Minggu, 28 April 2013

BUNGSU


Beberapa hari ini aku malas membaca koran. Menu rutin setiap pagi, selain pisang goreng dan kopi. Istriku rajin membikin pisang goreng, nyaris setiap hari kecuali saat anak-anak berkunjung, dia akan membuat cucur. Kue yang digemari anak-anak sejak masih bocah. Sekarang, mereka sudah pada punya cucu. Kecuali si bungsu yang belum juga mau kawin. Alasannya simpel: dia pernah ditolak calon mertua cuma gara-gara dia anak eks-tapol. Sejak saat itu dia urung mikirin kawin dan menyalurkan sakit hatinya pada perempuan-perempuan zaman sekarang yang banyak tidak tahu hakikat cinta.

Aku suruh dia cari perempuan lain tapi dia menolak. Satu-satunya perempuan yang dikaguminya itu telah jadi milik orang. Anakku mulai idealis. Dia pergi meninggalkan rumah dan hidup di jalanan, artinya dia lebih suka tinggal sama teman-temannya daripada kelon sama ibunya sendiri. Aku mengagumi karakter kepribadiannya, dari tiga anak, cuma si bungsu yang meneruskan pekerjaanku sebagai penulis. Pernah dia dipecat oleh satu media karena tulisannya justru menyerang pemilik media tersebut. Sekarang dia milih jadi penulis lepas, menurutnya media kalau yang punya politisi selamanya tidak akan pernah maju, karena politis di negara ini tidak ada yang jujur. Keberanian ini yang membuatku bangga sekaligus khawatir. Aku tidak ingin zuriahku mengalami nasib sama dengan Ayahnya.

Begitulah setiap pagi aku merenung. Tentang perjalanan hidupku yang suram dan kadang tentang anak-anakku. Terlebih kepada si bungsu yang punya ‘kelainan’ dari kaka-kakanya. Kadang aku ingin menyuruhnya pulang dan berhenti menjadi penulis. Tulisan-tulisannya memang kritis, apalagi kalau sudah menyangkut soal skandal pemerintah. Itu sebabnya dia didepak langsung setelah membeberkan borok bosnya sendiri. Masih untung ancaman dan perang terjadi hanya dalam tulisan, bukan fisik. Anakku yang ini memang keras kepala. Besok-besok aku suruh dia nulis novel, bukan wartawan lepas seperti sekarang.

Burung ketilang tetangga sudah berkicau. Petanda aktifitas kembali dimulai. Istriku akan membikin kue, lalu datang satu-dua pedagang yang ditugaskan menjajakannya. Pak Tarno musti menyalakan mesin setengah jam-an sebelum berangkat ngojek. Di depan rumah jalanan akan ramai oleh anak-anak SD yang berangkat sekolah. Koran yang sedari pagi mungkin pukul 6 tergolek di tepi meja kubiarkan. Aku yakin balasanku tidak dimuat lagi. “Dasar boneka!!”

Sejujurnya kakek-kakek sepertiku ini tidak pantas lagi bicara soal duniawi. Sebab siapa yang mau dengar? Gigi sudah tinggal lima biji begini, matapun kadang rabun, sudah bau tanah!Tapi walau sudah bau tanah, emosiku masih normal. Wajar kalau aku harus membalas segala hujatan. Mereka mengataiku begundal, antek komunis, manusia tak bertuhan dan segudang omong kosong lain. Darahku mendidih, emosiku mencuat, maka itu aku kirim tulisan balasan tapi tak dimuat.

Sekarang mungkin bukan masaku lagi. Zaman sudah berubah. Orang tua sepertiku ini lebih pantas bungkam. Lebih baik aku membiarkanya saja. Toh, sebentar lagi aku mati. Memang sejak dulu penguasa di sini doyan menyiksa orang sepertiku, merebut hak hidup, memperkosa harga diri, menginjak-injaknya di depan umum. Itu terjadi sejak dulu, aku sebaiknya tidak usah heran. Apalagi mau bawa urusan ini ke jalur hukum. Sia-sia saja! Ya, itulah yang membuat aku malas baca koran beberap hari ini. Dan murka itu membuat aku malu pada Tuhan, pada diriku sendiri: orang tua kok masih dumeh!

“Pak, si Rudi…. Umurnya sudah hampir 30, Bapak coba ngomong lagi sama dia. Kasihaan Pak”

Tiba-tiba istri ikut nimbrung dalam pikiran. Ia duduk dengan manja. Mukanya judes.

“Besok anak-anak mau kesini. Coba sekali-sekali Bapak datang ke kosannya. Ajaklah dia main lagi kerumah. Walau bagaimanapun dia anak bontot Pak... Dia..manja.”

Aku baru menyeruput kopi. Masih sibuk menata pikiran. Kenapa istriku bisa nyambung dengan pikiran? Tapi akh, istrikan berasal dari tulang rusuk ini. Wajar kalau tiba-tiba dia menyeloroh begitu.

“Iya Mah…besok Bapak kesana.”

“Loh Bapak ini gimana? besok semuanya pada kumpul. Siang atau sore Bapak kesana, biar nanti Pak Tarno yang antar.”

Aku mengiyakan segala perintahnya. Sejak dulu aku selalu nurut dengan omelannya. Karena aku yakin justru omelan itu yang membikin aku tetap kuat menjalani hidup. Dia istri yang tidak muluk-muluk, tapi tahu hakekat cinta. Dia pandai meredam amarah. Tabah dan sabar. Saat aku dipenjara 7 tahun, dia rajin menjenguk dengan deras airmata. Hingga setua inipun, istriku masih yang dulu. Perempuan dengan segala ketulusannya. Tiba-tiba aku ingat masa muda.

Hari sudah lepas zuhur. Pak Tarno sudah pulang ngojek, aku siap-siap mandi. Sebelum berangkat istriku menyerahkan kue seplastik penuh. Sambil terus berharap agar si Rudi mau tinggal di rumah. Aku disuruh membujuknya habis-habisan. Memang, aku dan istri sama-sama khawatir dengan si bungsu.

***
Sampai aku di kosan yang tidak begitu ramai. Bahkan letaknya berada di ujung gang sempit, menghindari jalan raya. Aku suruh Tarno menenteng kue. Kadang aku panggil Tarno saja kalau berdua begini, dia masih lebih muda 4 tahun dari usiaku. Tapi kalau ramai aku ikut orang banyak sebagai penghormatan.

Rudi menyambut dengan mencium tanganku dan menyalami Pak Tarno. Aku diajaknya masuk, tapi kutolak. Biar kita bicara di teras saja, sambil menghirup udara segar. Balasku. Pak Tarno asik ngobrol dengan teman-temannya sambil menyerbu kue buatan istriku. Aku duduk bersanding dengan Rudi, anak bungsuku sendiri.
Aku berbincang banyak dengannya. Mulai dari tulisannya yang akhir-akhir ini jarang muncul, keseriusanku mengajaknya beralih menulis novel, dan perbincangan menarik lain. Semua untuk menyalurkan kerinduan sekaligus keresahanku. Tapi yang terakhir ini harus kubacakan dengan sedikit serius.

“Ibumu sudah sangat rindu. Kapan kau ke rumah? Besok, kaka-kakamu kumpul.” Sengaja aku tidak sampaikan soal pernikahan. Biar itu urusan orang perempuan yang penting anak ini mau pulang dulu. Ibu lebih tahu perasaan anak daripada Bapaknya sendiri. Begitu batinku menyeletuk.

“Maaf Pak… sebetulnya besok Rudi ada pertemuan dengan para senior. Tapi Rudi usahakan pulang cepat setelah itu langsung kerumah. Rudi juga pengin ketemu Ibu.”

***
Malam itu Rudi baru tiba di rumah. Kami menyambutnya dengan manja. Istriku tidak henti-henti menciumi pipinya. Kaka-kakanya pun terlihat sumringah, mereka terlibat perbincangan santai. Namun tiba-tiba istriku langsung mengadu.

“Pak, anakmu ini apa tidak iri lihat kaka-kakanya begini”

Aku kaget menerima aduan mendadak macam ini. Aku dan Rudi saling pandang. Begitupun kaka-kakanya, semua pandangan tertuju pada Rudi.

“Apa mau Teteh carikan??” menantu pertamaku turut menimpali.

Rudi hanya geleng-geleng sambil terus melahap opor. Sekali lagi istriku mencium pipinya. Antara gemes dan putus asa. Kami memang cuma bisa membujuk dan membujuk. Tidak bisa memaksakan kehendaknya. Mungkin suatu hari nanti dia akan terketuk dan mau menikah sebelum aku meninggalkan dunia ini.

Setelah itu kami semua terlibat obrolan yang sangat hangat. Bagai keluarga besar sedang melepas kerinduan. Canda dan tawa saling lempar satu sama lain. Aku bersukur masih diajarkan bagaiman tertawa yang bahagia. Walau usia sudah setua ini. Paling tidak jadi penawar hidupku yang remuk dulu. O, terima kasih Tuhan atas segala kemurahanMu di hari tua ini.

Malam ini aku bisa sedikit melupakan kejadian di koran itu. Hujatan dan hinaan yang sebenarnya dalam sejarah hidupku itu bukan seberapa. Namun bukankah di saat sekarang ini menutup suara orang adalah suatu perkara. Apalagi negeri ini katanya beraliran demokrasi. Akh, aku muak dengan omong kosong ini! Biar, biar mereka menghujat sesuka hati, menghina setinggi pohon kelapa, malam ini aku tetap bahagia. Paling tidak dengan cucu-cucuku yang lucu, kasih sayang anak, dan cinta istri yang tiada terkira.

Keeseokan harinya aku bangun agak telat. Kulihat dapur sudah ramai. Ruang tamu berisik oleh bocah-bocah laki. Aku jalan menuju teras menjalankan ritual rutinku. Terhidang cucur masih hangat dan segelas kopi. Aku mencari-cari Rudi. Ternyata dia sudah kembali ke kosan, tanpa pamit terlebih dulu, mungkin dia tidak ingin mengganggu tidurku.

Koran sudah terbuka lebar, kukira Rudi telah membacanya. Pada halaman yang terbuka lebar itu ada tulisan dengan judul ‘Atas Nama Keadilan’ dan saat kubaca paragraf awal sangat menarik. Sepertinya tulisan ini sangat kukenal, dari gaya bahasa maupun isinya. Terus aku larut dalam bacaan yang semakin panas, ternyata tulisan ini membelaku dari serangan musuh. Membelaku bak pahlawan yang datang tepat waktu. Membelaku dari para begundal itu. Dimana aku jadi objek untuk membongkar segala ketidakadilan di negeri ini. Aku larut dalam tulisan yang lebih mirip surat balasan itu. Tenggelam dalam keberaniannya. Ungkapan-ungkapan heroik dipandu dengan nada-nada tinggi membuatku terus berdecak kagum. Menjelang paragraf akhir kutemukan klimaks yang membuatku puas. Hingga akhir paragrafpun kuterus geleng-geleng kepala, tanpa mengindahkan kopi atau cucur.

Aku didorong rasa penasaran yang amat sangat. Siapa hendaknya penulis ini? Kubuka halaman selanjutnya tapi tak tercatat disana. Kubalikan lagi, O ternyata nama itu terselip di bawah: antara iklan dan alamat email. Nama itu tertulis Rudi, kupastikan dengan kata-kata selanjutnya: atas nama keadilan untuk Bapakku sendiri. O benar-benar itu Rudi. Si Rudi anak bungsuku sendiri.*

Februari 2013