Selasa, 24 April 2012

Lihun dan Ikan Putih

Siang itu jalan setapak  yang biasa disebut galeng sudah mulai kering. Angin siang mengilir begitu derasnya. Burung-burung kecil berkciau riang menyambut sosok wanita yang setiap hari melewati pematang sawah. Langkahnya pelan tapi pasti. Kecapung yang hinggap di serabutan rumput seolah mempersilahkan ia berjalan. Terbang berhamburan membelahnya. Kain yang menjadi penutup bagian bawah sesekali tersibak angin  memperlihatkan betis yang masih putih dan ranum. Ia mengulum senyum ketika sebuah gubuk sudah berada di depannya. Segera melepas selendang yang menggendong rantang bersusun. Ia menata rantang yang berisi nasi, sayur asem, sambal terasi dan tempe tahu. Kemudian duduk sambil mengipaskan selendang keleher yang sudah berpeluh. Ia menunggu seorang tukang kebun yang bertugas menjaga kebun mangga seluas tujuh hektare.

“Bagaimana Dek, Bapak  belum setuju juga?”

“Belum Kang Mas” Jawab Ijah lesu.

Kemudian mereka menikmati hidangan yang dibawa Ijah. Walaupun hubungan mereka belum direstui dan tidak akan pernah direstui oleh keluarga Ijah. Janji Bapak Ijah jika anaknya tetap ngotot ingin nikah dengan Lihun, ia tak segan-segan mengusirnya dan nasib Lihun tentu lebih parah, bisa jadi dikeroyok pemuda sekampung atas perintah Bapak. Yang pasti kehidupan mereka akan sengsara jika tetap menikah diatas ketidaksetujuan keluarga Ijah. Janji leluhur yang bagi mereka berdua adalah sebuah  kutukan sesat. Kutukan yang seharusnya dilupakan sejarah. Sudah tak zaman mereka dihalang-halangi adat jika sudah saling cinta. Namun sikap kolot orang tua Ijah dan sebagian warganya membuat cita-cita mereka kandas begitu saja. Jika ada tempat lain di dunia ini maka akan ditempati Ijah dan Lihun.

Gubuk yang terletak ditepian sawah sengaja dibangun Lihun untuk tempat persinggahannya. Gubuk juga tidak begitu jauh dari kebun mangga. Ia berada dibalik rindang-rindang pohon bambu yang meliuk menutup keberadaan gubuk itu. Sehingga mereka bisa memadu kasih tanpa suara berisik, kecuali gemercik air dan kicauan burung bondol.

“Kenapa kita tidak kawin lari saja Kang Mas? Ijah yakin, Bapak tidak akan pernah setuju dengan niat suci kita” sambil bersandar diatas bahu Lihun Ijah mengucek batik selendangnya.

“Kalau masih ada kesempatan, kita coba sajah dulu. Karena restu orang tua itu sangat sakral untuk pernikahan”

“Sampai kapan??”

“Entahlah! Aku juga lagi cari cara agar Bapakmu mau menerimaku sebagai mantu.” Kembali Lihun membelai mesra rambut Ijah.

Bagi Lihun restu orang tua adalah syarat wajib sebuah pernikahan. Begitu Ibunya menuturkan sebelum meninggal. Lihun berjanji hanya akan menikah bila ada restu dari calon mertua. Sebab  tidak ingin ia mengulang masa kelam yang dialami kedua orang tuanya. Ibu dan Ayah Lihun menikah tanpa persetujuan dari keluarga Ibu, akhirnya ketika Lihun dalam kandungan sang Ayah ditemukan tewas ditepian sungai. Entah siapa yang membunuh yang jelas keluarga Ibu waktu tidak pernah menyukai keberadaan ayah.

Seperti biasa setelah makan siang Lihun mengajak Ijah memancing ikan di selokan sawah. Pancing yang dipanjar sejak pagi mungkin sudah ada ikan yang melahap umpannya. Mereka berjalan menuruni bukit-bukit kecil mirip tebing. Lihun memegang erat tangan Ijah dan menuntunnya ke pusat selokan tempat ia memasang pancing. Pusat bertemunya arus air dari tiga arah menjadi tempat yang digemari Lihun memancing. Konon, tempat tersebut memiliki kekuatan mistis yang bisa membuat kehidupan seseorang menjadi beruntung. Namun bukan itu yang membuat Lihun betah berkunjung. Sebab ia memang tidak percaya dengan hal-hal mitos. Ibu yang mengajari Lihun untuk tidak meyakini hal-hal konyol. Barangkali tempat yang sepi dan benar-benar jauh dari keramaian membuat Lihun jatuh hati dengan pusat selokan itu. Tempat yang unik. Pusat selokan berada di bawah bukit kecil, seperti tertimbun tanah. Mirip dengan gua kecil yang masih gelap dan penuh suasana sejuk. Serba kecil memang, bahkan pusat selokan itu cukup menampung sepuluh orang jika berenang. Namun airnya yang jernih dan dalam membuat pusat selokan itu seperti danau kecil. Ya, lagi-lagi kecil.

Meski siang itu terik matahari begitu menyengat. Namun bukan untuk sepasang kekasih yang sedang berada ditempat seperti gua. Ijah begitu mencintai Lihun, ia rela melakukan apa saja demi Lihun. Bahkan, jika harus kawin lari berarti dia akan diusir dari kampung Ijah tetap kukuh mencintai Lihun. Seperti Lihun  denyut nadi hidup Ijah. Nafas  yang setiap kali menghembus seakan memberi isarat jika Lihun meninggalkannya maka nafas itu seketika berhenti. 

Ibunya meninggal ketika perang antar desa yang melibatkan Ayahnya sebagai kepala suku. Ayah Ijah memang hobi perang, apalagi jika sudah ada yang mencoba menandingi kekuatannya,  maka sebagai kepala suku ia merasa terpanggil untuk beradu kanuragan. Dari situ sang Ayah ditakuti orang banyak. Dalam lamunan tiba-tiba Ijah menangkap sesuatu yang bergerak. Tanpa sadar ia segera menoleh ke arah pancing.

“Kang Mas!! Pancingnya bergerak. Ayo kemari!!” seru Ijah pada Lihun yang sedang mencari cacing. Lihun segera berlari meninggalkan korekan tanah yang humus.

Lihun langsung menarik tongkat pancing yang terbuat dari batang bambu.

Awalnya biasa-biasa saja. Seperti ikan yang lain, jika sudah dipancing maka langsung dibakar atau digoreng. Namun bukan pada ikan yang satu ini, Lihun dan Ijah dibuat kaget setengah mati. Ikan itu memiliki warna yang jauh berbeda dengan ikan lain. Ia berwarna putih bersih seperti kain kafan. Dan yang lebih mengherankan ia memakai anting di telinga bagian kiri.

Malam harinya Lihun mimpi bertemu Ratu yang sangat cantik. Wajahnya penuh dengan cahaya. Silau Lihun dibuatnya. Ia pun bergaun putih layaknya pengantin. Entah karena gaunnya yang panjang atau memang Lihun tidak diberi kekuatan untuk melihat kakinya. Justru yang nampak adalah ekor ikan yang menyembul dibalik gaunnya yang indah. Ekor itu terus bergerak kekanan dan kekiri.

“Terimakasih wahai Lihun! Engkau telah menyelamatkanku dari racun tikus itu! Sekarang adakah permintaan yang hendak kau ajaukan?” suaranya menggema memecah keheningan. 

“Eeee…”  Lihun dibanjiri keringat dingin. Ia gugup.

“Jangan gugup anakmuda. Kau telah mengeluarkanku tepat sebelum racun itu masuk kedalam tubuhku. Ayo anakmuda! Aku tahu kau sedang gelisah memutuskan dua perkara yang sama pentingnya bukan? antara meninggalkan Ijah atau menikahinya dan berarti kau telah melanggar nasihat ibumu. Baiklah! Sekali lagi karena kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku akan menolongmu. Sebelum fajar terbit, bawalah aku kembali keselokan itu! ingat!!” 

Belum sempat Lihun menjawab, tiba-tiba Ratu itu menghilang. Lenyap dihadapan Lihun. 

Lihun bangun dari tidur. Badannya basah kuyup, seperti sehabis mencangkul. Ia segera berlari menuju kamar mandi melihat ikan yang masih bernafas di gentong. Ia segera mengambil dan memasukannya kedalam kendi. Ia mengikat kendi itu dipunggunya dengan sarung. Lihun berjalan keluar rumah dengan penerang obor dengan tujuan selokan dekat gubuknya itu. Ia masih diikuti puluhan pertannyaan tentang mimpinya itu. Namun semacam ada firasat yang amat dahsyat agar melaksanakan perintah Ratu dalam mimpinya. Kini ia  berjalan setengah berlari mengejar fajar yang dalam harapannya tidak segera muncul. 

Tiba di selokan Lihun segera melepas ikan aneh itu. Dengan rasa cemas ia melepasnya dengan harapan keberuntungan hidup bisa ia dapat. Ikan putih segera berlari kencang masuk kedasar air. Ia menghilang. 

****
Suara adzan berkumandang. Fajar menyingsing. Udara dingin semakin menyeruak kedalam tubuh Lihun yang meringkuk di sebuah gubuk. Ia berbuntelan sarung menghindari serangan nyamuk. Dalam ketenangan tidurnya ia dibangunkan seorang pemuda dari kampung sebelah, kampung dimana Ijah tinggal. 

“Kang! bangun Kang!”

“Bapaknya Ijah meninggal! Semalam habis ada perang. Bapaknya Ijah kena panah yang ada racunnya. Langsung membengkak dan mati! Ijah mencari Kang Lihun, dirumah tidak ada katanya.”

Dalam perjalanannya ke kampung Ijah Lihun sedikit bercerita kepada pemuda utusan itu. Bahwa ia tidak sempat tidur satu malam dirumahnya, setelah mimpi aneh dan langsung menuju selokan dan meneruskan tidur di gubuk kesayangannya. Si pemuda rupanya membawa kabar baik, sebelum Bapaknya Ijah meninggal, atau tepatnya ketika sedanga sakaratul maut, ia merestui hubungan Lihun dan Ijah. Bahkan, ia rela jika Lihun menjadi penerusnya sebagai kepala suku. Lihun tersenyum penuh takjub.



Cairo, 24/4/2012

Senin, 16 April 2012

Aku Masih di Tahrir!

Sore menjelang maghrib saya masih duduk-duduk santai diberanda taman.  Sambil selonjoran menatap senja yang hampir ditelan ufuk barat. Setelah beberapa jam meliput unjuk rasa susulan menuntut dibubarkannya Dewan militer. Meski untuk sekedar sebuah komunitas kecil tapi menuntut saya terjun dilapangan. Padahal dewan redaksi sudah memberi tawaran untuk mengambil berita dari surat kabar tersohor. Tawaran itu saya tolak, sebab disamping saya orang yang malas untuk masalah terjemah juga saya tertarik untuk terjun langsung dan menyaksikan dengan telanjang mata. 

Bermodalkan kamera digital saya bersama kawan saya memberanikan diri mendekati kerumunan. Saat terlihat orang-orang lari terbirit, kami ikut lari. Terus begitu, menghindar segala kemungkinan  yang terjadi. Padahal jarak cukup jauh antara saya dan demonstran  yang diserang langsung oleh pihak  keamanan.  Gas air mata dan peluru karet, itu yang membuat mereka lari terbirit-birit.  Sungguh dimata saya sesuatu yang tidak lucu, seperti unjuk rasa main-main pasca revolusi. Orang-orang disini jadi latah demo. Entahlah, mungkin ini hanya pikiran nakal saya saja. Semoga yang mereka lakukan memang sebuah kebenaran. Korban berjatuhan bukan untuk hal yang sia-sia.  Tapi untuk sebuah negeri yang ingin bebas dari kediktatoran. Sebuah negeri yang ingin maju bersama rakyatnya.  Dalam hati. Semoga !

Sejak siang tadi unjuk rasa yang berlangsung didepan Mahkamah Agung Militer telah memakan beberapa korban. Itu kata bapak-bapak yang duduk tidak jauh dari tempat saya selonjor. Sebab saya memang tiba dilokasi sekitar pukul 15:00,WIK.  Sesampai dilokasi saya langsung mengeluarkan kamera, potret sana-potret sini. Sebenarnya berbagai reaksi bisa saya tangkap dari bola mata orang-orang yang kebetulan melihat. 

Meski saya dan kawan saya berada dijarak yang cukup jauh dari para demonstran. Namun sayang mereka hanya melempar sinis, tanpa berani menegur dengan jantan. Sedang pandangan yang lain justru antusias dengan kedatangan saya dan kawan saya, sebenarnya bukan kami saja. Mereka juga sangat antusias dengan stasiun-stasiun televisi yang sedang meliput baik lokal maupun interlokal.  “Gila Zai ! BBC tuh !! ikut nimbrung yuk, siapa tahu masuk TV Eropa”  Sambil menarik lengan Zainudin saya mendekati wartawan yang sedang mewawancarai salah satu tokoh Ikhawnul Muslimin.  

Kami hanya butuh waktu singkat disetiap kerumunan kecil yang ada. Sebab selalu saja ada fenomena menarik untuk dilihat. Diseberang jalan sana, seorang Ibu-ibu  berteriak keras hingga serak-serak basah tidak jelas. Ibu yang sudah beruban itu juga gencar menggerakkan tubuhnya sambil tangannya terus diacung-acungkan. Sayang tidak sempat ambil gambar Ibu aneh tadi, setelah seorang berjenggot tebal dan bergamis melarang Ibu itu meneruskan aksinya. 

Udara sore hari tidak menunjukan suasana hangatnya. Matahari yang hampir tenggelam, tidak membuat suasana menjadi redup. Suasana yang baru kali pertama saya rasakan ditengah kerumunan. Pengap, mata  perih, hidung gatal-gatal dan sering kali saya bersin dengan begitu nikmatnya. Saat sedang mengucak mata, tiba-tiba seorang aktifis LSM memberikan masker sambil melempar senyum. Sial belum sempat saya balas senyumnya, dia sudah kabur meneruskan perjalanan membagikan masker ditengah kerumunan.  Sepintas saya lihat wajahnya, cantik. Bagaimana tidak, dia gadis mesir yang bersampul barat. Kebayangkan bagaimana senyumnya tadi ? 

Gas air mata yang terus disemprotkan ketengah masa, membuat mata ini gusar. Ternyata dampak dari gas air mata cukup hebat. Jarak yang jauh tidak membuat gas itu berhenti menyerang.  Dua buah mobil ambulan terus berputar mengitari lapangan membawa korban yang sudah tak sehat. Saya ikut kaget, ketika orang beramai-ramai membopong seorang gadis yang pingsan kehabisan nafas. Sejenak saya perhatikan mukanya memang pucat. Gadis yang malang, entah apa yang mendorong ia mau mengorbankan kesehatannya.  Rasa kasihan itupun muncul seketika untuk seorang wanita mesir. Memang tentang pada ketika bangsa menghianati rakyatnya, maka yang ada hanyalah kehancuran.  Saya jadi  seperti orang mengigau, dalam hati bertanya-tanya, kenapa semua ini harus terjadi ?.  Bukankah  lapangan ini sudah bosan melihat  ratusan mayat yang tak berdosa.  Hingga sekarang masih bisa saya  lihat raga-raga kosong berjejer diatas tanah.  Senja yang seharusnya berjalan pelan, kini semakin terkikis oleh isak tangis jutaan warga mesir. Seorang Ibu menangisi anaknya yang pergi setelah terkena timah panas. Seorang istri menjadi  janda. Anak menjadi yatim. Dan masih banyak duka yang belum sempat terobati oleh gejolak revolusi. Semoga saja kesedihan itu benar-benar pergi, semoga saja pelangi hadir mewarnai setelah hujan membasahi.

Pasrah pada waktu  memang bukan jalan satu-satunya. Mereka yang mau bangkit dari kedzaliman dan melakukan perlawanan. Adalah ruh-ruh hidup yang menghembus disetiap helai negeri  ini. Darah ini pun sebenarnya ikut mengalir bersama denyut nadinya, namun  seketika membeku ditahan oleh sesuatu. Namun setidaknya gairah saya untuk berada ditempat ini membantu meringankan beban yang ada dipundak. 

Saya melihat kabut yang sudah menjadi coklat bersama debu-debu. Ditengah kerumunan terlihat bayangan kecil para petugas keamanan, mereka memakai helm, membawa pentung, dan alat penahan seperti prajurit kerajaan. Hanya karena sebuah ikatan sumpah, mereka harus menyerang saudara-saudara mereka.  Dibelakang mereka tampak siap kontrainer dengan corongnya yang akan menyemprot demonstran dengan gas air mata. Saat petugas itu kualahan maka kontainer itu menyemprotkan gas air mata dan seketika berhamburlah para demonstran mundur kebelakang. Saya terus menyaksikan kejadian itu berulang-ulang, sebab saya berada diatas pagar hijau yang berada ditepi jalan. Bukan hanya saya yang menaiki pagar, didepan sana puluhan orang mesir menaiki pagar yang lebih tinggi dari saya. Kami semua didorong rasa penasaran yang hebat. 

Setelah berdiri lama, persendian tulang memaksa untuk berhenti dan mencari tempat duduk. Saya duduk dibundaran yang mirip taman. Didepan saya penjual roti dengan gerobaknya yang khas mesir. Para pembeli ramai mengerumuni gerobak itu, melihat orang mengunyah roti dengan begitu empuknya, perut ini menjadi gaduh dan ingin segera diisi roti itu. Saya kaget saat menerima kembalian uang, ternyata harganya berbeda dari roti-roti yang pernah saya beli. Padahal diluar sana justru orang-orang asing membagikan air gratis, ditengah kesusahan ini tidak membuat hati penjual terketuk, untuk sekedar menurunkan harga, ataubahkan membagikanya secara cuma-cuma. Memang uang selalu saja menabrak sendi-sendi kemanusiaan, ia tak mengenal bangsa, persatuan dan kesejahteraan.

Saya berjalan pelan meninggalkan bungkus roti yang masih tergeletak diatas tempat duduk. Berjalan didepan orang-orang yang sedang melepas lelah, saya dan Zainudin berjalan begitu saja. Sempat saya lihat dua orang sedang berbisik sambil ujung matanya melihat kearah saya, dan orang yang satunya mengangguk, kemudian mereka berdiri dan mendekati kami.

“Kalian ngapain disini !! pulang sana kenegeri kalian !” Seru orang itu sambil mendorong lenganku. Sontak saja saya ketakutan, mereka jauh lebih besar dan usianya jauh lebih tua dari saya. Saya mundur dan menjawab sekedar mencari alasan.

“Saya sedang jalan-jalan saja, pengin lihat-lihat”. 

“Buat apa kamu lihat-lihat, ini bukan urusan kamu, pulang sana !! pulang !!” Teriaknya dengan suara lebih keras, seperti kesetanan. 

Saya jawab dengan jawaban yang sama. 

Saat sedang berdebat, datang beberapa orang melerai dan langsung membela saya dan Zainuddin. Bahkan mereka setuju kalau kami ikut menyaksikan demonstran asal tidak membahayakan. Akhirnya terjadi perdebatan baru antara orang dua tadi dan beberapa orang yang datang membela kami. Begitulah, akhirnya kami tidak jadi pulang  dan meninggalkan orang-orang tersebut. Analisa saya, orang yang membenci keberadaan saya dan kawan saya sepertinya mereka orang yang tidak berpendidikan, sedangkan yang datang membela kami dia orang yang berpendidikan, terlihat dari cara bicaranya dan penampilannya, begitu penting pendidikan, mencerdaskan segala kejadian.

Senja kini benar-benar  hilang dari pandangan. Ia tergantikan oleh malam yang hitam. Sorotan lampu di sekitar lapangan mempertajam wajah-wajah yang tak kenal menyerah. Wajah-wajah yang sejak pagi tadi sudah hitam oleh debu-debu jalanan. Barang kali debu-debu itu kelak menjadi saksi perjuangan mereka. Atau paling tidak menjadi tanda sebuah pengorbanan untuk mewujudkan negeri yang adil dan sejahtera.  Kini mereka hanya bisa berteriak, berorasi didepan kekakuan penguasa.  

Sementara malam semakin hitam, suara nyanyian kebangsaan terus didendangkan. Suara-suara itu, lagu-lagu itu, saya yakin terus menggema menembus batas-batas langit. Tuhan tidak akan membebani seseorang diluar batas kemampuaanya. Mesir akan segera pulih, ia akan kembali menjadi negeri peradaban. Sebuah negeri yang terkenal tentang penduduknya yang ramah-ramah, toleransi dan akrab dengan kedamaian. Lebih lagi untuk kami para mahasiswa asing yang sedang menimba ilmu di al-Azhar.  

Akhirnya saya dan Zainudin memutuskan pulang. Kami khawatir  malam nanti unjuk rasa semakin panas. Kami menyalami bapak-bapak yang sudah menjadi kawan sore itu. Kami berjalan meninggalkan Tahrir dan orang-orang yang berjuang untuknya. Betapapun saya telah menanggalkan Tahrir malam itu, namun hati kecil masih sempat bergumam. “Aku masih di Tahrir.”

  
Cairo, 15 Maret 2012
 * Cerpen ini diangakt dari kisah nyata. Ketika penulis kebetulan menyaksikan sendiri demo di Tahrir. 





Aku dan Teratai Biru


 Kalian tentu bisa bayangkan Mesir yang setelah revolusi semakin terseret ekonominya. Meski sejak saya tiba di Mesir, dimana api revolusi belum berkobar, saya kira negeri ini lebih miskin dari Indonesia. Seperti yang bisa saya saksikan setiap hari, sepulang kuliah. Tramco (angkutan umum) yang mengantar saya ke kuliah tidak lebih baik dari angkutan umum di Jakarta. Padahal saya tinggal di Cairo, Ibu kota Mesir. Meski berada di daerah pinggiran namun tetap disebut Cairo.

Seorang ibu-ibu yang duduk disebelah saya, betapa tercium aroma bau badannya. Sebuah aroma yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, ia bau roti gandum yang sudah bercampur keringatnya, ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang gemuk. Saya sempat membayangkan bagiamana wanita mesir yang setelah menikah memutuskan untuk memiliki postur tubuh gemuk, walaupun itu terjadi pada orang-orang yang saya katakan tradisional secara budaya dan mental. Dan salah satu kecacatan sosial bagi saya adalah mereka terlalu memanjakan wanita, sehingga wanita diberi kebebasan untuk melakoni apa saja, mungkin karena dulu negeri ini pernah dipimpin oleh seorang Ratu, Cleopatra.

Perjalanan saya kali ini ditemani fenomena-fenomena yang membuat saya berfikir. Bagaimanapun, jika zaman yang sudah se-modern ini masih banyak orang kolot berkeliaran di pusat kota. Saya memiliki rambut hitam dan panjang. Seorang bapak-bapak mengenakan gamis yang sudah habis warnanya memaki saya dengan alasan yang tidak manusiawi. Saya dianggapnya melecehkan kaum pria, dari  mana saya melecehkannya, hanya karena rambut panjang dan wajah saya yang kebetulan imut. Setelah saya jelaskan dengan berbagai argumen si bapak diam tanpa reaksi, seperti tidak terjadi apa sebelumnya. 

Langit siang tampak berpijar cerah. Saya turun dari Tramco dan berjalan sejauh 10-m untuk mendapatkan Bus yang akan membawa saya ke Amru bin Ash, sebuah masjid legenda di bumi kinanah ini. Sengaja selepas kuliah saya tidak langsung pulang ke asrama, saya akan bertemu dengan seorang gadis mesir yang akan memberi saya Teratai Biru. Bunga yang dianggap suci oleh masyarakat mesir kuno. Awal perkenalan kami hanya lewat jejaring facebook, jejaring yang sudah menjadi generasi tersendiri ditengah pemanasan global.  Mau tidak mau, se-ndeso apa pun mereka yang datang ke Mesir, paling tidak akan dikenalkan dengan situs yang satu ini.

Bunga-bunga bermekaran disepanjang jalan. Musim semi kini mulai terasa dengan udaranya yang stabil. Angin menghembus pelan lewat jendela kaca. Saya berada di dalam Bus menyaksikan segala kesemrawutan mobil yang hendak parkir di depan taman al-Azhar. Taman yang selalu ramai pengunjung, terlebih pada saat musim semi seperti ini.  Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Bus berjalan lagi dan arus lalu lintas kembali lancar. Kesemrawutan mobil-mobil di pinggir jalan, seperti sudah menjadi tradisi di negeri ini.

Bus melaju dengan cepat melewati jalan naik-turun dan berselo. Disekitar jalan terlihat bongkahan tanah akibat proyek bangunan, yang sebentar akan diganti dengan gedung-gedung megah dan mewah. Saya tenggelam dalam pemandangan-pemandangan itu. Hingga saya teringat pada sosok gadis yang akan memberi saya setangkai bunga. Bunga yang pernah disucikan pada masa Cleopatra dulu. Bunga yang hanya mekar di pagi hari dan tenggelam saat senja tiba.  Bunga itu kini sudah menjadi tumbuhan yang tak dimitoskan lagi. Sebab zaman yang sudah se-modern ini, mana mau para penguasa menggunakan bunga itu lagi sebagai simbol kekuatan mereka. Dan bunga-bunga itu bisa kita lihat sekarang di pinggiran sungai Nil. Begitulah kisah perihal Teratai Biru yang keluar dari bibir manisnya.

Kau memang gadis polos, yang tak tau apa-apa tentang kekuasaan militer. Kau hanya menyaksikan beberapa saudaramu tertembak. Dan kau hanya bisa meratapi itu dengan segala ketidakpercayaan, bahwa mereka tewas saat revolusi 25 januari silam. Satu bulan kau bilang padaku, tidak pernah keluar kamar. Menangis dengan begitu kelunya. Sebab kau memang gadis yang tak suka ikut perkembangan politik, bahkan untuk negerinya sendiri. Kau lebih asik duduk bersama kawan-kawan mu bercerita tentang bunga-bunga teratai itu, burung-burung gagak yang mencelupkan paruhnya kedalam nil, dan senja-senja indah di sore hari.

Aku masih ingat betul, saat kau bilang kau kembali pulih. Dengan senyuman kecil kau katakana kalau hidup adalah anugerah, dan mereka –saudaramu yang tewas, syahid dan sudah senang di surga sana. Tanpa mau mencari tahu siapa pembunuhnya. Seandainya itu terjadi padaku, maka akan aku tuntaskan sendiri siapa dalang dibalik pembunuhan itu. Tragis memang, kalau saudaramu dibunuh bukan oleh orang yang berseragam, tapi oleh demonstran lain, entah siapa demonstran itu. Kau tak mempedulikannya.

Bus kembali ngadat di kawasan Sayeeda Aisyah, pasar yang ramai-riuh itu membuat ingatan saya seketika buyar. Terpaksa mata saya diajak menikmati ramainya para pedagang dan suasana pasar yang begitu sibuk.
“Aku percaya kalau Teratai Biruku bisa membuat orang senang dan bahagia” sambil melempar senyum padaku, sore menjelang maghrib di Amru bin Ash.

Di halaman masjid yang memiliki beranda indah meski sudah usang. Aku duduk, kau berdiri sembari melihat jalan. 

“Kamu masih percaya dengan mitos, di tengah gejolak negerimu ?”

“Iya, siapa tahu ia bisa mengembalikan senyum negeri ini.”

“Saudara kamu dibunuh, karena ia terlibat gerakan bawah tanah menggulingkan  Mubarak ?. Masih ingat, kalau semasa kepemimpinannya, orang Ikhwan seperti saudaramu diburu ? “

“Iya, makanya aku benci mereka !!”

“Siapa ?”

“Keluargaku, makanya aku tinggal di asrama bukan di rumah, dan kalau pulang aku ke rumah nenek.”

Sudah menjadi lumrah, jika sekelompok orang ingin menggulingkan penguasa, hidupnya akan resah, apalagi jika si penguasa seorang diktator. Memilih untuk menegakan kebenaran dan menumpas kebatilan kadang malah membuat ia sengsara dan orang sekitarnya lah yang kena imbasnya. Itu yang terjadi pada kehidupan si gadis yang berjanji akan memberiku setangakai bunga. 

Bagaimana negeri yang sudah berumur layaknya bumi ini dicipta. Dan rentetan masa ke masa yang jua belum menemui klimaksnya dalam hidup bernegara dan berbangsa. Sejak revolusi tahun 1952 Mesir telah banyak belajar dari para pemimpin terdahulu. Kilang minyak yang menjadi salah satu sumber kekuatan ekonomi tidak berkembang pesat layaknya negara timur tengah lainnya. Sedang jumlah penduduk miskin terus bertambah. Buta huruf juga kian merambat keseluruh pelosok negeri ini. Ditambah lagi dengan kejadian Tahrir 25 januari, negeri ini sudah rugi U$310 dalam sehari. Sedang ‘huru-hara’ itu berlangsung hampir setahun. Entah apa lagi yang harus dikorbankan untuk sekedar menegakkan sebuah keadilan.

“Kenapa wanita mesir begitu tinggi memberi tarif calon pasangannya ?” Selorohku disela ia melahap sepotong ice cream.

Saya tertawa girang setelah nada sinis dilemparnya dengan tatapan tajam. Untung saya cuma bergurau, kalaupun ia menjawab maka itu jadi pertanyaan serius dan akan saya publikasikan ke masyarakat luas. Sebab itu sudah lama masuk daftar pertanyaan-pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya tentang negeri firaun ini. Betapapun itu, menarik untuk diperbincangkan tentang fitrah wanita yang lembut dan menerima. Sebab Nabi pun bersabda, mahar sepasang sandal jepit pun tak apa.

Kami berjalan memasuki Mer Girgis, gereja yang bersandingan dengan masjid Amru bin Ash, tempat peribadatan orang kristen ini ramai dikunjungi oleh orang-orang nonkristen. Sebab disamping tempatnya yang strategis juga keantikan yang ada didalamnya. Anak-anak kecil berlarian disekitar sini, penjual kerajinan tangan berjejer mulai dari pintu masuk hingga kepintu belakang dan semerbak bau kemenyan dari pusat peribadatan. Kami menghabiskan sore di gereja itu sebelum akhirnya senja menutup dan kami sudah berada dirumah masing-masing.

Ternyata perjumpaan awal setelah bercanda ria lewat facebook, cukup berkesan. Bahkan untuk orang seperti saya, lebih dari cukup. Apalagi saya tipe orang yang sok akrab dan suka nyeloteh, dan beginilah hasilnya. Dia tertarik untuk meneruskan persahabatan ini hingga menjanjikan akan memberi saya bunga Teratai Biru, entah macam apa bentuknya.

***
Bus 65 berwarna kuning-hijau sudah parkir di area Mahattah, sengaja saya tidak turun di depan masjid. Saya ingin jalan kaki dan curi pandang terlebih dahulu, agar lebih tahu medan. Sering saya lakukan hal seperti ini, ketika masa SMA. Dan mungkin juga anda-anda pernah melakukan hal yang sama. Main belakang.

Sosok gadis sedang duduk diatas selarasan halaman masjid. Dengan wajahnya yang sibuk, ia menulis sesuatu diatas buku tulis berwarna ping. Seperti kemarin, bahkan kali ini lebih anggun. Itulah yang saya lihat dari jauh. Matanya kadang menerawang dan sesekali mengangguk sendiri. Kali ini saya masih menikmati gerak-geriknya dari arah yang lebih dekat. Dari jarak sekitar 5-m sudah tercium semerbak parfumnya yang menentramkan. Saya kagum dengan caranya memakai parfum yang berbeda dari kebanyakan gadis mesir, mereka berlebihan. Juga cara hidupnya yang tidak glamor, terutama dalam hal berpakaian. Segala tetek bengek bedak-rias yang sering menghiasi gadis mesir, ia tetap terlihat ayu meski tanpa semua itu. Cukup terwakili oleh wajah asli seorang wanita arab yang mempesona.

“Hai . . .” Begitu kata pembuka yang akrab dipakai kaula muda seperti saya. 

“Hai juga.” Jawabnya sambil menjatuhkan senyum.

“Apa yang sedang kau tulis ?” 

“Aku sedang menulis skenario cerita.” Saya lupa, kalau salah satu cita-citanya adalah menjadi seorang penulis, dan ia lebih suka menulis dengan bahasa inggris atau prancis justru malah kaku kalau disuruh nulis dengan bahasa arab.  Dan beberapa notenya sudah saya baca dibantu google untuk menerjemahkannya. Bukan hanya tulisannya yang berbahasa asing : inggris dan prancis, namun ia juga lihai dalam bercakap dua bahasa tersebut.

“Cerita apa yang hendak kau angkat, pasti tentang bunga-bunga itu lagi.”

“Tidak. Ini tentang anak-anak kecil yang tinggal disekitar sini !” Kali ini ia menolehkan wajahnya dan sepasang mata terpaksa bertemu. 

“Tentang mereka, anak para pengemis yang memilih untuk menjadi pengemis. Lihat ! saat turis-turis datang mengunjungi masjid ini, mereka merasa terganggu dengan ulah anak-anak pengemis itu. Anak-anak itu tidak akan sekolah, jika tidak ada lembaga yang menampungnya. Mereka asik melakoni pekerjaan orang tuanya.”

Saya menikmati gerak bibirnya yang melantun begitu indah, seraya bersama ide itu lahir ia berusaha meyakinkan siapa saja tentang anak-anak pengemis itu. 

“Ini !  Teratai Biru, jaga baik-baik yaah !” Sambil berusaha mengeluarkan  bunga itu dari kantong plastik hitam, saya menunggunya penasaran. 

Selak saja saya kaget dibuatnya, bunga itu nampak terlihat biasa, yah tidak jauh dari bunga-bunga yang pernah saya lihat. Bunga itu hanya teratai berwarna biru dan aroma khas tanaman laut. Itu yang saya dapatkan. Tidak seperti yang saya kira sebelumnya, bahwa bunga itu akan seperti mahkota kerajaan. Pecah sudah rasa penasaran itu. Kini Teratai Biru sudah ditangan, dan saya bolak-balik bunga itu dengan nada gampang.

“Awas ! jangan sembarangan pegang, pelan-pelan.”

“Iya” jawabku ketus. Saya masih penasaran dengan kesucian bunga ini yang mungkin terjadi pada zaman dulu kala. Tidak sekarang.

***

Ketika hati telah retak untuk sebuah amukan kejadian, mungkin ia akan segera berlari sembunyi dibalik hal-hal yang juga tak masuk akal. Bahkan pada setangkai bunga, sekedar menenangkan hatinya, bahwa kerinduan seorang gadis untuk kedamaian sebuah negeri, amatlah dahsyat. Bahwa ia sedang bernostalgia. Semoga bukan harapan belaka yang lewat setangkaian  bunga, namun harapan itu muncul bersama aksi-aksi nyata yang akan mengembalikan wajah negeri ini kembali cerah dan tersenyum.


 Cairo, 19 Maret 2012

*Cerpen ini berhasil meraih juara 2 dalam lomba menulis yang diadakan KSW (Kelompok Studi Walisongo)