wahai
Lihun! Engkau telah menyelamatkanku dari racun tikus itu! Sekarang adakah
permintaan yang hendak kau ajaukan?” suaranya menggema memecah keheningan.
“Eeee…” Lihun dibanjiri keringat dingin. Ia gugup.
“Jangan gugup anakmuda.
Kau telah mengeluarkanku tepat sebelum racun itu masuk kedalam tubuhku. Ayo
anakmuda! Aku tahu kau sedang gelisah memutuskan dua perkara yang sama
pentingnya bukan? antara meninggalkan Ijah atau menikahinya dan berarti kau telah
melanggar nasihat ibumu. Baiklah! Sekali lagi karena kau telah menyelamatkan
nyawaku. Aku akan menolongmu. Sebelum fajar terbit, bawalah aku kembali
keselokan itu! ingat!!”
Belum sempat Lihun
menjawab, tiba-tiba Ratu itu menghilang. Lenyap dihadapan Lihun.
Lihun bangun dari
tidur. Badannya basah kuyup, seperti sehabis mencangkul. Ia segera berlari
menuju kamar mandi melihat ikan yang masih bernafas di gentong. Ia segera
mengambil dan memasukannya kedalam kendi. Ia mengikat kendi itu dipunggunya
dengan sarung. Lihun berjalan keluar rumah dengan penerang obor dengan tujuan
selokan dekat gubuknya itu. Ia masih diikuti puluhan pertannyaan tentang
mimpinya itu. Namun semacam ada firasat yang amat dahsyat agar melaksanakan
perintah Ratu dalam mimpinya. Kini ia
berjalan setengah berlari mengejar fajar yang dalam harapannya tidak
segera muncul.
Tiba di selokan Lihun
segera melepas ikan aneh itu. Dengan rasa cemas ia melepasnya dengan harapan
keberuntungan hidup bisa ia dapat. Ikan putih segera berlari kencang masuk
kedasar air. Ia menghilang.
****
Suara adzan
berkumandang. Fajar menyingsing. Udara dingin semakin menyeruak kedalam tubuh
Lihun yang meringkuk di sebuah gubuk. Ia berbuntelan sarung menghindari
serangan nyamuk. Dalam ketenangan tidurnya ia dibangunkan seorang pemuda dari
kampung sebelah, kampung dimana Ijah tinggal.
“Kang! bangun Kang!”
“Bapaknya Ijah
meninggal! Semalam habis ada perang. Bapaknya Ijah kena panah yang ada
racunnya. Langsung membengkak dan mati! Ijah mencari Kang Lihun, dirumah tidak
ada katanya.”
Dalam perjalanannya ke
kampung Ijah Lihun sedikit bercerita kepada pemuda utusan itu. Bahwa ia tidak
sempat tidur satu malam dirumahnya, setelah mimpi aneh dan langsung menuju
selokan dan meneruskan tidur di gubuk kesayangannya. Si pemuda rupanya membawa
kabar baik, sebelum Bapaknya Ijah meninggal, atau tepatnya ketika sedanga
sakaratul maut, ia merestui hubungan Lihun dan Ijah. Bahkan, ia rela jika Lihun
menjadi penerusnya sebagai kepala suku. Lihun tersenyum penuh takjub.
Cairo, 24/4/2012